Banyak orang mengatakan bahwa menjadi orang kaya dan memiliki banyak bisnis di mana-mana adalah sesuatu yang menyenangkan.
Benarkah? Ya, tentu saja itu memang benar. Menjadi orang kaya itu menyenangkan. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu inginkan—pergi belanja atau makan makanan enak tanpa takut kehabisan uang. Bisnis-bisnis itulah yang menjadi ladang uang bagi mereka.
Namun, bukannya setiap yang ada di dunia ini memiliki dua sisi? Sisi terang dan sisi gelap? Sisi baik dan sisi buruk? Atau sisi malaikat dan sisi iblis?
Begitu juga dengan kehidupan yang Wira jalani. Orang-orang di luar sana kebanyakan memujinya karena semua kemampuan yang ia miliki, tapi percayalah kehidupan aslinya jauh berbeda dengan semua itu. Kehidupannya tidak semenyenangkan seperti yang orang-orang kira.
Sebagai anak laki-laki tertua di keluarga Wardhanu, Wira memiliki tanggung jawab besar kepada orang tua, adik perempuannya, dan perusahaan ayahnya. Mau tak mau ia harus bisa membantu mengurus perusahaan, walaupun pada praktiknya ia tidak sendiri. Sasmita selalu membantunya mengawasi perusahaan terutama soal masalah keuangan perusahaan.
Sejak kecil, Wira dan Sasmita sudah diajari tentang bisnis oleh Roy hingga tanpa disadari lama-kelamaan membuat laki-laki itu terbiasa sekaligus muak. Waktu bermainnya pun berkurang karena hal ini. Wira merasa seperti sudah dipersiapkan sejak lama untuk mengurus perusahaan.
Mau tak mau, Wira harus menerima tanggung jawab tersebut. Membuat ia merasa dua kali lebih muak daripada sebelumnya.
Ini melelahkan? Sangat.
Memiliki jabatan yang lumayan tinggi di perusahaan sang ayah, membuat Wira harus bekerja sebaik mungkin. Ia tidak ingin ada satu kesalahan kecil dalam pengambilan keputusan. Setiap hari ia hanya berurusan dengan berbagai macam dokumen penting perusahaan dan laporan-laporan dari manajer divisi lain.
Tidak hanya itu, Wira juga harus melakukan evaluasi kinerja para karyawannya. Kemudian hasil evaluasi tersebut ia diskusikan lebih lanjut bersama petinggi perusahaan.
Satu yang membuat Wira sedikit menyesal menerima jabatan ini, adalah secara tidak langsung ia harus berusaha menjaga citra baik perusahaan di mata publik. Salah bersikap, bisa-bisa malah menjadi bumerang untuk perusahaan. Bahkan bisa dimanfaatkan pihak media atau musuh untuk menerobos celah dan membuat berita palsu yang bisa merusak citra perusahaan.
Ah, andai publik tahu apa yang dilakukannya di masa lalu, mungkin sekarang ia sudah tidak lagi menjabat sebagai General Manager di Wardhanoe’s Groups. Bahkan mungkin ayahnya akan menendangnya keluar dari rumah karena kelakuannya tersebut.
Karenanya, sekarang Wira semakin bersikap hati-hati. Ia tidak ingin ada orang lain yang mengetahui rahasia kelamnya, termasuk keluarganya sendiri.
Setelah melihat sendiri kalau buket bunga Lily pemberiannya dibuang ke tempat sampah oleh Shevi, Wira tidak lagi datang ke apartemen tempat Shevi tinggal. Wira sadar, kehadirannya yang tiba-tiba pasti akan membuat Shevi semakin membencinya. Ditambah lagi Wira yakin Shevi pasti melihat Jessi bersamanya, makanya bunga itu dibuang.
Seolah mengetahui situasi yang dihadapinya sekarang, mendadak ia mendapatkan tambahan pekerjaan yang harus diselesaikan tepat waktu. Alhasil, Wira menenggelamkan dirinya bersama laporan-laporan tersebut di ruang kerjanya setiap hari. Ia mencoba menyibukkan diri, walaupun dalam hati ia ingin sekali berlari keluar gedung dan menuju apartemen Shevi.
Astaga, ini gila!
Suara ketukan di pintu, berhasil mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Wira mempersilakannya masuk. Pintu terbuka dan sosok Andrea melangkah masuk ke ruangannya.
“Permisi, Pak. Saya mau menyampaikan, tadi Pak Roy telepon saya dan beliau meminta Bapak untuk menemui beliau di ruangannya sekarang,” ucap Andrea.
“Sekarang?” ulang Wira, memastikan.
“Iya, Pak, sekarang,” jawab Andrea.
Wira mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih kepada Andrea. Wanita itu permisi keluar dari ruangan Wira, setelahnya.
Setelah merapikan mejanya asal, Wira pun keluar dari ruangannya dan langsung menuju ke ruangan sang ayah. Dalam langkahnya, Wira bertanya-tanya dalam hati. Ada masalah apa sebenarnya sampai sang ayah repot-repot menelepon Andrea untuk memberitahunya, padahal biasanya jika terjadi sesuatu sang ayah meneleponnya langsung.
Langkahnya berhenti di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Tanpa membuang waktu lagi, Wira segera mengetuk pintunya. Suara sahutan dari dalam yang mempersilakannya masuk, terdengar kemudian. Wira lantas membuka pintu tersebut dan mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang duduk bersandar di kursinya sambil menatap ke arahnya, seolah kedatangannya memang dinantikan.
“Oh kamu sudah datang ternyata. Duduk, Wir. Ada yang mau Papa bicarakan sama kamu,” ujar Roy seraya memajukan posisi kursinya pada meja.
Wira menarik salah satu kursi di antara dua kursi di seberang sang ayah lalu duduk. “Mau bicara soal apa, Pa? Tumben banget Papa minta tolong Andrea, biasa juga langsung telepon Wira,” Laki-laki itu menyahut.
“Coba cek ponsel kamu. Berapa kali Papa telepon kamu, tapi nggak kamu angkat?”
Detik itu juga, Wira langsung merogoh ponsel di saku dalam jasnya. Netranya membelalak mendapati tiga panggilan tidak terjawab dan dua pesan dari sang ayah di bilah notifikasi.
“Maaf, Pa. Tadi pas meeting ponselnya aku silent, terus kelupaan belum aku ubah modenya. Makanya nggak tahu kalau Papa telepon. Maaf ya, Pa?”
Roy mengangguk paham. Tadi memang ada jadwal meeting di kantor. Pertama, meeting lanjutan dengan perusahaan Pak Arifin dan yang kedua, meeting bersama petinggi perusahaan untuk membahas hasil evaluasi kinerja karyawan dari Wira. Jadi, ia paham kenapa Wira sampai lupa menonaktifkan mode diam di ponselnya. Pekerjaan laki-laki itu terlalu menyita perhatiannya.
“Jadi, ada apa, Pa? Papa mau bicarakan soal apa?” tanya Wira pada Roy.
Wira pikir alasan sang ayah memanggilnya ke ruangannya adalah karena ada masalah perusahaan yang rumit dan harus segera diselesaikan atau karena ia melakukan kesalahan atas hasil evaluasinya tadi. Namun ternyata dugaan Wira salah. Ayahnya punya tujuan lain.
“Tadi Papa sempat mengobrol dengan Pak Arifin setelah meeting. Pak Arifin mengundang kita sekeluarga untuk makan malam di rumahnya malam ini atas kerja sama yang dilakukan antara perusahaan kita dengan perusahaan beliau. Papa harap kamu tidak kabur lagi malam ini, Wira.”
Laki-laki muda itu menarik bibirnya segaris. “Jadi, Papa repot-repot minta aku datang cepat ke ruangan Papa hanya karena masalah ini?” Wira menghela napas. “Pa, Papa pikir aku nggak tahu apa maksud sebenarnya dari makan malam ini? Aku tahu, Pa. Papa mau kenalin aku sama anak bungsunya Pak Arifin, kan?”
“Iya, Wira. Perusahaan Papa dan perusahaannya Pak Arifin bekerja sama, jadi tidak ada salahnya kalau kamu dan Rana saling mengenal. Atau mungkin kalian bisa berteman,” ucap Roy.
“Aku masih ingin fokus dengan karirku, Pa,” peringat Wira.
Sayangnya, Roy tidak peduli akan hal itu. Roy berulang kali membujuk Wira supaya mau datang memenuhi undangan makan malam dari Pak Arifin. Tahu sendiri kan bagaimana kalau dua orang laki-laki keras kepala berada satu tempat. Itu hanya akan menimbulkan keributan karena tidak ada yang mau mengalah.
Untungnya, Wira masih merasa waras untuk segera mengakhiri pembicaraan—yang menurutnya, tidak penting—ini sebelum gejolak emosi di dalam tubuhnya semakin membara dan tidak terkendali.
“Papa mohon, Wira. Ikutlah makan malam dengan kami malam ini. Hanya malam ini saja demi menghormati Pak Arifin sebagai teman sekaligus rekan bisnis Papa.”
Wira menghela napasnya. “Oke, Wira datang malam ini. Tapi hanya untuk makan malam aja dan bukan dengan embel-embel lainnya,” jawabnya.
Sebuah lengkungan tercetak di bibir Roy. Laki-laki itu merasa masih bisa mengendalikan sang anak. Jadi, sebelum Wira berubah pikiran lagi, ia buru-buru menjawabnya. “Ya, hanya makan malam biasa. Jadi, pastikan kamu tidak membuat Pak Arifin dan keluarganya kecewa.”
Wira mengangguk cepat. “Oke, Papa bisa percaya sama aku kali ini. Sudah kan, hanya itu yang mau Papa bicarakan? Kalau begitu, aku izin kembali ke ruangan. Masih ada beberapa laporan untuk meeting lusa yang harus aku cek. Tapi Papa tenang aja, aku pastikan akan datang tepat waktu.”
“Papa pegang omongan kamu, Wira. Silakan, kamu bisa selesaikan kembali pekerjaan kamu.”
Setelahnya, tanpa mengatakan apa pun lagi, Wira keluar dari ruang kerja ayahnya dan kembali ke ruangannya.
Sial! Begitu masuk ruangannya, laporan-laporan di atas meja justru membuat rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya. Mencoba fokus, tapi tetap tidak bisa. Jadi, ia pun memilih membiarkan pekerjaannya tetap di atas meja, sedangkan ia memutuskan untuk tidur sebentar. Sebelum itu, ia memberitahu Andrea bahwa ia akan istirahat dan tidak ingin diganggu selama dua jam ke depan.
Di salah satu sisi ruang kerja Wira terdapat sebuah pintu kayu berwarna cokelat. Yang mana jika pintu itu dibuka, terdapat sebuah ruangan kecil, mirip ruang rahasia. Di ruangan ini pula, terdapat sebuah single bed lengkap dengan bantalnya. Sebuah meja kecil terletak di sebelah tempat tidur serta ada stopkontak dengan empat lubang tertempel di dinding.
Wira sengaja tidak memasang Air Conditioner karena ia jarang menggunakan ruangan tersebut. Sebagai gantinya, ia meletakkan kipas angin kecil hadiah dari Sasmita di ruang pribadinya itu.
Wira menyalakan kipas angin tersebut. Lalu melepas sepatunya. Ponselnya diletakkan di atas meja. Setelahnya, ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan tanpa perlu waktu yang lama, ia sudah berada di alam mimpi.
Dua jam berlalu dan Wira akhirnya bisa tidur nyenyak meski hanya sebentar. Akhir-akhir ini jam tidurnya memang lumayan berantakan. Alhasil membuat Wira harus ketergantungan dengan kopi jika ingin bisa bekerja secara maksimal seperti biasanya.
Wira merasa tubuhnya segar kembali setelah tidur. Ia pun segera kembali menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Berusaha menyelesaikannya lebih cepat supaya ia tidak terlambat datang ke acara makan malam yang diadakan Pak Arifin.
Tepat pukul lima sore, Wira meninggalkan ruangannya. Dilihatnya beberapa karyawan masih berada di balik kubikel-kubikel mereka, sibuk menyelesaikan pekerjaannya masing-masing. Tidak ingin berlama-lama, Wira segera menuju tempat parkir, lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan area kantor.
Jalanan petang itu lumayan ramai. Akibatnya, waktu tempuh yang biasanya hanya lima belas menit, kini menjadi dua puluh menit. Belum lagi, karena harus mampir ke suatu tempat, membuat sisa waktunya berkurang.
Tiba di rumah, Wira segera mandi dan berganti pakaian. Tidak lupa ia melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Setelahnya, Wira merebahkan tubuhnya di sofa kamar.
Tubuhnya sudah cukup lelah hari ini, tapi karena sudah berjanji pada sang ayah untuk menghadiri undangan Pak Arifin, ia jadi mengurungkan niatnya untuk bersantai lebih lama lagi.
Ibunya datang ke kamarnya. Wanita paruh baya itu ingin memastikan lagi anak sulungnya tidak akan kabur dari undangan makan malam. Wira berusaha meyakinkan sang ibu bahwa ia tidak akan kabur.
“Kamu nggak bohong, kan? Kamu beneran mau datang makan malam di rumah Pak Arifin, kan?” Sekar lagi-lagi bertanya memastikan. Ia agak sangsi dengan jawaban Wira karena biasanya laki-laki itu membohonginya dan kabur setiap kali ada acara makan malam.
“Ya ampun, Ma. Wira serius, Ma. Wira akan ikut makan malam. Ini aku udah mau ganti baju terus Mama datang, makanya belum jadi ganti baju,” terang Wira setengah kesal.
“Ya udah, kamu cepatan siap-siapnya. Mama tunggu di ruang tengah.”
“Iya, Ma.”
Setelah ibunya pergi, Wira segera bersiap-siap. Celana bahan beige dengan atasan kemeja polos berwarna biru tua menjadi pilihan Wira malam itu. Beberapa menit kemudian, Wira turun dan menghampiri orang tuanya di ruang tengah.
Wira sudah akan melangkah menuju mobilnya ketika Roy memanggilnya dan memberikan kunci mobil.
“Kita pakai mobil Papa. Kamu yang nyetir.”