SC 08 - Bertemu Shevi

1787 Kata
Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Wira sama sekali tidak berniat beranjak dari kursinya. Di hadapannya, ada dua piring bernoda minyak dengan potongan tomat serta timun di bagian pinggirnya. Selain itu ada tiga cangkir minuman di meja. Dua cangkir kosong yang hanya menyisakan ampas kopi terletak di sebelah piring, sedangkan satu cangkir lagi isinya masih tersisa setengah. Obrolan dengan Sasmita tadi siang, entah kenapa sedikit mengganggu pikiran Wira. Bahkan Wira masih ingat betul bagaimana ekspresi Sasmita saat mengatakannya. Wanita itu tampak serius, seolah benar-benar muak dengan sikap Wira yang kerap terlalu santai. Padahal menurut Wira sendiri, ia tidak sesantai itu. Namun, semakin lama dipikirkan, semakin Wira meragukan semuanya. Mendadak ia ragu akan perasaannya sendiri. Mungkinkah yang dibilang Sasmita itu benar? Bahwa ternyata alasan sebenarnya ia mencari Shevi bukan karena ia masih menyayangi wanita itu, melainkan karena perasaan bersalahnya di masa lalu. Entah, ia sendiri juga bingung. Satu yang sekarang berusaha ia yakini, adalah keinginannya bertemu langsung dengan Shevi. Ya, hanya itu yang ia perlukan sekarang. Alamat tempat tinggal Shevi sudah ada di tangan Wira. Begitu juga dengan nomor ponsel wanita itu. Oh, soal nomor ponsel Shevi, Wira mendapatkannya dari sang adik. Sasmita sendiri yang tiba-tiba mengirimkan nomor ponsel Shevi ke ponselnya melalui pesan singkat. Dan ternyata, Wira baru tahu kalau sebenarnya selama ini adiknya tidak pernah lost contact dengan Shevi. Karena hal ini juga yang pada akhirnya membuat suasana hati Wira mendadak berubah buruk. Ia merasa Sasmita tidak jujur kepadanya. Alhasil, sepulang dari kantor, Wira memilih menenangkan suasana hatinya dengan caranya sendiri. Ia mengemudikan mobilnya tak tentu arah. Menikmati bagaimana cahaya dari lampu jalan serta dari bangunan-bangunan di sana, menemaninya sepanjang jalan. Sayangnya, meski sudah berkeliling membunuh waktunya, suasana hatinya belum sepenuhnya membaik. Wira pun memilih cara lain. Ia kembali mengemudikan mobilnya dan berhenti di pelataran parkir sebuah klub malam yang cukup terkenal di Jakarta. Mungkin beberapa teguk minuman beralkohol bisa membantu memperbaiki suasana hatinya yang kacau. Setidaknya itu yang Wira pikirkan sejak ia menginjakkan kaki begitu turun dari mobil sebelum dua orang datang dan menghentikan rencananya. Sasmita dan Sakti yang akan pulang setelah pergi makan malam bersama dan kebetulan lewat daerah itu, memergokinya di sana. Mereka meminta Wira pulang, tapi Wira menolak dan mengatakan belum ingin pulang. Dibujuk kedua kali dengan menawarkan supaya Wira menginap di rumah mereka, tapi hasilnya tetap sama. Wira menolak. Pada akhirnya setelah berdebat cukup lama, Sakti dan Sasmita menyerah. Sakti pun memutuskan untuk menemani Wira, termasuk rela menjadi sopir pribadi laki-laki itu malam ini. Sedangkan Sasmita—meski dengan perasaan cemas—, ia menitipkan Wira pada suaminya, lalu memilih pulang naik mobil Sakti setelah mendapat persetujuan dari suaminya itu. Sakti nanti akan pulang bersama Wira. Sialnya, sudah hampir dua jam mereka di kafe, tapi belum juga ada tanda-tanda Wira berniat pulang. Hal itu membuat Sakti tidak sabar. Aneh, padahal dia laki-laki, tapi kenapa bisa bertingkah menyebalkan seperti perempuan yang sedang galau begini? Seragu itukah ia memastikan perasaannya yang sebenarnya? “Udahlah, kelamaan kalau nunggu lo yang ngajak pulang. Sampai besok pagi juga kayaknya lo nggak ada tanda-tanda mau pulang. Sini, mana kunci mobil lo?” Sakti menodongkan telapak tangannya, meminta kunci mobil Wira. “Mau ngapain, sih? Baru juga jam segini, masa mau balik? Nggak, nanti ajalah,” sahut Wira. Dengan santainya ia melanjutkan meminum kopinya. “Masih jam segini, jam segini. Enak banget lo ngomongnya. Kasihan Sasmita di rumah kalau gue pulang kemalaman. Dia pasti nungguin gue pulang.” “Bucin! Suruh aja Sasmita tidur duluan, dia pasti mau kok.” “Lo amnesia apa gimana, Wir? Sasmita kan sama kayak Mama Sekar, mereka nggak akan mau tidur duluan kalau orang yang disayanginya belum pulang,” ucap Sakti. Wira berdecak, bahkan ia melupakan fakta yang satu itu. “Lah beneran lupa, lo? Ck! Orang belum nikah kayak lo mana paham enaknya disambut istri pas pulang ke rumah,” cibir Sakti. “Sialan banget lo, Sak. Kalau bukan adik ipar gue, udah gue lempar lo ke kolam buaya,” sarkas Wira. “Satu spesies sama lo, berarti. Lo kan juga buaya.” Tanpa memedulikan ekspresi kesal laki-laki di hadapannya, Sakti bangkit dari kursinya dan mengambil jas Wira yang diletakkan di kursi sebelah laki-laki itu. Merogoh sakunya dan menemukan apa yang ia cari. “Nah, ketemu! Ayo balik. Gue anterin lo sampai rumah,” ujar Sakti seraya menarik lengan baju Wira. Membawanya ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran, lalu pergi. “Bos macam apa sih lo. Kirain lo yang mau bayarin makanan tadi, tahunya tetap aja gue yang bayar. Pelit lo nggak pernah traktir kakak iparnya sendiri,” gerutu Wira seraya masuk ke mobilnya. “Mobil lo mogok habis bensin tadi gue yang bayarin ya, Wir. Enak aja masih ngatain gue pelit. Heran, sama Sasmita kenapa kalem, giliran sama gue udah kayak cewek. Sensi mulu.” Tak lama kemudian, mobil Wira meninggalkan pelataran parkir kafe. Jalanan kota semakin malam semakin ramai. Mengabaikan hawa dingin yang menusuk kulit, orang-orang dengan santainya masih menikmati kegiatan masing-masing. Mobil yang dikemudikan Sakti itu kini melaju menuju arah ke rumah mertuanya. “Sebenarnya gue nggak sensi sama lo.” Kalimat Wira memecah keheningan di dalam mobil. Sakti tak merespons, ia memilih fokus menyetir, tapi telinganya siap mendengar informasi apa pun yang keluar dari mulut Wira. “Lo tahu kan Sasmita itu satu-satunya adik gue? Lo juga tahu kan gimana protektifnya gue sebagai Kakak ke Sasmita?” Sakti menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Makanya pas Sasmita drop karena Barra menghilang, terus tiba-tiba lo datang menawarkan kebahagiaan buat dia dan lucunya, Sasmita malah terima lamaran lo. Di situ sebenarnya gue kaget banget. Gue masih nggak nyangka aja lo yang notabenenya teman gue—yang tiap deketin Sasmita, tapi ditolak sama dia—, sekarang malah jadi adik ipar gue. “Kalian yang belum lama kenal, tapi mutusin buat nikah, itu yang bikin gue kayak ngerasa, ‘Apa gue nggak bisa jagain dia dengan baik makanya Sasmita nikah?’ Gue selalu mikirin itu. “Makanya, sori banget kalau misalnya lo ngerasa gue itu sensi sama lo. Gue itu cuma mau mastiin kalau adik gue bersama laki-laki yang tepat. Yang nggak akan pernah nyakitin dia, baik secara fisik ataupun mentalnya. Gue mau dia bahagia. Itu aja, Sak.” Wira mengungkapkan semuanya. Tentang bagaimana takutnya ia jika sampai ada yang berani menyakiti Sasmita. Sungguh, ia paling tidak bisa melihat adik perempuannya itu terluka. Sudah cukup kesakitan yang selama ini Sasmita pendam karena sikap pengatur sang ayah, sekarang Wira ingin adiknya bisa bahagia. “Karena kalau sampai ada yang berani menyakiti Sasmita, gue nggak akan pernah bisa berhenti menyalahkan diri gue sendiri.” Sakti tentu saja tahu akan alasan yang satu itu. Meskipun belum lama mengenal Sasmita, tapi ia memahami Sasmita dengan sangat baik. Wanita itu seperti permata cantik yang menakjubkan. Deru suara kendaraan seolah bersahutan, klakson yang sengaja dibunyikan seolah saling ingin mendahului, serta lampu-lampu bangunan sekitar yang mulai redup menemani mereka sepanjang perjalanan pulang. Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya. Sakti fokus menyetir, sedangkan Wira memilih menatap jalanan melalui kaca mobil. Pandangannya kosong pada jalan. Mendadak ia merasa tidak tenang, entah karena apa. Mencoba memikirkannya, tapi ia tidak kunjung menemukan apa alasannya merasa seperti itu. Hingga sebuah panggilan membuatnya menoleh ke arah laki-laki di sebelahnya. Alisnya terangkat naik, tanda bertanya. “Apa alasan ketakutan lo kalau ada yang menyakiti Sasmita, ini ada hubungannya sama masa lalu lo?” Hening menyergap di antara mereka. Yang ditanya masih diam, tidak berniat menjawab. Karena nyatanya Wira sendiri bingung harus menjawab apa atas pertanyaan itu. Semuanya terlalu rumit. Semalaman sudah ia memikirkan semua matang-matang, hari ini Wira memutuskan untuk tetap menemui Shevi. Beruntung, hari ini tidak ada agenda rapat atau yang lainnya di kantor, jadi ia bisa sedikit bersantai. Apalagi pagi ini ia terlambat bangun. Semalam Sakti mengantarnya pulang dan karena waktu sudah menunjukkan tengah malam, jadi Wira meminta Sakti membawa mobilnya sekalian. Besok, ia sendiri yang akan mengambil mobil ke rumah Sakti. Setelah sarapan, Wira berangkat ke rumah Sakti menggunakan ojek online. Tak lupa, ia memberitahu Andrea bahwa ia datang ke kantor agak siang karena ada urusan mendadak. Wira tiba di rumah Sakti tepat ketika si pemilik rumah bersiap berangkat kerja. “Padahal tadi gue udah mau minta sopir buat anterin mobil lo, tapi lo malah ke sini. Nih, kuncinya,” ucap Sakti seraya memberikan kunci mobil Wira. “Oke, makasih. Kalau gitu gue langsung aja ya, masih ada urusan soalnya. Sas, Kakak duluan ya. Sekali lagi, makasih udah mau gue repotin.” Wira meraih kunci mobilnya. Melambai sebentar pada kedua orang itu, lalu masuk mobil. Tak lama mobil tersebut keluar dari halaman rumah Sakti. Wira mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju alamat tempat tinggal Shevi. Namun, sebelum ke sana, Wira membelokkan mobilnya ke Re’s Florist. Ini kali keempat ia datang ke toko bunga ini. Pak Rusdi yang sedang bertugas pun menyapa Wira. Wira balas menyapanya. Seorang perempuan muda dengan seragam khas toko bunga itu menyambutnya ramah. Menanyakan adakah yang bisa dibantu serta ingin mencari bunga apa. Untuk mempercepat waktu, Wira pun segera memberitahu apa yang ia perlukan pada perempuan itu. “Saya mau satu buket bunga Lily dan tolong dibikin secantik dan serapi mungkin, ya? Bisa?” “Bisa, Pak. Kami akan langsung membuatkan pesanan Bapak. Bapak bisa menunggu di kursi di sebelah sana atau kalau ingin lihat-lihat yang lainnya, silakan.” Beberapa menit menunggu, pesanan Wira sudah selesai. Sebuah buket bunga Lily yang dihias begitu cantik tanpa sadar membuat sudut bibir laki-laki itu terangkat. Ia pun segera mengurus pembayaran pesanannya tersebut dan pergi. Meninggalkan Re’s Florist, mobil Wira melaju dengan kecepatan sedang menuju alamat yang sudah ia hafal di luar kepala sejak beberapa hari lalu. Dan di sinilah ia sekarang, di depan sebuah gedung sepuluh lantai. Di sisi bagian depan gedung tersebut, terdapat sebuah papan kayu berukirkan “Sky Apartement”. Benar, tempat ini sesuai dengan alamat yang diberikan oleh salah satu pegawai toko bunga itu. Wira mengambil buket bunga yang ia letakkan di jok belakang mobil. Ia menghela napas. Entah kenapa, tiba-tiba jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Sial, ia gugup sekarang! Laki-laki itu menghela napasnya beberapa kali, sebelum akhirnya ia menguatkan diri untuk melangkah ke dalam gedung. Ia memberitahukan keperluannya datang ke sini kepada wanita di meja resepsionis. Wanita itu menyuruhnya menunggu di ruang tunggu sementara mereka memberitahu orang yang bersangkutan. Lagi-lagi jantungnya tidak bisa diajak bekerja sama. Ia benar-benar gugup sekarang. Di kepalanya tidak berhenti memikirkan bagaimana reaksi Shevi nanti jika bertemu dengannya? Apakah wanita itu masih ingat atau tidak dengannya? Dan berbagai pertanyaan lain yang berebut tempat di benaknya, tapi Wira sama sekali tidak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hingga suara langkah kaki mendekat, berhasil menyadarkannya lagi. Detik berikutnya, satu suara yang sudah lama tidak Wira dengar seketika membuatnya terpaku. Terpaku pada sosok bersuara lembut itu. “Wira?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN