SC 07 - Dunia Sempit

1929 Kata
“Hari terakhir kerja? Maksudnya, Shevi resign?” “Benar, Pak.” Wira menghela napas pelan. Tidak menyangka akan mendapat hasil seperti ini, padahal sejak kemarin ia berharap bisa bertemu Shevi tanpa ada drama apa pun yang menghalanginya. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkan harapannya. “Kira-kira Mbak tahu nggak alasannya kenapa Shevi resign? Apa mungkin selama bekerja di sini Shevi mengalami kesulitan? Atau karena ada hal lain yang terjadi?” tanya Wira lagi. Bagaimanapun juga ia ingin tetap memastikan bahwa keadaan Shevi baik-baik saja. “Mohon maaf, Pak saya kurang tahu alasan tepatnya kenapa Shevi resign, tapi dia sempat bilang kalau dia memutuskan untuk resign karena suatu hal yang penting. Dan setahu saya, Shevi tidak pernah terlibat masalah apa pun dengan orang lain,” jelas wanita yang bertugas sebagai kasir tersebut. Dalam hati Wira bersyukur. Setidaknya ia masih ingat bagaimana Shevi yang menyukai ketenangan dan sebisa mungkin berusaha untuk tidak terlibat dalam suatu masalah atau ikut campur masalah orang lain. “Memang ada apa ya, Pak? Kenapa Bapak bertanya tentang Shevi?” Pertanyaan penjaga kasir tersebut berhasil menyadarkan Wira lagi. Laki-laki itu menggeleng cepat. “Oh, enggak ada apa-apa. Ini saya dititipin barang sama teman saya, disuruh kasih langsung ke Shevi. Katanya penting. Ngomong-ngomong, Mbak tahu nggak Shevi tinggal di mana? Soalnya saya mau kasih titipan barang itu.” “Iya, Pak. Saya tahu,” jawab penjaga kasir itu. “Boleh saya minta alamat rumahnya Shevi?” Wira menatap secarik kertas putih di tangannya. Sebaris tulisan bertinta hitam tercetak di kertas tersebut. Sejak awal Wira bertekad akan langsung menemui Shevi jika sudah mengetahui di mana wanita itu tinggal. Namun, sekarang ketika sebuah alamat tempat tinggal Shevi sudah berada di tangannya, mendadak Wira diserang keraguan. Ingatannya terlempar ke masa lalu, pada delapan bulan lalu. Hari itu adalah satu hari di pertengahan bulan November. Hari di mana seharusnya menjadi hari istimewa bagi Wira dan Shevi. Sayangnya, satu kesalahan yang Wira perbuat justru menghancurkan semuanya. Hubungan mereka berakhir begitu saja, tanpa kata baik-baik. Sejak hari itu mereka kembali seperti dua orang asing yang tidak pernah saling bertemu. Shevi menghilang tanpa kabar, sedangkan Wira semakin menyibukkan diri dengan seabrek pekerjaan—berharap, ia bisa melupakan wanita itu dengan mudah. Sayangnya, setelah semua usaha yang ia lakukan untuk melupakan Shevi, tetap saja ada satu waktu dalam setiap harinya di mana nama itu selalu menyusup masuk dalam kepalanya. Shevi membayanginya setiap hari padahal Wira tidak pernah tahu di mana keberadaannya sejak hari perpisahan mereka. Membuat perasaan bersalah perlahan menyusup masuk dalam hatinya dan kadang terasa menyesakkan. Satu yang membuat Wira semakin merasa bersalah adalah pengakuan Sekar. Sekar mengatakan bahwa satu hari hubungan mereka berakhir, Shevi datang ke rumah dan mengajaknya jalan-jalan. Menjelang siang, Shevi dan Sekar memutuskan makan siang bersama sebelum pulang. Ketika makan siang itu, Shevi meminta maaf bahwa ia tidak bisa memenuhi keinginan Sekar untuk menjadi menantunya—istri Wira karena hubungan mereka sudah berakhir. Sekar awalnya tidak percaya, tapi Shevi yang terus mengucapkan kata maaf padanya, membuat ia akhirnya mengerti bahwa hubungan Wira dan Shevi memang benar-benar sudah berakhir. Meski dengan berat hati, pada akhirnya Sekar memahaminya. Ibunya tidak memaksakan kehendak Shevi dan memilih menerima keputusan tersebut. Namun, sebelum berpisah hari itu, Sekar sempat mengatakan kepada Shevi bahwa sampai kapan pun, ia akan tetap mengizinkan Shevi memanggilnya “Mama” seperti yang biasa wanita itu lakukan. Lamunan Wira terpecah oleh suara ketukan tak sabar pada kaca mobil di sebelahnya. Wira tersentak dan buru-buru menurunkan kaca mobilnya. Detik itu juga, bentakan kasar menyambutnya. “Heh, kamu lagi! Kalau nyetir tuh jangan sambil ngelamun, Mas! Lihat, gara-gara kamu, mobil-mobil lain jadi pada nggak bisa jalan. Tuh, jadi bikin macet, kan!” Sial, perempuan aneh ini lagi, batinnya bersuara. Wira mendengus kesal. Tidak menyangka akan bertemu lagi dengan wanita menyebalkan ini. Entahlah sebenarnya dia itu orang atau makhluk halus, sih? Kenapa selalu muncul tiba-tiba di hadapannya? “Iya-iya, maaf! Saya salah. Ini juga saya mau jalan. Udah sana Mbak minggir. Ntar kalau ada apa-apa, saya lagi yang kena,” sahut Wira. “Lah, malah nyolot? Dasar nggak tahu terima kasih,” gerutu wanita itu sambil melangkah pergi. Namun, ternyata, gerutuan itu masih bisa tertangkap indra pendengaran Wira. “Terima kasih!” teriak Wira seraya melajukan mobilnya. Mengabaikan wanita di mobil belakangnya yang kini ikut melajukan mobilnya sambil marah-marah karena ulah Wira. “Awas aja ya kalau ketemu lagi, gue sumpal mulut lo pakai buket bunga. Nggak tahu diri banget. Dasar!” kesal wanita itu. Wira tiba di kantor lagi tepat saat jam makan siang berakhir. Beberapa karyawan menyapanya ketika masuk, yang langsung disapanya balik. Menaiki lift, Wira menuju ruangannya. Panggilan dari Sasmita menyapa indra pendengarannya begitu ia keluar dari lift. Wanita itu menghampirinya langsung. “Kakak baru datang? Aku baru aja mau ke ruangan Kakak buat kasih ini,” ujar Sasmita seraya mengangkat sebuah kantung plastik bening berisi sterofoam yang dibawanya. Kening Wira berkerut samar. “Itu apa? Mie ayam?” tanyanya dengan alis terangkat. “Seratus! Tadi pas balik ke sini, lewatin warung mie ayamnya Pak Sukma. Nah, Kakak kan doyan banget sama mie ayamnya. Jadi, aku mampir beliin ini buat Kakak,” jawab Sasmita seraya mengulurkan kantung plastik tersebut kepada Wira. Wira menerimanya. “Kebetulan, Kakak belum makan siang tadi. Makasih, ya?” Dibukanya pintu ruang kerjanya dan mempersilakan Sasmita masuk. Ia menyusul kemudian lalu menutup pintu. “Loh, bukannya tadi Kakak bilang mau pergi makan siang sendiri, ya? Kok sekarang bilang belum makan?” Wira tidak langsung menjawab. Ia malah membuka kantung plastik tadi dan mengeluarkan sterofoam dari dalam kantung itu. Seketika aroma mie dengan tambahan sayur dan taburan potongan daging ayam berbumbu kecap, menerobos indra penciuman kedua orang itu. Entahlah, Wira lupa kapan tepatnya ia memasukkan mie ayam ke dalam daftar makanan favoritnya. Sepertinya, saat ia masih berumur tujuh tahun dan pertama kali diajak makan mie ayam oleh orang tuanya setelah melihat ada anak kecil yang makan mie ayam dengan lahapnya. Tidak ingin menambah pertanyaan di benak Sasmita, Wira akhirnya menceritakan semuanya. Tentang alasannya keluar rumah pagi-pagi dan melewatkan makan siangnya hanya karena ingin bertemu Shevi. Sasmita sebenarnya kasihan dengan Wira yang masih hidup dalam bayang-bayang masa lalunya. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sifat keras kepala yang diturunkan dari Roy, kadang membuat Wira mengabaikan saran dari orang-orang di sekitarnya. Kakaknya itu selalu melalukan apa pun sesuai apa yang diyakininya, baru ketika ia sudah benar-benar kehabisan ide, ia akan mendengarkan perkataan orang lain. “Terus gimana, Kakak udah coba datang ke alamat itu?” tanya Sasmita lagi. “Belum. Papa tadi minta aku buat langsung balik ke kantor habis jam makan siang. Kayaknya mau sekalian bahas soal kelanjutan meeting dengan Pak Arifin tadi pagi atau mungkin mau bahas hal lain. Aku juga nggak tahu,” jawab Wira. “Tapi, kayaknya Papa masih belum balik ke kantor. Mobilnya nggak ada di parkiran, soalnya. Tadi sempat bilang, katanya mau makan siang di rumah sekalian ambil barang yang ketinggalan gitu. Mungkin bentar lagi, Papa juga datang.” Wira hanya mengangguk singkat. Dibanding bingung menerka-nerka alasan apa yang membuat sang ayah memintanya untuk cepat kembali ke kantor setelah jam makan siang, Wira lebih memilih menikmati mie ayam di hadapannya. Anggap saja, jaga-jaga kalau misalnya tiba-tiba sang ayah mengajaknya membahas sesuatu yang berat, ia bisa berpikir. Bukannya tubuh akan lebih mudah diajak kerja sama jika perut tidak sedang lapar? “Eh, iya, aku baru ingat sesuatu. Kakak ingat nggak sama cewek yang aku samperin pas di pesta waktu itu, pas kita lagi ngobrol?” tanya Sasmita. Kening Wira berkerut samar. Ia memang ingat Sasmita sempat menghampiri seseorang ketika mereka sedang mengobrol, tapi soal siapa yang ditemui adiknya saat itu, Wira sama sekali tidak tahu. Namun, pada akhirnya untuk mempercepat, Wira memilih mengangguk. Sasmita pun melanjutkan. “Nah, tadi kan aku janjian lunch sama Nada, temenku itu. Terus dia bilang mau ngajak temannya yang kebetulan baru pulang dari luar negeri. Ya udah jadinya kami lunch bertiga. Kita ngobrol banyak juga. Dan tahu nggak nggak, siapa ternyata temannya Nada ini?” “Siapa emang?” Wira balik bertanya. “Rana, anak bungsunya Pak Arifin,” jawab Sasmita cepat. Mendengar itu, Wira tersentak kaget. “Anaknya Pak Arifin yang baru lulus S2 di Australia itu? Beneran?” Sasmita mengangguk cepat. “Iya, dia. Yang kata Mama, kemarin sempat mau dikenalin sama Kakak, tapi ternyata Kakak pulang duluan,” lanjutnya. “Gila! Dunia sempit banget ya ternyata. Nggak nyangka aja ternyata dia temannya teman kamu. Terus kenapa memangnya? Kamu berniat ngejodohin aku sama Rana-Rana itu? Makasih, Sas. Nggak usah repot-repot. Kakak nggak mau,” ucap Wira seraya membereskan bekas bungkus makanannya dan membuangnya ke tempat sampah. Lalu mengambil beberapa lembar tisu untuk membersihkan tangannya. “Dih, siapa juga yang mau ngejodohin Kakak sama dia. PD banget!” cibir Sasmita. “Bohong banget. Aku tahu ya gimana kamu, Sas. Kamu nggak bakalan cerita soal teman-teman kamu kalau nggak berniat ngejodohin aku sama salah satu di antara mereka,” sahut Wira, sudah hafal bagaimana tingkah Sasmita. Wanita itu berdecak sebal. “Suudzon mulu, deh. Makanya, dengerin dulu. Aku belum selesai ngomong,” protesnya. Wira menghela napas pelan. Lalu mengisyaratkan pada Sasmita untuk kembali melanjutkan apa yang ingin disampaikan. “Aku dengar Papa mau jodohin Kakak sama Rana, tapi aku kurang setuju sama perjodohan itu.” “Bagus! Kamu di pihak Kakak,” potong Wira yang langsung disambut tatapan tajam oleh Sasmita. “Tunggu, kenapa kamu nggak setuju sama perjodohan itu? Memangnya Rana ini orangnya bagaimana?” Jika siapa pun laki-laki yang dekat atau menjalin hubungan dengan adiknya harus melalui seleksinya dulu. Maka, kini ganti siapa pun perempuan yang dekat atau menjalin hubungan dengan Wira harus melalui seleksi dari Sasmita dulu. Begitulah cara mereka saling menjaga satu sama lain. Mereka tidak ingin, ada yang tersakiti dalam menjalani hubungan. Sasmita mengatakan semuanya menurut pengamatan wanita itu. Deskripsinya hampir sama seperti yang dijelaskan ibunya kemarin. Sampai di sini, Wira masih tidak mengerti apa alasan Sasmita tidak setuju dengan perjodohan tersebut karena menurut pendapatnya—setelah mendengar cerita Sasmita dan Sekar—, Rana cukup potensial untuk menjadi calon pendamping Wira. Namun, ucapan wanita itu selanjutnya pada akhirnya membuat Wira mengerti alasan kenapa wanita itu mengatakan demikian. “Aku kurang setuju bukan berarti aku nggak setuju, Kak. Aku akan dukung apa pun keputusan Kakak. Tapi, alasanku sebenarnya adalah karena aku mau kenalin Kakak sama Nada. Karena aku rasa, Nada orang yang cocok buat Kakak bukan Rana.” “Ujung-ujungnya tetap ngejodohin, kan? Sas, kamu tahu kan kalau aku masih mencintai Shevi? Perasaanku sama dia belum berubah. Jadi, tolong biarkan aku perjuangin Shevi dulu. Baru setelah itu, bagaimana kelanjutannya, itu urusan belakangan.” Sasmita menggeleng. “Perasaan Kakak ke Kak Shevi itu udah berubah, Kak. Kakak selama ini nyari Kak Shevi bukan karena masih sayang atau cintai, tapi karena perasaan bersalah Kakak, kan? Karena Kakak pengin menyelesaikan semuanya secara baik-baik. Aku benar, kan?” “Sas, kamu ...” Seulas senyum yang tercetak di bibir Sasmita seketika membuat lidah Wira kelu. Laki-laki itu bahkan kesulitan melanjutkan ucapannya. “Kalau memang Kakak masih mau menyelesaikan semuanya secara baik-baik sama Kak Shevi, aku akan dukung Kakak,” ucap Sasmita lalu beranjak bangkit dari sofa. Wanita itu melangkah menuju pintu tanpa mengatakan apa pun lagi. Namun, baru akan mencapai pintu, Sasmita menghentikan langkahnya dan berbalik. Ditatapnya wajah laki-laki yang kini juga menatapnya. “Jangan pernah memberi harapan tinggi pada orang lain kalau kamu sendiri masih ragu dengan perasaan itu.” Setelahnya, Sasmita keluar dari ruangan Wira dan tepat saat itu ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Pesan yang seketika itu juga membuat Wira membelalakkan mata tak percaya. Lantas melirik pintu, Sasmita sudah pergi. “Shevi ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN