SC 06 - Perempuan Aneh Lagi

1978 Kata
Jangan berharap terlalu tinggi pada sesuatu sebelum kamu mengetahui sendiri bagaimana kenyataan yang terjadi. Ya, Wira setuju dengan pernyataan itu. Semalam setelah mengobrol banyak dengan sang ibu, Wira jadi semakin tidak sabar menanti hari ini. Wira terlalu bersemangat karena hari ini ia akan bisa bertemu Shevi lagi setelah sekian lama tidak bertemu. Ya, hari ini Wira akan datang ke toko bunga, tempat Shevi bekerja. Wira bahkan bangun lebih awal dari biasanya. Mandi dan berganti pakaian. Celana bahan dan kemeja biru muda, menjadi pilihannya. Lengan kemeja itu kemudian digulung hingga sebatas siku. Bagus! Penampilannya sekarang mencerminkan bahwa ia adalah laki-laki matang dan sederhana—seperti pujian yang biasa Shevi lontarkan kepadanya. Setelah memastikan penampilannya sekali lagi melalui cermin, Wira lalu mengambil barang-barangnya dan segera turun. Ia tiba di ruang makan lebih awal daripada orang tuanya. Diambilnya dua lembar roti tawar yang kemudian diolesi dengan selai cokelat, kemudian melahapnya. “Kamu kok buru-buru banget? Memangnya mau ke mana?” tanya Sekar yang baru masuk ruang makan. Roy, suaminya, masih ke toilet. Wira menyuap potongan terakhir dari roti tawarnya lalu meneguk habis susunya. “Mau ke tempat kerja Shevi, Ma. Nanti habis dari tempat kerjanya Shevi, aku langsung ke kantor. Kalau gitu, Wira berangkat ya, Ma. Assalamualaikum,” pamitnya seraya menyalami tangan kanan Sekar. “Wa’alaikumsalam. Hati-hati nyetirnya!” “Iya, Ma.” Mobil Wira melaju dengan kecepatan sedang, keluar dari area perumahannya menuju jalan raya. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi ketika ia tiba di perempatan jalan tidak jauh dari gerbang perumahannya. Oke, masih ada waktu satu setengah jam sebelum meeting bersama Pak Arifin dimulai. Begitu lampu lalu lintas berubah warna hijau, Wira segera melajukan mobilnya. Jika biasanya dari perempatan jalan tadi Wira mengambil arah kanan setiap kali berangkat ke kantor, kali ini ia melaju lurus. Meski jalanan pagi itu ramai, tapi tidak sampai lima belas menit, ia tiba di pelataran parkir sebuah toko bunga. Sayangnya, ia harus merutuki kebodohannya lagi, karena datang saat toko masih belum buka. Re’s Florist, adalah tulisan yang tertera di papan nama toko tersebut. Dari luar, toko itu cukup luas. Terlihat dari panjangnya kaca bening yang menjadi dinding bangunan tersebut. Bagian depan bangunan tampak kosong. Hanya ada sebuah kanopi yang panjangnya seukuran dua kaca. Wira bisa menebak, kanopi tersebut nantinya akan digunakan sebagai pelindung bunga-bunga yang diletakkan di rak di bawah kanopi. Bangunannya yang menghadap arah barat, membuat Wira tidak bisa mengetahui bagaimana bagian dalam toko tersebut karena gelap. Namun, jejeran berbagai macam bunga di sepanjang tepi dinding kaca, sedikit membuatnya tahu tentang bagian dalam bangunan tersebut. “Permisi, Mas. Maaf, Mas siapa, ya? Soalnya dari tadi saya perhatikan dari seberang jalan kok Mas ngelihatin toko bunga ini terus, ya?” Pertanyaan tersebut sontak membuat Wira tersentak kaget. Wira menoleh dan mendapati seorang laki-laki asing—yang usianya kira-kira sama dengan ayahnya—memakai kaus garis-garis biru berdiri di sebelahnya dengan ekspresi penasaran. “Oh, maaf. Ini saya rencananya mau beli bunga untuk ibu saya di sini, tapi ternyata tokonya masih tutup,” bohong Wira. “Oalah mau beli bunga, toh. Mas datangnya kepagian. Ini masih jam setengah tujuh, Mas. Tokonya buka jam sembilan, tapi kadang jam setengah sembilan karyawannya udah ada yang datang. Biasanya bersih-bersih sebelum buka toko,” jelas laki-laki paruh baya itu. “Oh, bukanya jam sembilan, ya? Waduh, masih lama banget, ya, Pak. Masih sekitar dua setengah jam lagi,” ucap Wira seraya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Iya, memang masih lama banget, Mas. Saran saya mending Mas pulang dulu, terus nanti balik lagi pas tokonya buka daripada kelamaan nunggu di sini nanti takutnya dikira macem-macem, Mas. Mau mata-matain gitu.” “Iya, Bapak bener juga, ya? Tapi, maaf kok Bapak bisa tahu kalau jam buka toko ini? Bapak tinggal di daerah sini juga?” tanya Wira hati-hati. Takut menyinggung perasaan laki-laki di hadapannya ini. Anehnya laki-laki paruh baya itu malah tertawa. “Jelaslah, Mas saya tahu jam buka toko ini. Kebetulan saya kerja jadi juru parkir di toko itu,” jawabnya. “Oh, sudah dulu ya, Mas. Saya mau pamit beli sarapan dulu,” pamit laki-laki itu seraya mengulas senyum. Namun, belum sempat laki-laki paruh baya itu melangkah, suara Wira menahannya. “Iya, ada apa, Mas?” Laki-laki itu menatap Wira bingung. “Boleh saya ikut cari sarapan sama Bapak?” Mobil Wira berhenti di sebuah rumah makan sederhana tak jauh dari Re’s Florist. Hanya lima menit naik mobil saja. Wira dan Pak Rusdi—laki-laki paruh baya yang tadi di depan toko bunga—pun memasuki warung makan tersebut. Warung itu berukuran dua kali tiga meter. Terdapat tiga buah meja panjang dengan masing-masing meja berisi enam kursi plastik. Kebiasaan pergi kuliner bersama Sasmita di sela kesibukan mereka, membuat Wira menemukan warung makan ini. Rasa masakan yang enak dan harganya terjangkau membuat warung makan ini tidak pernah sepi pembeli. Keduanya segera memesan makanan dan minuman, tak lama kemudian seorang ibu-ibu datang mengantarkan pesanan mereka. Wira lantas mengucapkan terima kasih. Tidak ada pembicaraan setelahnya. Baik Wira atau Pak Rusdi sama-sama fokus menikmati makanan di hadapan masing-masing. “Oh ya, Pak. Ngomong-ngomong Bapak kerja jadi juru parkir di Re’s Florist sudah berapa lama?” tanya Wira pada Pak Rusdi. Memecah keheningan yang menyelimuti keduanya. “Berapa lama, ya?” Pak Rusdi berusaha mengingat-ingat lagi. “Mungkin sudah dua tahun lebih saya jadi juru parkir di sana,” jawabnya. Teringat sesuatu, Wira lalu meletakkan kembali sendoknya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. “Pak, maaf saya mau tanya. Bapak kan sudah lama jadi kerja di Re’s Florist. Kira-kira Bapak pernah lihat wajah orang di foto ini nggak, Pak? Karyawan, atau mungkin pembeli, begitu. Pernah lihat, Pak?” tanya Wira seraya menunjukkan foto Shevi di ponselnya kepada Pak Rusdi. Pak Rusdi tak langsung menjawab. Laki-laki paruh baya itu menatap foto Shevi cukup lama sambil berusaha mengingat, apakah pernah melihat wajah orang di foto itu di antara banyaknya orang yang pernah ditemuinya. Wira menatap Pak Rusdi cemas. Ia benar-benar berharap kali ini informasi Rafael menjadi titik terang pencarian Shevi. “Ah, iya saya ingat, Mas. Ini kan Mbak Shevi. Salah satu karyawan di Re’s Florist. Orangnya baik terus ramah juga,” jawab Pak Rusdi. Wira yang tanpa sadar sejak tadi menahan napas menunggu jawaban Pak Rusdi seketika menghela napas lega. Ternyata benar, Shevi memang bekerja di Re’s Florist. “Tapi, ngomong-ngomong Mas kok tahu Mbak Shevi? Mas siapanya Mbak Shevi? Temannya?” tanya Pak Rusdi dengan raut wajah penasaran. Teman? “Iya, saya temannya Shevi. Tadi saya rencananya ke Re’s Florist mau beli bunga buat ibu saya sekaligus mau ketemu Shevi. Ada titipan undangan pernikahan dari teman saya yang lain buat Shevi. Soalnya, udah lama nggak kontakan, terus dengar-dengar katanya Shevi kerja di florist. Makanya saya coba datang ke sini.” Lagi-lagi, Wira menjawabnya dengan kebohongan. Tidak ada undangan pernikahan dari temannya yang lain yang juga teman Shevi, yang ada hanya keinginan Wira untuk bertemu Shevi. Lagi pula kenyataannya, di antara teman-temannya, hanya Wira dan Shevi saja yang masih belum menikah. Itu juga yang jadi alasan kenapa orang tua Wira—ayahnya, terutama—terus-menerus menjodohkan Wira. “Oalah, Mas temannya Mbak Shevi toh. Saya kira siapanya Mbak Shevi. Maaf, Mas.” Wira tersenyum tipis. Kembali melanjutkan sarapannya. Begitu juga dengan Pak Rusdi yang kembali menikmati sarapannya. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Menampilkan sederet huruf bertuliskan Andrea—sekretarisnya— sebagai nama pemanggilnya. Wira permisi menerima telepon tersebut di sana. Andrea memberitahu Wira bahwa Pak Arifin dan sekretarisnya datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Karena itu sang ayah meminta Andrea untuk memberitahu Wira supaya segera datang ke kantor. Karena kesannya tidak etis jika membuat anggota rapat menunggu terlalu lama. Maka, setelah membayar makanan untuknya dan Pak Rusdi, ia segera mengantar Pak Rusdi kembali ke Re’s Florist. Lalu melajukan mobilnya menuju kantor. Niat hati ingin kembali ke florist setelah rapat selesai, tapi karena masih ada beberapa berkas yang harus dipelajari, alhasil Wira mengurungkan niatnya. Wira memilih menyelesaikan semua pekerjaannya terlebih dulu, kemudian menemui Sasmita di ruangannya. Semalam, ibunya pasti sempat menanyakan keberadaannya pada Sasmita hingga akhirnya berujung Sasmita beberapa kali mengiriminya pesan dan bertanya di mana keberadaannya. Sasmita selalu mencemaskan siapa pun yang ada di dekatnya. Setelah menemui Sasmita di ruangannya dan menjelaskan semuanya, Wira lalu mengajak adiknya makan siang bersama. Namun, Sasmita menolak karena sudah ada janji dengan temannya yang ketemu di pesta kemarin. Wira pun menawarkan diri untuk mengantar, tapi Sasmita bilang bahwa ia diantar Sakti. Jadi, Wira memilih untuk pergi lebih dulu. Dan di sinilah Wira sekarang, di sebuah minimarket yang letaknya beberapa meter dari tempat kerja Shevi. Dahaga yang menyerangnya, membuat Wira memilih menghentikan mobilnya di minimarket ini. Ia masuk dan mengambil sebotol minuman dingin, lalu membayarnya di kasir. Namun, ketika keluar dari minimarket, tiba-tiba seseorang menabrak bahunya hingga membuat minuman yang baru saja ia buka itu jatuh. Isinya tumpah hingga membasahi meja depan minimarket dan lantainya. Celananya pun ikut menjadi korban dari tumpahan minuman tadi. “Kalau jalan lihat-lihat dong. Jadi tumpah kan minuman saya.” “Iya, aduh. Maaf-maaf, Mas, saya—” “KAMU?” “Astaga, Mbaknya lagi. Mbak kalau jalan lihat-lihat, dong. Jangan sambil main HP. Lihat kan akibat ulah Mbak, Mbak jadi nabrak saya terus minuman saya tumpah. Celana saya juga jadi basah gini. Tanggung jawab dong, Mbak,” ujar Wira kesal. Perasaan tadi ia berharap bisa bertemu Shevi, tapi kenapa malah bertemu perempuan aneh ini di minimarket. Sialnya pakai acara numpahin minuman ke celananya lagi. Oh, kalau kalian lupa, dia adalah wanita di rel kereta api sore itu. Wanita yang Wira kira hampir bunuh diri di sana. “Ya biasa aja dong, Mas ngomongnya. Jangan ngegas. Iya-iya minumannya saya ganti. Gitu aja pakai marah-marah,” sahut wanita itu. “Heh, Mbak saya nggak masalah sama minumannya. Yang masalah tuh ini, gara-gara Mbak nabrak saya, celana saya jadi basah kayak gini padahal saya masih harus ke kantor lagi loh. Mbak tanggung jawab.” “Terus maksud Mas saya harus ganti rugi celana Mas yang basah? Enak aja. Saya nggak mau. Mas aja belum ganti rugi kalung saya yang Mas hilangin waktu itu kok saya disuruh ganti rugi. Ogah!” tolak wanita itu seraya mengalihkan pandang ke arah lain. “Kalung? Eh, Mbak saya kan udah bilang kalau saya nggak tahu soal kalung Mbak yang hilang. Kenapa malah nyalahin saya sih? Heran saya. Oh, bilang aja Mbak mau meras saya kan makanya sok-sok bilang kalungnya hilang biar saya gantiin. Iya, kan?” “Mulutnya tolong dijaga, ya! Saya nggak semurahan itu buat meras Masnya. Udahlah terserah, saya pokoknya nggak mau ganti rugi ya kalau Mas nggak mau tanggung jawab sama kalung saya yang hilang.” Wira berdecak. Wanita di hadapannya ini memang benar-benar aneh. Seenaknya saja masih menuduh orang sembarangan menghilangkan kalungnya padahal ia tahu model kalungnya saja tidak. “Oke kalau gitu, terserah. Saya juga nggak mau tanggung jawab soal kalung karena memang bukan saya yang ngilangin. Dan saya juga nggak mengharap ganti rugi celana dan minuman saya. Permisi.” Setelahnya, Wira memungut botol minumannya yang sudah kosong dan membuangnya ke tempat sampah. “Dasar, cowok aneh!” “Mbak lebih aneh!” Wira lalu masuk ke mobilnya dan pergi. Masa bodo dengan perempuan aneh tadi. Ia tidak peduli jika orang-orang melihat pertengkaran mereka tadi dan merekamnya. Sekarang yang perlu ia urus adalah Shevi. Wira bertemu Pak Rusdi lagi di pelataran parkir florist dan menyapa laki-laki paruh baya itu. Pak Rusdi balas menyapanya. Wira pun segera masuk, melihat-lihat bagian dalam toko sambil memilih bunga yang tepat untuk sang ibu—seperti alasan yang ia utarakan kepada Pak Rusdi tadi pagi. Kini, satu buket bunga mawar sudah berada di tangannya. Wira segera mengurus pembayaran di kasir. Namun, sebelum pergi, Wira menyempatkan diri untuk bertanya tentang Shevi kepada kasir itu. Sayangnya, jawaban kasir tersebut justru menjatuhkan harapannya. “Benar, Pak. Pegawai di sini memang ada yang bernama Shevi, tapi Shevi sudah pulang, Pak. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di florist.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN