Seharusnya memang sejak awal Wira tidak perlu datang memenuhi undangan makan malam dari Pak Arifin dan istrinya. Sayangnya, alasannya yang takut dicap sebagai anak durhaka oleh orang tuanya, membuat Wira terpaksa datang. Tidak peduli bagaimana nantinya acara tersebut berlangsung.
Lagi pula, alasan sebenarnya ia datang adalah untuk menghargai Pak Arifin yang sudah mengundangnya. Selain itu karena ia merasa sedikit penasaran dengan anak bungsu Pak Arifin yang cantik—ini kata ibunya, bukan kata Wira.
Hingga pada akhirnya, Wira mengakui bahwa seorang Kirana Rarasati Wijaya dengan dress hitam polos berlengan shabrina begitu cantik dan anggun. Senyum manis dan suara lembutnya menyapa ramah. Oh, pantas saja ibunya mengatakan bahwa Rana—nama panggilan wanita itu—akan sangat cocok bersanding dengannya.
Rana terlihat kalem, tapi juga tegas di satu waktu. Tutur kata dan sikapnya pun sopan, membuat siapa saja yang melihatnya akan langsung menyukainya. Lucunya, melihat Rana, ia malah tiba-tiba teringat tentang Shevi. Sifat dan pesona mereka tidak jauh berbeda.
Sama seperti Jessica? Mungkin hanya suara kalem dan wajah cantiknya saja yang mirip, tapi perihal kepribadian—tidak! Jessica jauh di bawah mereka berdua.
Acara makan malam itu tidak jauh berbeda dengan acara makan malam pada umumnya. Di awal kedua pasangan itu saling mengenalkan anak-anak mereka. Menambahkan beberapa kata manis yang entah kenapa terdengar aneh di telinga Wira. Terlalu lebay, menurutnya.
Dan benar dugaan Wira, orang tua mereka ternyata memiliki maksud lain. Tidak hanya sekadar perkenalan, tapi mereka juga tiba-tiba membahas tentang perjodohan. Pembahasan yang Wira benci. Untungnya, istri Pak Arifin lebih dulu menginterupsi pembicaraan dan menyarankan supaya mereka segera makan saja.
Sembari menikmati makan malam yang disediakan tuan rumah, mereka mengobrol santai. Para laki-laki yang kemudian tenggelam dengan obrolan seputar bisnis dan perusahaan. Yang mana membuat nama Wira beberapa kali diseret dalam obrolan mereka. Sedangkan dua orang ibu di meja makan itu memilih membicarakan kesukaan mereka.
Lucunya, Anjani—istri Pak Arifin sekaligus ibunya Rana—menyukai tanaman sama seperti Sekar. Wanita yang tampak masih muda meskipun usianya sudah hampir menginjak lima puluh tahun tersebut bercerita bahwa ia memiliki hobi berkebun. Wanita itu juga memberitahu bahwa memiliki cukup banyak koleksi tanaman di halaman rumah, baik yang masih berada di dalam pollybag atau yang sudah berubah berada di pot besar.
Alhasil kedua ibu tersebut terlibat obrolan menyenangkan tentang tanaman dan sejenisnya. Sedangkan Wira yang sejak tadi tidak berminat bergabung, memilih diam dan sesekali menyimak. Walaupun pada kenyataannya, ia sudah merasa bosan sejak pertama kali melihatnya.
Wira melirik wanita di hadapannya. Rana memakan makanannya tanpa minat, tampak sama bosannya seperti Wira. Sialnya, tiba-tiba saja wanita itu mendongak ke arahnya. Membuat pandangan mereka beradu. Hanya beberapa detik saja, karena Wira lebih dulu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Namun, suara yang terdengar kemudian berhasil membuat Wira kembali menatap wanita itu.
“Maaf, semuanya. Pa, Ma, Rana minta izin ajak Kak Wira keliling rumah kita. Boleh, nggak, Pa?”
Pertanyaan Rana membuat empat orang dewasa itu sontak menatap ke arah Wira dan Rana. Detik berikutnya, Pak Arifin langsung menyetujui permintaan putri bungsunya itu. Dan tanpa membuang waktu lagi, Wira dan Rana pamit pergi.
“Di sana terlalu membosankan,” ucap Rana.
“Ya, aku melihatmu tidak nyaman tadi. Maaf, kalau orang tuaku sedikit berlebihan,” sahut Wira.
“It’s okay. Kakak nggak perlu minta maaf. Orang tuaku yang mengadakan acara makan malam ini dan ternyata malah membuat Kakak juga tidak nyaman berada di sana. Kalau begitu, ayo kuajak tur singkat sebagai penghilang bosan.”
Wira mengangguk dan Rana memulai tugasnya sebagai pemandu dadakan dengan sangat baik.
Dibanding rumahnya, rumah Pak Arifin jauh lebih besar dan megah. Bangunannya mirip vila dan terdiri dari empat lantai. Perkiraan Wira, jika dilihat dari penataan ruangannya, rumah ini memiliki sepuluh kamar tidur dan beberapa ruangan privat lainnya. Penataan perabot yang pas, membuat rumah ini terlihat lebih luas.
“Sebetulnya aku agak kurang nyaman bersama orang yang baru kukenal. Jadi, maaf aku nggak bisa ajak kamu naik ke lantai atas. Di sana terlalu privat, soalnya,” ucap Rana ketika mereka tiba di samping tangga menuju lantai dua.
Wira mengangguk paham. Ia menghargai privasi si pemilik rumah. Apalagi ini pertama kalinya Wira datang ke rumah Pak Arifin dan bertemu langsung dengan Rana. Jadi, ia memakluminya.
Justru yang membuat Wira terkesan adalah sikap sopan dan kejujuran wanita itu. Beberapa menit bersama Rana, lumayan membuat Wira mengerti bagaimana wanita itu. Rana adalah tipe orang yang ragu mengungkapkan pendapatnya. Berkata ‘ya’ jika setuju dan ‘tidak’ jika memang tidak setuju. Tipe orang yang tidak mau membuat lawan bicaranya terbang tinggi tanpa kejelasan.
Mereka melanjutkan berkeliling. Menuju halaman belakang rumah yang dipenuhi berbagai jenis tanaman. Mungkin ini yang dimaksud ibunya Rana tadi perihal beliau yang juga menyukai berkebun. Aroma bunga sedap malam di dekat pintu yang terhubung ke dapur, begitu menusuk indra penciuman. Alhasil, Rana mengajak Wira pergi dari sana.
“Kalau Mamaku tahu seluas itu halaman belakang rumah kamu, sepertinya beliau akan sering datang ke sini untuk berkebun bersama Mama kamu,” ujar Wira seraya mengikuti langkah Rana.
Cuaca hari ini yang panas membuat suhu udara tidak terlalu dingin. Bahkan sepertinya tidak cukup kuat untuk membuat wanita di hadapannya mengeluh kedinginan.
Rana menoleh. “Mama memang menyukai tanaman sejak sebelum menikah. Mama bilang, lebih suka dapat hadiah bibit tanaman daripada diajak jalan-jalan. Makanya, beberapa tanaman di halaman belakang tadi adalah hadiah dari Papa dan anak-anaknya.
“Tapi mungkin ucapan Kakak tadi akan berlaku sama untuk Mamaku kalau misalnya beliau melihat langsung koleksi tanaman Tante Sekar, kan?”
Acara tur singkat itu berakhir di area kolam renang. Terdapat sebuah meja berpayung dengan dua buah kursi kayu di kedua sisi meja.
“Ya, aku rasa koleksi tanaman Mama di rumah tidak jauh beda dengan milik Tante Anjani. Bahkan Mama pernah punya keinginan untuk membuka toko bunga di depan rumah bersama adikku. Dia kebetulan juga suka bunga. Hanya saja belum sempat direalisasikan karena masih ada yang harus diprioritaskan,” jawab Wira seraya menarik kursi dan mempersilakan wanita itu duduk.
“Terima kasih,” ucap Rana seraya menyunggingkan senyum manisnya yang sesaat membuat Wira terpaku. “Oh, ngomong-ngomong soal adiknya Kak Wira. Sebenarnya aku sudah pernah bertemu dengannya beberapa hari lalu. Tepatnya satu hari setelah acara ulang tahun pernikahan orang tuaku. Namanya, Sasmita, kan?”
Wira mengangguk. “Ya, waktu itu Sasmita sempat cerita kalau dia janjian makan siang bersama teman di bimbelnya dulu. Dan dia bilang teman dari temannya yang janjian dengan dia itu adalah anak bungsunya Pak Arifin yang baru lulus S2 di Australia. Itu kamu, Rana.”
Rana tertawa. “Dunia itu sempit, ya? Aku juga nggak nyangka aja kalau Sasmita temenan sama temanku dan dia anaknya Om Roy. Apalagi waktu di pesta itu aku cuma ketemu sama Om Roy dan Tante Sekar aja. Nggak pernah berpikir kalau ternyata kalian satu keluarga.”
Sasmita benar, Rana adalah orang yang mudah bergaul. Buktinya mereka cukup nyambung selama mengobrol. Ya, walaupun sebenarnya Wira merasa wanita itu memiliki dinding pertahanan yang susah ditembus. Mungkin sebagai bentuk perlindungan dari sikap-sikap orang lain terhadapnya.
Bahasan tentang bisnis dan perusahaan yang dimiliki oleh orang tua mereka membuat mereka terlibat obrolan cukup lama. Bagaimana mereka yang secara tidak langsung harus ikut mengurus perusahaan dan bisnis-bisnis tersebut alih-alih mengejar mimpi sebenarnya. Bagaimana mereka yang harus menjaga nama baik keluarga. Bagaimana mereka yang kadang merasa waswas dengan lingkungan sekitar karena persaingan bisnis bisa sangat membahayakan keselamatan.
Ini merupakan pembicaraan paling panjang dengan orang yang baru dikenal, menurut Wira ataupun Rana. Padahal biasanya, berbicara satu atau dua patah kalimat kepada orang yang baru dikenal, itu sudah lebih dari cukup.
“Kami pikir kalian di halaman belakang, ternyata kalian ada di sini.”
Suara dari arah belakang seketika berhasil menginterupsi obrolan Wira dan Rana. Mereka sontak menoleh ke sumber suara dan mendapati empat orang dewasa menghampiri mereka.
“Papa senang kalian bisa saling kenal seperti ini. Bagaimana kalau kalian berdua Papa jodohkan? Papa lihat-lihat, kalian berdua cocok. Benar kan, Pak Roy, mereka cocok?” Pak Arifin menoleh ke samping kanannya. Meminta pendapat teman bisnisnya tersebut.
“Papa apaan sih! Main jodoh-jodohin aja, kami kan baru kenal tadi,” protes Rana yang entah kenapa nada bicaranya terdengar lucu di telinga Wira.
“Rana benar, Om. Kami baru bertemu dan kenal hari ini, tidak mungkin kalau tiba-tiba dijodohkan,” ucap Wira sopan.
“Loh, siapa bilang tidak mungkin, Wira? Tadi setelah kalian pergi, kami berempat membahas rencana perjodohan kalian. Soal kalian yang baru kenal, itu bukan masalah yang besar. Kalian bisa saling mengenal lebih jauh kalau kalian bersama. Om juga akan sangat senang kalau memiliki menantu yang luar biasa seperti kamu,” aku Pak Arifin.
Persetujuan yang dilontarkan Roy setelahnya membuat perasaan tidak nyaman menyerang Wira dan Rana. Setelah mencoba memberi penjelasan lagi, mereka sepakat untuk mengakhiri pembicaraan di sana.
Pertemuan malam itu selesai dengan gejolak emosi yang tiba-tiba bangkit dalam d**a Wira. Berusaha bersikap senetral mungkin, Wira berpamitan kepada si pemilik rumah. Pak Arifin dan istrinya, serta Rana mengantar mereka hingga ke depan. Tak lama kemudian, mobil Wira meninggalkan area pekarangan rumah megah milik Pak Arifin.
“Benar kan, Wir yang Mama bilang tentang Rana. Dia cantik dan lemah lembut, sama seperti kriteria wanita pilihan kamu, kan? Mama aja langsung suka sama dia.”
“Iya, sesuai dengan yang Mama bilang waktu itu. Tapi buat dijadikan wanita pilihan, Wira belum berpikir ke arah sana, Ma. Menurutku, Rana masih terlalu muda untuk menikah, Ma. Apalagi dia baru menyelesaikan pendidikannya,” jawab Wira tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan yang dilaluinya.
“Rana itu satu tahun lebih tua daripada Sasmita, Wir. Usianya sudah masuk usia ideal menikah seorang perempuan. Jadi, tidak ada salahnya kalau kamu menjalin hubungan dengan Rana,” ujar Sekar.
“Kamu lihat saja Sasmita dan Sakti, usia mereka berbeda empat tahun, tapi mereka berani menjalani hubungan bahkan sampai menikah. Sedangkan kamu dan Rana hanya beda tiga tahun saja. Kenapa kamu nggak mau mencoba menerimanya saja?” Roy bergabung dalam pembicaraan.
Wira mendengus pelan. Rasanya percuma saja ia menjelaskan bagaimanapun sampai mulutnya berbusa, orang tuanya pasti akan tetap mendesaknya. Entahlah, ia tidak paham kenapa ibunya mendadak ikut-ikutan sang ayah yang minta ia menerima perjodohan.
Alhasil, tidak ingin membuat emosi di dalam tubuhnya semakin membara, Wira memilih diam dan menambah kecepatan laju mobilnya supaya lebih cepat sampai rumah. Ia sudah terlalu lelah untuk mendengar pembahasan soal perjodohan itu lagi.
Tiba di rumah, Wira segera naik ke kamarnya di lantai dua. Wira membersihkan diri sebentar dan berganti baju santai. Lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Lagu acak dari pemutar musik online mengalun dari ponselnya, memenuhi seisi kamar.
Ini adalah perpaduan yang menenangkan.