Informasi yang disampaikan Rafael kemarin malam bak angin segar bagi seorang Wira Wardhanu. Entah kenapa, ia merasa informasi tersebut akan menjadi titik terang dalam pencarian Shevi.
Ya, ia yakin soal itu.
Rafael mengatakan bahwa ia sudah mengetahui di mana tempat kerja Shevi sekarang. Menurut informasi, Shevi bekerja di sebuah toko bunga di Jakarta.
Maka, tanpa pikir panjang, Wira segera memacu mobilnya menuju alamat toko bunga yang sebelumnya sudah dikirimkan Rafael ke ponselnya melalui pesan singkat. Sayangnya, ketika Wira tiba di sana, toko tersebut sudah tutup.
Wira mendesah kecewa. Ia merutuki kebodohannya barusan yang asal pergi saja. Lagi pula, mana ada toko bunga yang masih buka pukul setengah sebelas malam? Tidak ada.
Menghela napas pelan, Wira lantas kembali menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi. Ia putar balik ke perempatan sebelumnya. Sepertinya, rasa lelah sudah terlalu mengganggu konsentrasinya malam ini dan ia butuh sampai di rumah secepat mungkin supaya bisa segera mengistirahatkan tubuhnya.
Lampu di ruang utama sudah dimatikan ketika Wira tiba di rumah. Itu berarti, orang tuanya sudah tidur. Wira segera menaiki tangga menuju kamarnya. Lalu memilih mandi guna menyegarkan tubuhnya sebelum pergi tidur.
Sejak kecil, Wira memang punya kebiasaan mandi sebelum tidur. Laki-laki yang usianya dua tahun lagi masuk kepala tiga itu, tidak akan bisa tidur jika belum mandi—kecuali, memang ia ketiduran.
Beberapa menit kemudian, Wira keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Rambut hitamnya yang cukup tebal tampak basah sehabis keramas. Sekarang, tubuhnya terasa segar lagi setelah mandi.
Ia lalu melangkah ke lemari dan mengambil baju tidurnya. Oh, jangan berpikir baju tidurnya adalah baju tidur seperti yang dikenakan orang-orang. Bukan! Laki-laki itu lebih suka memakai kaus oblong dan celana pendek. Syukur-syukur kalau sedang gerah, ia lebih memilih memakai celana pendek saja. Itu kenapa dia punya koleksi dua tumpuk celana pendek berbagai warna dan motif di lemarinya.
Wira meraih ponsel di atas nakas. Mengecek adakah pesan penting yang masuk ke ponselnya atau tidak. Kebanyakan pesan dari grup keluarga besarnya, Sasmita, dan dua orang suruhannya—Rafael dan Brian. Wira meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula setelah membalas pesan dari sang adik.
Pandangannya tanpa sengaja jatuh pada gelas kosong di samping ponsel. Dahaga yang tiba-tiba menyerang kerongkongannya, membuat Wira memutuskan meraih gelas tersebut lalu melangkah keluar kamar.
“Kamu belum tidur, Wir?”
Pertanyaan itu menyambut Wira yang baru masuk dapur. Dilihatnya, Sekar melangkah menjauhi kulkas sembari membawa dua buah telur di tangannya.
“Belum, Ma. Tadi habis mandi. Ini mau ambil minum dulu. Mama sendiri kenapa belum tidur? Udah malem loh, Ma,” Wira balik bertanya. Ia menuang air putih ke gelasnya lalu meminumnya sampai habis.
Namun, bukannya menjawab pertanyaan Wira, Sekar justru mengulas senyumnya. Lalu bertanya, “Kakak mau Mama bikinin mie instan kuah plus telur?”
“Mau, Ma! Sekalian tambahin irisan cabai, ya, Ma?”
“Siap, Pak Manajer.”
Sebenarnya tanpa bertanya pun Wira tahu alasan Sekar berada di dapur jam segini. Karena wanita itu menunggunya pulang. Tahu sendiri kan tadi ia pulang lebih awal dari pesta, tapi malah orang tuanya yang sampai di rumah lebih dulu. Sebagai seorang ibu, itu pasti membuatnya khawatir apalagi Wira lupa mengabari beliau bahwa ia pulang terlambat.
Sekar tidak hanya bersikap seperti ini kepada Wira saja, tapi kepada Sasmita dan Roy juga. Wanita itu tidak akan pernah pergi tidur lebih dulu ketika suami atau anaknya belum pulang. Sekalipun salah satu di antara kami sudah mengabari dan meminta Sekar untuk tidur duluan, wanita itu tetap akan menunggu. Ia ingin memastikan sendiri bahwa suami atau anaknya pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Sungguh, bukankah itu begitu manis?
Oh, ia ingat sesuatu. Jika ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya, maka ibu adalah cinta pertama bagi anak laki-lakinya. Dan ya, Wira setuju tentang pernyataan tersebut.
Jadi, tidak salah jika pada akhirnya, Wira menginginkan wanita dengan sikap keibuan dan penuh perhatian seperti ibunya untuk dijadikan sebagai istrinya kelak.
“Aku bantuin aja ya, Ma biar cepet. Udah keburu laper soalnya,” ujar Wira akhirnya.
“Boleh, tapi bantuinnya jangan sampai bikin dapur berantakan, ya? Kasian nanti yang beresin.”
Wira terkekeh. Terakhir ia memasak adalah saat ulang tahun Sasmita empat tahun lalu. Niatnya ingin membuat kue cokelat kesukaan sang adik supaya ulang tahun adiknya lebih berkesan. Namun, ternyata malah berujung membuat dapur berantakan. Belum lagi, Wira ketiduran saat menunggu kuenya matang. Alhasil, saat dikeluarkan dari oven, kue tersebut sudah menghitam keseluruhannya.
Sasmita yang mengetahui hal itu, sontak marah-marah karena membuat dapur berantakan.
“Kalau nggak bisa masak tuh jangan sok-sokan masak dong, Kak. Lihat kan sekarang, dapurnya jadi berantakan gini. Ini mah nggak bisa disebut dapur lagi, udah kayak habis kena angin ribut! Nih, oven juga. Untung aja ovennya nggak meledak. Kalau meledak gimana? Bisa bikin kebakaran tau, nggak! Besok-besok jangan masak lagi. Kasihan dapurku jadi berantakan.”
Dapur sudah seperti tempat pelarian kedua setelah pantai di saat Sasmita merasa stres. Jadi, ketika tahu adiknya marah-marah karena ia mengacaukan dapur, ia tidak bisa membantah apa pun selain mengucapkan kata maaf berkali-kali kepada sang adik. Sekar bahkan kesusahan melerai amarah Sasmita gara-gara itu.
“Iya, Kakak minta maaf. Besok-besok nggak nekat masak sendiri, deh. Sebagai ganti kue cokelat kamu yang gosong, hari ini kamu boleh beli apa aja yang kamu mau. Kamu mau shopping, silakan. Ini kartu debit Kakak, kamu bawa aja.” Wira lantas mengeluarkan dua buah kartu debit dari dompetnya dan memberikannya kepada Sasmita. “Nih, kartunya kamu pakai. Pinnya tanggal lahir Mama.”
Namun, bukannya mengambil kartu-kartu tersebut, Sasmita yang masih merasa kesal justru memeluknya sambil menangis. Hal itu sontak membuat Wira dan Sekar bingung.
“Jujur sebenarnya aku masih kesel gara-gara Kakak udah bikin dapurku berantakan, tapi aku juga nggak bisa marah sama Kakak. Aku tahu banget Kakak nggak bisa masak—iya, goreng telur aja gosong, apalagi bikin kue. Tapi aku hargai usaha Kakak yang rela bikin dapur berantakan, cuma karena pengin bikinin kue cokelat buat adiknya yang lagi ulang tahun. Makasih ya, Kak. Maaf tadi aku marah-marah sama Kakak.”
Wira balas memeluknya erat. Sungguh, ia sangat menyayangi Sasmita. Ralat, bukan hanya Sasmita, tapi ibunya juga. Dua wanita itu adalah pemilik tahta tertinggi di hati Wira sampai kapan pun. Ditambah istrinya, ketika nanti ia sudah siap menikah.
“Jadi, sekarang kamu sudah tahu di mana keberadaan Shevi? Dia tinggal di mana, Wir?” tanya Sekar tepat setelah Wira selesai mengungkapkan alasan kenapa ia meninggalkan pesta lebih dulu dan pulang terlambat.
“Aku belum tahu Shevi tinggal di mana, Ma. Tapi orang suruhanku bilang kalau Shevi sekarang kerja di salah satu toko bunga,” jawab Wira. Mie di mangkuknya sudah habis tak bersisa. Ia lalu meraih minumannya.
“Kalau kamu sudah berhasil bertemu Shevi, tolong kasih tahu Mama ya, Wir? Mama juga pengin ketemu sama Shevi. Mama kangen banget sama Shevi. Kamu bisa kan, Wir?”
Wira tahu ibunya sangat menyayangi Shevi. Dulu, Wira pernah beberapa kali membawa pacar-pacarnya ke rumah, tapi Sekar tidak menyukai mereka. Namun, ketika ia membawa Shevi ke rumah pertama kali, ibunya langsung menyukainya.
Menurut Sekar, dari sekian perempuan yang Wira bawa ke rumah, hanya Shevi saja yang memenuhi kriteria sebagai menantu. Maka dari itu, Wira tidak melepaskan Shevi. Sayangnya, kesalahannya di masa lalu justru membuat Shevi pergi. Sungguh, jika mengingat hari itu, ia seperti laki-laki kurang ajar yang menyakiti hati dua orang wanita sekaligus, Shevi dan Sekar.
Laki-laki itu mengangguk. “Wira janji sama Mama, Wira bakalan temuin Mama sama Shevi. Tapi sekarang Mama sabar ya? Wira masih berusaha mencari Shevi dan Wira yakin kali ini pasti bisa temuin Shevi,” ucapnya seraya mengusap punggung tangan Sekar. Sorot penuh keyakinan terpancar di mata laki-laki itu.
“Kamu tahu Wir, kenapa Mama dulu nggak pernah suka sama pacar-pacar kamu, tapi pas ketemu Shevi, Mama langsung suka?”
Wira menggeleng.
“Karena Shevi adalah perempuan yang sederhana.” Jeda. “Sorot matanya yang penuh kelembutan, tapi sikapnya tegas cocok mengimbangi kamu yang kadang keras kepala. Pertama kali melihat dia, Mama seperti melihat diri Mama di usia muda, Wir. Bagaimana pada akhirnya, kesederhanaan Mama yang membuat Papa kamu jatuh cinta sama Mama.
“Satu yang Mama suka, Shevi menyukai anak kecil. Perempuan yang seperti itulah yang nantinya bisa menjadi ibu terbaik untuk anaknya kelak. Mama suka perempuan seperti itu. Dan semua sikap itu ada pada Shevi bukan pacar-pacar kamu.”
“Wira minta maaf udah ngecewain Mama. Wira janji kali ini Wira nggak akan ngecewain Mama lagi,” ucap Wira.
“Kalaupun nanti kamu sudah berhasil ketemu Shevi dan membicarakan hubungan kalian, Mama minta tolong, tolong kamu jangan paksa Shevi. Hargai keputusan apa pun yang dia ambil. Mama nggak mau Shevi menyesal mengenal kamu. Kamu paham kan maksud Mama, Wir?”
“Iya, Ma. Wira paham. Wira akan hargai apa pun keputusan Shevi nanti,” jawab laki-laki itu.
“Mama percaya kamu, Wir,” ucap Sekar seraya menepuk pelan bahu Wira. Laki-laki itu mengangguk.
“Sebenarnya kemarin itu, waktu di acaranya Pak Arifin, Papa mau kenalin kamu sama anaknya beliau.” Sekar tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.
Wira tersenyum tipis. “Aku tahu, Ma. Papa selalu minta aku buat ikut datang ke acara kolega-koleganya, sampai nyuruh aku pakai tuksedo bagus, apalagi kalau bukan untuk ngenalin aku ke mereka? Papa bersikap seolah-olah aku pria culun yang nggak bisa cari pasangan sendiri. Padahal kan aku nggak seperti itu,” ujarnya.
“Sebenarnya, kalau aku mau, aku bisa kok nunjuk perempuan mana aja buat dijadiin gandengan, tapi aku nggak mau, Ma. Aku mau cari istri, bukan cuma sekadar teman jalan aja.”
Sekar tertawa. “Mama tahu, Wir. Itu juga kan yang jadi alasan kamu selalu kabur setiap kali diajak dinner sama kolega Papa?”
“Nah, itu! Aku males, Ma dijodoh-jodohin begitu. Lagi pula, percuma aja aku nekat ngejalanin hubungan sama orang baru, padahal aku masih belum melupakan Shevi. Itu sama aja bohong, mereka pasti bakalan sakit hati.”
Menjadikan ibunya sebagai panutan, membuat Wira benci jika harus menyakiti perempuan. Prinsipnya, jika ia menyakiti seorang perempuan, itu berarti sama saja dengan ia yang menyakiti ibunya sendiri. Wira tidak mau menjadi laki-laki seperti itu.
“Tapi, Ma memangnya anaknya Pak Arifin yang mana yang mau dikenalin sama Wira? Bukannya anaknya Pak Arifin cuma dua? Satu laki-laki seumuran sama Wira, terus yang satu lagi perempuan udah nikah?” tanya Wira sedikit penasaran.
“Iya, Mama tahu kalau yang itu. Tapi yang mau dikenalin sama kamu tuh anak bungsunya Pak Arifin. Perempuan, dia baru lulus S2 di Australia dan baru pulang kemarin. Sayangnya, karena kemarin pesawatnya sempat delay, jadi dia malam sampai Jakarta.”
“Mama udah sempat ketemu sama dia?” tanya Wira lagi.
“Udah, kemarin. Waktu kami ngobrol sama Pak Arifin dan istrinya, dia datang. Sayangnya, waktu dia datang, kamu udah pulang, Wir,” jawab Sekar.
“Terus menurut Mama, dia gimana?”
“Dia cantik, Wir. Kelihatan kalem juga, tapi tegas. Orangnya ramah kok. Mama sempat ngobrol sama dia, ternyata dia gampang akrab. Mama nyambung loh ngobrol sama dia. Tunggu, ini kenapa kamu tiba-tiba nanya-nanya kayak gini? Kamu penasaran sama anak bungsunya Pak Arifin?”
“Eh, enggak, Ma. Apaan sih, orang Wira cuma nanya aja. Mama jangan salah paham. Wira masih ingin memperjuangkan Shevi.”
“Iya, Mama ngerti. Oh ya, tadi kan kamu bilang katanya Shevi kerja di toko bunga, kan?”
Wira mengangguk.
“Nama toko bunganya, apa?” tanya Sekar.
“Nama tokonya ... Re’s Florists.”