SC 04 - Informasi Baru

1944 Kata
“Jadi, tujuan Kakak sebenarnya datang ke makam Kak Nindi adalah untuk mencari informasi tentang Kak Shevi?” Pertanyaan tersebut dilontarkan Sasmita ketika mereka tiba di pelataran parkir pemakaman. Wira, laki-laki yang dipanggil Kakak tadi pun mengangguk cepat. “Aku hanya mencoba peruntungan, Sas. Bukankah kita berdua tahu bagaimana hubungan Shevi dan Nindi? Mereka saudara kembar dan saling menyayangi. Jadi, kupikir nggak ada salahnya mencoba mencari informasi juga tentang makam Nindi. Karena siapa tahu juga, kita bisa bertemu Shevi di sana. “Dan kamu dengar sendiri, kan jawaban penjaga makam tadi? Penjaga makam itu bilang kalau Shevi lumayan sering datang mengunjungi makam Nindi. Itu artinya Shevi memang masih satu kota dengan kita, Sas.” Wira yang sebelumnya sempat pesimis mencari keberadaan Shevi karena tidak kunjung mendapatkan informasi terbaru dari orang suruhannya, kini merasa energinya seperti baru saja diisi ulang. Jawaban penjaga makam tadi membuatnya seperti ingin memecahkan teka-teki tentang keberadaan mantan kekasihnya ini. Dan setelah sekian lama mencari, baru kali ini ia merasa benar-benar yakin akan segera bertemu Shevi. Sungguh, rasanya ia ingin sekali menghambur ke pelukan wanita itu. Pasti pelukan itu masih sama hangatnya seperti dulu. “Tapi, Kak, ingat nggak tadi penjaga makam itu bilang apa? Penjaga makam itu bilang kalau selain Kak Shevi, ada orang lain lagi yang juga sering datang ziarah ke makam Kak Nindi?” tanya Sasmita. Wira mengangguk. Tentu saja ia mengingat tentang yang satu itu. Tadi saat ia menunjukkan foto Shevi di ponselnya dan bertanya, “Apakah pernah melihat wanita di foto ini berziarah ke makam Almarhumah Nindi?” Penjaga makam itu mengiakan pertanyaan Wira dan mengatakan bahwa wanita itu datang setiap dua minggu sekali untuk ziarah. Namun, penjaga makam itu juga mengatakan bahwa selain Shevi, ada seseorang lagi yang sering datang ke makam Nindi. Laki-laki itu hampir setiap hari datang dan mengganti bunga Lily di makam itu. “Bapak tahu nggak siapa nama laki-laki itu?” tanya Wira kepada penjaga makam yang kebetulan memang mengurus makam Nindi. “Waduh, Pak maaf saya tidak tahu siapa nama orang itu. Orang itu pernah bilang kalau dia adalah kerabat dekat almarhumah. Setiap kali ketemu sama orang itu paling hanya senyum dan bilang supaya saya merawat makam itu dengan baik. “Tapi sayangnya, saya sudah lama tidak lihat orang itu ziarah lagi, Pak. Mungkin sudah sekitar lima bulan ini orang itu tidak datang ke makam. Bunga Lily ini pun juga bukan dari orang itu, tapi dari wanita yang fotonya Bapak tunjukkan tadi,” lanjut si penjaga makam seraya menoleh pada sebuah buket bunga Lily layu di atas makam Nindi. “Apa Bapak masih ingat ciri-ciri orang itu?” “Pokok orangnya tinggi, kira-kiranya tingginya sama sepertinya Mas. Badannya agak gemuk, tapi nggak gemuk banget.” “Aku jadi penasaran siapa laki-laki yang dimaksud oleh penjaga makam tadi. Aku yakin sebenarnya penjaga makam itu cukup tahu tentang semua yang berkaitan dengan makam Nindi, hanya saja mungkin dia disuruh untuk merahasiakannya. Kamu juga merasa begitu, kan, Sas?” “Iya, seperti ada yang disembunyikan, tapi kita nggak tahu itu apa. Tapi sudahlah, perkara siapa laki-laki itu bukannya itu nggak terlalu penting? Yang penting sekarang Kakak udah dapetin informasi lain tentang Kak Shevi. Jadi, Kakak bisa semakin fokus buat nyari di mana Kak Shevi berada.” Wanita itu mengulas senyumnya. “Kak, kalau perlu bantuan, kasih tahu Sasa, ya? Sasa pasti bantuin Kakak cari Kak Shevi,” ujarnya yang lagi-lagi diikuti senyum tulus. Wira tahu adiknya pasti mengkhawatirkannya, tapi ia sendiri merasa sungkan meminta bantuan sang adik. Sasmita—atau orang rumah biasa memanggilnya Sasa— sudah menikah dan lagi wanita itu juga sedang mencari keberadaan Barra, mantan kekasihnya yang menghilang. Ia hanya tidak mau menambah beban pikiran sang adik. Jadi, Wira memilih alternatif jawaban lain. Ia menyunggingkan senyumnya lantas menepuk bahu Sasmita. “Kamu juga ya, Sas kalau butuh bantuan apa-apa, kasih tahu Kakak. Ingat kamu nggak pernah sendirian.” “Iya, aku tahu. Makasih, Kak.” Dari dulu, Wira memang paling tidak suka menghadiri acara atau perayaan apalagi yang berkaitan dengan bisnis. Namun, karena posisinya di perusahaan sebagai General Manager dan merupakan putra sulung pemilik Wardhanoe's Groups, membuatnya mau tidak mau harus tetap datang memenuhi undangan acara-acara tersebut. Roy, sang ayah, pernah mengatakan bahwa sebagai pebisnis, hal ini memang harus dilakukan untuk menghargai orang yang mengundang kita dan menambah relasi bisnis. Atas ucapan tersebut, Wira menyetujuinya. Sebagai manusia, kita memang harus saling menghargai sesama dan lagi tidak ada salahnya menambah teman. Namun, jika memang itu tujuannya, Wira tidak mempermasalahkannya. Sayangnya, yang terjadi sebenarnya selalu lebih dari itu. Para orang tua—yang membawa anak-anaknya ikut menghadiri acara tersebut—pasti secara tidak langsung akan berusaha mengenalkan anak-anak mereka kepada kolega mereka—yang kemudian dari perkenalan tersebut selalu berakhir dengan perjodohan. Itu yang Wira tidak suka. Bukankah orang tua seharusnya mendukung apa pun keputusan sang anak selama itu yang terbaik? Lagi pula, terkait asmara dan perasaan, bukankah itu urusan siapa yang menjalaninya? Lantas kenapa mereka selalu berusaha mencampuri urusan itu? Sama seperti malam ini, Wira sudah sangat dewasa untuk memilih pakaian terbaiknya, tapi Roy justru mengetuk pintu kamarnya dan memberikan tuksedo hitam untuk ia kenakan malam ini. Wira bisa saja menolak, tapi karena terlalu lelah setelah dari pemakaman tadi, mau tak mau Wira menuruti permintaan sang ayah. Wira mengambil alih tuksedo tersebut dan kembali masuk kamar untuk berganti pakaian. Sepuluh menit kemudian, laki-laki itu menghampiri orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu. Lengkungan manis dibarengi pujian dilontarkan Sekar begitu melihat penampilan putranya. Wira tampak tampan dan berkelas memakai tuksedo tersebut. Dasi kupu-kupu yang dipakainya pun menambah kesan elegan dan maskulin pada laki-laki itu. “Sudah siap, kan? Kalau sudah lebih kita berangkat sekarang.” Ucapan Roy menginterupsi keduanya. Menggunakan dua mobil berbeda, ketiganya berangkat menuju tempat acara. Mobil yang ditumpangi orang tuanya melaju lebih dulu di jalan raya, sedangkan mobil Wira menyusul di belakangnya. Sebenarnya, yang mendapat undangan untuk menghadiri acara ini adalah orang tuanya. Acara ini merupakan acara Anniversary ke-35 tahun kolega Roy, Arifin Wijaya. Dan sejak Sasmita menikah, jadilah Wira yang harus pasrah diajak ikut menghadiri acara tersebut. Seperti biasa, sembari menemui para koleganya yang hadir di acara tersebut, Roy mengenalkan Wira sebagai putra kebanggaannya. Setidaknya, Wira cukup bersyukur karena ayahnya tidak melebih-lebihkan fakta tentang dirinya seperti yang kebanyakan orang tua lakukan kepada anaknya. Roy bisa menjaga privasi anaknya. “Nih, orange juice buat Kakakku yang kelihatannya lagi bosan banget.” Suara dibarengi uluran segelas minuman berwarna oranye, seketika membuat Wira menoleh. Ia mendapati Sasmita dengan dress warna krem berdiri beberapa langkah darinya seraya mengulas senyum. Di tangannya ada dua gelas minuman berwarna sama. “Makasih, Sas,” ucapnya seraya menerima gelas minuman yang diberikan oleh Sasmita. “Kamu sama Sakti? Udah ketemu Mama-Papa tadi?” Wanita itu mengangguk. “Tadi pas baru masuk udah ketemu Mama-Papa, terus nemuin Pak Arifin dan istrinya. Tapi habis itu, Sakti ketemu kolega Papanya juga, jadi diajakin ngobrol sama mereka. Daripada aku bosan dan nggak tahu mau ngapain makanya aku ambil minum. Eh, lihat Kakak di sini, makanya aku samperin.” “Capek, ya jadi anak orang kaya? Harus jaga image, harus mau ikut ke acara-acara yang dihadiri orang tuanya, terus dikenalin sana-sini ke orang-orang. Kayak monoton banget gitu dan bikin bosan. Ini aja aku udah pengin cabut, sih, Sas.” “Cabut aja nggak apa-apa kali, Kak. Aku kalau bukan karena Sakti, aku juga nggak mau datang. Tapi ya mau gimana lagi, ini risiko kita sebagai anak orang kaya, kan? Jadi, mau nggak mau kita harus terima. Bukannya setiap semua yang ada di dunia ini punya risiko masing-masing?” “Ya, kamu benar. Ini risiko dan kita harus menerimanya,” jawab Wira. Lantas meneguk minumannya. “Oh iya, Kak gimana soal Kak Shevi? Udah ada informasi lagi dari Rafael dan Brian?” tanya Sasmita. Wira tidak langsung menjawab. Laki-laki itu menatap sekelilingnya. Orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing—para tamu yang tampak sibuk mengobrol dengan kenalan mereka, sedangkan para waitress sibuk mengisi ulang hidangan di sana. Setelahnya, ia kembali menatap Sasmita. “Sore tadi Rafael sempat meneleponku. Dia ngabarin kalau ada seseorang yang melihat Shevi keluar dari pemakaman tempat Nindi dimakamkan. Aku udah suruh Rafael buat cek CCTV di sekitar pemakaman dan ternyata benar, Shevi memang di sana tadi sore. Habis itu dia pergi.” “Terus sekarang, udah tahu di mana Kak Shevi?” “Aku belum tahu pasti di mana Shevi sekarang. Tadi aku udah minta Rafael untuk cari tahu mobil yang ditumpangi Shevi dan setelah dicari tahu ternyata mobil itu adalah taksi online yang sebelumnya memang dipesan Shevi. Driver taksi online itu bilang kalau setelah dari pemakaman, Shevi minta diantar ke Panti Asuhan Cahaya Kasih.” “Panti Asuhan Cahaya Kasih?” tanya Sasmita memastikan. “Iya. Kamu tahu tempat itu, Sas?” “Tahu, Kak. Itu panti asuhan milik orang tua Barra dan sekarang Barra yang mengurusnya. Dia juga pernah tinggal di sana setelah orang tuanya meninggal. Memangnya Kakak nggak tahu kalau Barra mengurus panti asuhan orang tuanya?” Wira tersentak kaget mendengar informasi barusan. Ia menghela napas lalu menggeleng. “Aku hanya tahu Barra yatim piatu dan sempat tinggal di panti asuhan. Tapi aku sama sekali nggak tahu kalau dia tinggal di panti milik orang tuanya. Barra nggak pernah cerita soal itu,” ungkap Wira. Wira dan Barra memang berteman baik sejak SMA. Saat itu, Barra adalah murid pindahan yang lumayan pintar. Awal kenal, Barra memang sedikit pendiam. Namun, setelah beberapa bulan kemudian, Wira tahu ternyata Barra adalah orang yang sangat peduli dengan sekitarnya. “Tapi, kenapa Kak Shevi ke pantinya Barra, ya? Apa Kak Shevi donatur di sana? Atau apa jangan-jangan Kak Shevi juga kenal dengan Barra?” “Kalau memang Shevi adalah donatur di panti itu, maka udah pasti dia juga kenal dengan Barra,” jawab Wira menarik kesimpulan atas pertanyaan Sasmita. “Iya juga, sih. Oh, kenapa nggak coba datang ke panti untuk cari informasi tentang Kak Shevi? Pihak panti pasti punya data donaturnya,” saran Sasmita. Wira menimbang sebentar. Sasmita benar, data donatur pasti disimpan kepala pengurus panti. Jadi, tidak ada salahnya mencoba melakukan saran dari Sasmita. Siapa tahu di sana, ia bisa mendapatkan tambahan informasi terkait Shevi. Wira baru akan menyuarakan pemikirannya ketika suara Sasmita lebih dulu terdengar. Wanita itu melambai entah pada siapa, lantas pamit padanya untuk menemui seseorang yang baru saja dipanggilnya. Wira hanya menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan seraya meneguk habis minumannya. Selang beberapa menit, Sasmita kembali menemuinya. “Maaf ya, Kak aku tinggal bentar tadi. Nggak sengaja ketemu Nada, soalnya,” ucap Sasmita. “Nada siapa, Sas? Kayaknya kamu nggak pernah punya teman namanya Nada, deh.” Wira menaikkan alisnya. “Oh, dia temanku di bimbel dulu. Sekarang dia buka usaha toko bunga loh, Kak. Kapan-kapan, aku kenalin ke Kakak. Siapa tahu cocok jadi kakak iparku nanti,” ujar Sasmita dengan santainya. Mendengar itu, Wira sontak menatap tajam sang adik, sedangkan yang ditatap justru menyunggingkan senyum tak bersalah pada Wira. Laki-laki itu mendengus. “Berhenti jodoh-jodohin aku sama teman kamu, ya? Kakak bisa cari pasangan sendiri.” Kedatangan Sakti—adik ipar Wira—menginterupsi pembicaraan keduanya. Sakti menyapa Wira lantas mereka bertiga terlibat pembicaraan lain. Cukup lama dan baru berakhir ketika Sasmita mengeluh lelah dan ingin pulang. Sasmita dan Sakti pamit, lalu meninggalkan pesta lebih dulu. Sedangkan Wira memilih kembali ke tengah ruangan, berbincang dengan kolega ayahnya. Getaran di saku tuksedonya menginterupsi kegiatan Wira. Laki-laki itu segera undur diri dan mencari tempat sepi untuk menerima panggilan tersebut. Dilihatnya nama Rafael tertera di layar. Segera ia menekan ikon jawab dan menempelkan benda pipih itu ke telinga kiri. “Ya, ada apa?” “Maaf, saya mengganggu waktu Bapak. Saya mau menginformasikan kalau saya sudah mengetahui di mana tempat kerja Ibu Shevi sekarang.” “Di mana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN