SC 03 - Makam

1867 Kata
Sang surya bahkan belum berniat menampakkan sinarnya, tapi Wira sudah keluar dari rumah. Mengenakan kaus lengan pendek warna putih polos, celana training warna hitam, dan sepatu olahraga berwarna putih, laki-laki itu berlari kecil menjauhi gerbang rumahnya. Sebuah taman yang lokasinya hanya berjarak dua blok dari rumah adalah pilihannya untuk jogging pagi ini. Sepanjang perjalanan menuju taman, tidak banyak orang yang ia temui. Maklum, hari masih terlalu pagi bagi orang-orang untuk memulai aktivitasnya. Taman itu masih sepi. Bahkan lampu taman pun baru saja dimatikan ketika Wira tiba di sana. Setelah meletakkan air minum dan handuk kecil di salah satu bangku taman, Wira melakukan pemanasan sebentar lalu memulai larinya. Satu putaran berhasil Wira selesaikan. Berlanjut ke putaran kedua, ketiga, keempat, napasnya pun masih stabil. Seolah laki-laki itu memiliki kantung tenaga cadangan yang tersimpan di dalam tubuhnya. Padahal taman tersebut bisa dibilang cukup luas. Masuk putaran kesepuluh, Wira akhirnya menyerah. Napasnya tersengal-sengal. Ia pun menghentikan larinya dan segera menuju salah satu bangku taman, tempat ia meletakkan barang-barangnya tadi. Wira pun mendaratkan tubuhnya di bangku tersebut. Diusapnya peluh yang membasahi wajahnya dengan handuk kecil. Lalu diambilnya botol minum dan meneguk isinya hingga tersisa setengah. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Wira melakukan jogging di pagi buta seperti sekarang. Ia sudah cukup sering melakukannya. Biasanya setiap kali ada hal yang mengganggu pikirannya hingga membuat ia kesulitan tidur, Wira pasti akan pergi jogging. Sama seperti yang dilakukannya sekarang ini, contohnya. Semalam, Wira kesulitan tidur karena terlalu memikirkan Shevi. Pertemuannya dengan Dokter Nara kemarin sore di rumah sakit, nyatanya tidak cukup bisa membuat Wira menemukan titik terang di mana keberadaan mantan kekasihnya tersebut. “Jadi, bagaimana, Pak?” “Sebelumnya saya minta maaf karena kemarin-kemarin membatalkan janji temu dengan Dokter. Dan saya juga minta maaf apabila kedatangan saya mengganggu waktu Dokter. Tapi sebenarnya tujuan saya ke sini karena ada hal yang ingin saya tanyakan kepada Dokter Nara.” Dokter Nara tersenyum menanggapinya. “Baik, Pak. Tidak apa-apa, saya mengerti. Mungkin ini memang hal yang sangat penting bagi Bapak. Memangnya kalau boleh tahu, hal apa yang ingin Bapak tanyakan?” “Jadi, begini, Dok. Saya mau tanya. Apa Dokter masih ingat dengan salah satu pasien Dokter bernama Shevita Aura?” “Shevita Aura?” Dokter Nara mengulang. “Benar, Dok. Dia adalah salah satu pasien yang sakit gagal ginjal dan rutin menjalani cuci darah di rumah sakit ini. Oh, sebentar, saya punya fotonya, barangkali supaya Dokter lebih jelas.” Wira lantas mengambil ponselnya dan menunjukkan foto seorang wanita kepada Dokter Nara. Di foto itu, Shevi yang memakai dress selutut bermotif bunga kecil-kecil tampak tersenyum manis ke arah kamera. Dokter Nara memandangi foto tersebut. Berusaha mengingat lagi apakah ada nama dan wajah wanita itu di antara daftar pasien-pasiennya. “Ah, iya saya ingat sekarang. Saya ingat punya pasien bernama Shevi dan wajahnya persis seperti yang ada di foto ini. Kalau saya tidak salah ingat juga, dulu Bapak sering menemani Ibu Shevi setiap kali beliau melakukan cuci darah. Benar begitu, Pak?” Wira mengangguk. “Benar, Dok.” “Wah, syukurlah saya tidak lupa. Ibu Shevi itu adalah pasien saya yang paling kuat yang pernah saya kenal. Aura positif dan senyum ramah yang beliau tunjukkan selalu bisa membuat orang lain akan berpikir bahwa beliau tidak pernah memiliki hambatan apa pun dalam hidupnya. Padahal yang terjadi sebenarnya, justru sebaliknya. Ya ampun, maaf-maaf, Pak. Saya terlalu banyak bicara.” Wira mengulas senyumnya. “Tidak apa-apa, Dok. Saya justru sangat senang apabila orang lain menerima kehadiran Shevi dengan begitu baik,” jawabnya. “Orang baik seperti Ibu Shevi tidak seharusnya mendapat perlakuan buruk, Pak.” Entah kenapa kalimat tersebut sedikit menyentil hati kecilnya. “Oh, bagaimana kabar Ibu Shevi sekarang, Pak? Apa ginjal barunya berfungsi dengan baik?” tanya Dokter Nara. Pertanyaan Dokter Nara sontak membuat Wira tersentak kaget. “Ginjal baru? Tunggu, Dok ini maksudnya, Shevi sudah mendapatkan donor ginjal untuk mengganti ginjalnya yang rusak?” Ganti, Dokter Nara yang memandangnya bingung. “Benar, Pak. Apa Bapak belum mengetahui bahwa Ibu Shevi sudah melakukan operasi transplantasi ginjal?” “Belum, Dok. Saya bahkan belum mengetahui soal itu. Sebenarnya, saya kehilangan kontak dengan Shevi dan sekarang saya sedang berusaha mencarinya, Dok. Lalu saya ingat, Shevi rutin menjalani cuci darah di rumah sakit ini, itu kenapa akhirnya saya datang ke sini dan bertemu Dokter. Karena barangkali, saya bisa menemukan Shevi di sini,” ungkap Wira akhirnya. Dokter Nara mengangguk paham akan penjelasan Wira, meski awalnya sedikit merasa kaget. “Sejujurnya saya sendiri juga sudah lama tidak bertemu Ibu Shevi, Pak. Kami terakhir bertemu dua minggu setelah operasi, saat beliau sedang melakukan check-up pasca operasi transplantasi ginjal,” ucapnya. “Memangnya kalau boleh tahu, kapan operasi transplantasi ginjal itu dilakukan, Dok?” tanya Wira penuh harap. “Kurang lebih sekitar tiga bulan yang lalu, Pak,” jawab Dokter Nara. Tiga bulan lalu adalah waktu di mana Shevi resign dari pekerjaannya sebagai pegawai minimarket, batin Wira bersuara. Pikirannya mendadak kusut mengetahui fakta ini. Namun, setidaknya ini sudah cukup membuat ia mendapatkan tambahan informasi tentang Shevi. Karena ketika Wira mencoba menanyakan tentang alamat tempat tinggal Shevi yang baru, Dokter Nara tidak memberitahunya. Jadi, Wira pun memutuskan untuk mengakhiri pertemuan tersebut karena hari yang juga semakin petang. Namun, ketika Wira mencapai pintu dan bersiap memutar kenopnya, panggilan dari Dokter Nara dilanjutkan dengan sebaris kalimat, berhasil menghentikan langkah Wira. Membuat laki-laki itu sontak berbalik menatap Dokter Nara. Kalimat yang detik itu juga menerobos paksa memasuki benaknya. Kalimat yang pada akhirnya berhasil membuat Wira terjaga semalaman karena memikirkannya. Sang surya perlahan mulai merangkak naik, meninggalkan ufuk timur. Wira pun memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum pulang, ia menyempatkan diri berlari satu putaran lagi. Tiba di rumah, Wira langsung naik ke kamarnya di lantai dua dan segera bersiap—mandi dan berganti pakaian. Wira memastikan penampilannya sekali lagi di cermin. Setelahnya, ia mengambil jas dan tas laptopnya, lalu keluar dari kamar. Ia bergabung sarapan bersama orang tuanya. “Kamu tadi habis jogging, Wir?” Pertanyaan Sekar menyambutnya ketika tiba di meja makan. “Iya, Ma. Jogging biasa tadi, udah lama nggak olahraga juga soalnya,” jawab Wira seraya menarik kursi tepat di samping Roy, di seberang Sekar. Aroma soto ayam yang menguar, membuat Wira tidak bisa lagi menahan rasa laparnya. Segera, ia mengambil nasi dan soto ayam lalu melahapnya. “Oh iya, Wir nanti kamu berangkatnya mampir ke rumah Sakti dulu, ya? Tadi Mama masak soto ayam agak banyak biar nanti sekalian adik kamu kebagian. Sakti kan suka banget sama soto ayam.” “Iya, nggak apa-apa, Ma. Nanti habis makan aku langsung berangkat ke rumah Sakti,” jawab Wira. Setelah mendapat persetujuan dari sang anak, Sekar langsung pergi ke dapur. Tak lama kemudian, ibunya kembali ke meja makan sembari membawa tas berbentuk bulat yang ia yakini itu adalah panci kecil berisi soto ayam.. “Bilang sama Sasmita nanti kalau makan, sotonya bisa langsung dipanasi aja,” ucap Sekar seraya memberikan tas itu kepada Wira. Setelah menyelesaikan sarapannya, Wira pamit, berangkat lebih dulu. Sekar memperingatinya sekali lagi supaya berhati-hati saat menyetir agar soto ayam tadi tidak tumpah di mobilnya. Wira membalasnya dengan anggukan, lantas pergi. Lima belas menit kemudian, mobil Wira tiba di depan rumah Sakti. Satpam rumah membukakannya gerbang dan memberitahukan bahwa Sakti dan Sasmita masih berada di rumah. Sakti yang kebetulan sedang berada di teras, menyambut kedatangannya. Mereka bersalaman ala laki-laki, lalu Sakti mempersilakannya masuk. Saktiawan Rahadi adalah teman Wira. Mereka lumayan akrab karena usia mereka yang hanya selisih dua tahun saja. Sekarang, Sakti sudah berstatus sebagai adik iparnya, suami Sasmita. Sebenarnya Wira cukup protektif jika menyangkut semua tentang Sasmita. Ia bahkan cukup kaget ketika Sakti tiba-tiba melamar Sasmita padahal saat itu adiknya sedang sedih karena ditinggal pacarnya. Barra—pacar Sasmita—tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi setelah menyampaikan niatnya untuk menikahi Sasmita. Namun, syukurlah sekarang Wira bisa sedikit merasa lega karena Sakti benar-benar memperlakukan adik kesayangannya dengan baik, terlepas bagaimana perjodohan yang mendasari pernikahan mereka. Temannya itu begitu mencintai Sasmita. Wira bisa melihatnya dari sorot mata Sakti yang teduh setiap kali menatap Sasmita. Setelah memberikan soto ayam buatan Sekar kepada Sasmita dan berbincang sebentar dengan si pemilik rumah, Wira pun bergegas berangkat. Wira juga menawari Sasmita untuk berangkat bersama karena mereka satu kantor dan Sasmita pun setuju, apalagi kantor mereka berbeda arah dengan kantor Sakti. Tidak lama kemudian, ketiganya berangkat. Mobil Wira yang di dalamnya juga ada Sasmita keluar dari pekarangan rumah Sakti lebih dulu, kemudian diikuti mobil Sakti. Mereka berpisah di gerbang perumahan. “Kakak kenapa? Insomnia lagi?” Pertanyaan tiba-tiba dari Sasmita berhasil membuat Wira yang sedang fokus menyetir, menoleh. Laki-laki itu menaikkan alisnya. “Kelihatan banget?” Wanita itu mengangguk. “Mata Kakak nggak bisa bohong,” jawabnya. “Kenapa, Kak? Ada informasi baru dari Rafael dan Brian tentang Kak Shevi?” Wira menghela napas pelan. “Bukan dari mereka, tapi dari orang lain.” “Orang lain, siapa?” tanya Sasmita tak sabar. “Kemarin aku ke rumah sakit dan ketemu sama dokter nefrologi yang menangani Shevi dulu. Aku tanya-tanya sekaligus cari informasi, siapa tau Shevi datang ke rumah sakit untuk check-up. Dan kamu tau, apa yang aku dapatkan?” Sasmita refleks menggeleng. “... Dokter itu bilang kalau Shevi udah nggak pernah lagi datang ke rumah sakit setelah dia melakukan operasi transplantasi ginjal tiga bulan lalu. Katanya, Shevi terakhir kali datang ke rumah sakit, dua minggu pasca operasi dilakukan. Setelah itu dia nggak pernah datang lagi.” “Kak, aku bersyukur banget karena Kak Shevi akhirnya bisa melakukan operasi transplantasi ginjal. Itu artinya dia udah nggak perlu melakukan cuci darah lagi. Dan kalau dia udah nggak pernah ke rumah sakit lagi, bukannya itu artinya Kak Shevi baik-baik aja dengan ginjal barunya? Terus kenapa Kakak kelihatan kayak nggak senang gitu?” Merasa pembicaraan ini akan lebih panjang, Wira pun menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menoleh pada Sasmita. “Aku bukannya nggak senang, Sas. Aku senang kok karena akhirnya Shevi dapatin apa yang impikan dari dulu—dapat donor ginjal dan melakukan operasi transplantasi. Tapi Brian pernah bilang kalau tiga bulan lalu, Shevi resign dari minimarket tempatnya kerja dan tiga bulan lalu, operasi ini dilakukan. Bukankah ini artinya Shevi masih di sini? Dia tidak pergi jauh dari kota ini?” “Kalau memang waktunya sama, aku rasa memang benar Kak Shevi belum keluar dari kota ini. Lagi pula, makam Kak Nindi ada di sini, kan? Jadi, nggak mungkin Kak Shevi pergi jauh. Itu justru bakalan menyiksa hatinya.” Wira menyetujui ucapan adiknya dalam hati. “Terus sekarang gimana? Kakak udah tau kalau kemungkinan besar Kak Shevi masih di sini, terus rencana Kakak apa?” “Sebenarnya masih ada satu tempat yang belum aku datangi sampai sekarang. Aku nggak tau ini akan berhasil atau nggak, tapi sepertinya memang harus dicoba. Siapa tau bisa dapat sedikit petunjuk di sana.” “Tempat apa itu, Kak?” Hening. Bukannya menjawab, Wira justru menyalakan mobilnya lagi dan melajukannya dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibukota yang padat kendaraan. Laki-laki itu membiarkan wanita di sebelahnya menerka penasaran terkait tempat yang ia maksud tadi. Bahkan ketika mobil memasuki pelataran parkir kantor, Wira tidak juga menjawabnya. Hingga akhirnya ketika Sasmita baru akan membuka pintu mobil, panggilan dari Wira menghentikan gerakan wanita itu. “Kenapa, Kak?” “Nanti jam makan siang, kamu mau ikut ke makam Nindi?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN