ACHT (DELAPAN)

3112 Kata
Empat orang yang berada di tiap sudut rumah itu terkejut ketika mendengar suara keras musik yang berasal dari kamar Lilo. Meski gadis itu sudah memberitahu pada awalnya, tetap saja mereka terkejut ketika mendengar bahasa asing yang menyerang gendang telinga mereka. Kurt yang kebetulan membantu Klaus di dapur mengupas kentang mengerutkan dahinya sementara Klaus menjatuhkan sendok sayur yang sedang dipegangnya. Nyonya Hedy terlihat mengelus d**a seraya berkata dengan meringis. "Apa yang sedang didengar Lilo?" Nyonya Hedy memanjangkan lehernya. Nyonya Clotilda muncul sambil melepas kacamata baca dan tertawa geli. "Bukankah dia sudah meminta ijin akan memutar musik kesukaannya sekencang mungkin." Ia menatap Kurt yang terdengar mendengus dan melanjutkan tugasnya mengupas kentang. "Dari mana dia mendapatkan soundsystem mematikan itu?" "Dia menemukan barang-barangku di lorong, membongkarnya tanpa ijin dan menemukan sound milikku." Kurt melempar kentang bersih itu kepada Klaus. "Cepatlah masak agar bahasa aneh itu menghilang dari pendengaran. Apa dia lupa dia sedang hamil?" Nyonya Clotilda duduk di kursi makan dan memerhatikan Kurt dan Klaus yang terlihat serasi berada di dapur. Ia tertawa kecil. Kurt selalu menyebut Lilo "hamil" seakan memberi peringatan pada mereka untuk apa mereka ada di Gruyere. Jelas, lelaki itu tidak percaya Lilo sedang berbadan dua. Siapa juga yang percaya jika Lilo sangat lincah seperti itu? Nyonya Clotilda menggelengkan kepalanya diam-diam, berpandangan dengan Nyonya Hedy yang menyeringai sambil melepas sarung tangan. Kurt menyempatkan diri membuatkan kedua wanita itu kopi hangat dan meletakkan dua cangkir itu di hadapan Nyonya Hedy dan Nyonya Clotilda. "Kau memiliki kekasih, Kurt?" pertanyaan itu terlintas begitu saja di benak Nyonya Clotilda, terlontar dengan ringan dari mulutnya. Ia mengacungkan jempol untuk ukuran lelaki tak seramah Kurt bisa bertahan penuh kesabaran menghadapi Lilo. Kurt menatap Nyonya Clotilda. "Tidak." "Mantan kekasih, mungkin?" Nyonya Clotilda masih tahan harga. "Tidak memiliki kekasih bagaimana bisa memiliki mantan?" Kurt balik bertanya membuat Nyonya Clotilda menggaruk tengkuk. "Aku tahu! Isteri?" Nyonya Hedy mengacungkan tangan. "Mungkin kau menyimpannya di München?" Kurt mengerutkan dahi. "Tidak ada isteri." "Lalu?" Nyonya Clotilda berseru heran. "Berapa sih usiamu?" "29 tahun." "Dia tidak memiliki kekasih dan juga isteri. Tapi aku bertaruh di usia setua ini setidaknya kau pernah tidur dengan perempuan secara selibat." Klaus menepuk punggung Kurt ketika dia meletakkan Fettucini Carbonara dalam porsi besar untuk 10 orang. "Iya kan?" Kurt diam saja sambil menatap Klaus dengan datar. Klaus menyampirkan serbet di salah satu pundaknya dan menunjuk wajah Kurt. "Tolong beri aku jawaban sebaliknya. Jangan katakan bahwa kau..." "Aku tidak pernah berhubungan seks dengan perempuan manapun jika itu yang ingin kau ketahui." Kurt menjawab Klaus tanpa emosi. Nyonya Clotilda dan Nyonya Hedy ternganga. Mereka menatap lekat wajah Kurt serta tubuh lelaki itu. Klaus nyaris mencakar wajah Kurt seraya berkata tak percaya. "Kau pembual sejagat raya! Aku tidak percaya! Aku yang seperti babi gemuk ini saja beberapa kali tidur dengan beberapa perempuan, masa kau yang seperti ini tidak sema sekali? Berbohong juga ada batasnya, Dalheimer!" Klaus menggerakkan kedua tangannya demi menggambarkan sosok Kurt. Kurt mengedikkan bahu. "Kalau kukatakan tidak, tentu saja tidak." Ia membalikkan tubuhnya untuk memeriksa sup jamur yang diabaikan Klaus demi menggosipkan dirinya. "Jika kau tak pernah berurusan dengan perempuan, bagaimana kau bisa begitu telaten dan sabar menghadapi Lilo?" tanya Nyonya Clotilda. Kurt mematikan api di kompor dan mencari wadah yang tepat untuk sup. "Akukan punya ibu dan adik perempuan." "Oh, benar-benar kosakatamu ini limited edition heh?" Klaus menggeser tubuh Kurt dengan lengannya. "Tinggalkan sup ini dan panggil Fräulein Lilo." "Aku saja yang memanggilnya." Nyonya Clotilda bangkit dari duduknya, menghentikan langkah Kurt. "Aku ingin bertanya keadaannya." Ia berjalan cepat menuju kamar Lilo yang sudah terdengar apa yang sedang dilakukan gadis itu di dalam. Suara nyanyian korea menembus dinding kamar dan Nyonya Clotilda menghela napas. "Kalau seperti ini, tunggu saja dalam hitungan jam kedokmu terbongkar, Lilo Dommer." Ia membuka pintu kamar dan segera melesat masuk saat melihat Lilo sedang meniru tarian boyband kesukaannya dari laptop. "Matikan musik itu!" Nyonya Clotilda segera berlari menekan tanda stop pada laptop Lilo, dia mendelik pada wajah Lilo yang kemerahan serta napasnya yang memburu. "Kau itu sedang hamil bohongan!" Lilo banjir keringat ketika mendapati Nyonya Clotilda menyerbu masuk ke dalam kamarnya, mematikan lagu Mic Drop yang sedang dinikmatinya sekaligus mempraktekkan tarian mereka. Ia mendengar seruan panik Nyonya Clotilda dan tertawa saat wanita itu menyambar selimut di ranjang, mengusap keringat di wajah dan lengan Lilo. Lilo tak bisa menahan keinginannya yang selama ini tertahan tiap kali menonton musik video boyband kesukaannya, tiap kali dia ingin menari, dia takut kamera paparazzi akan muncul dari kaca jendela kamarnya di Berlin. Kini, berada jauh dari semua itu, Lilo melampiaskan keinginan terpendamnya tanpa berpikir lagi bahwa dia sedang berpura-pura hamil. "Takkan ada yang tahu, Frau Clotilda." "Ya, Kurt akan segera tahu kebohonganmu jika saja aku tak bergerak cepat menyusulmu." Nyonya Clotilda membuka koper Lilo dan melempar baju apa saja yang dilihatnya untuk dikenakan Lilo, "Ganti pakaianmu, pakai parfum sebanyak mungkin dan atur napasmu." Lilo menerima baju dan celana pendek dari Nyonya Clotilda. Ia menuruti perintah gurunya itu dengan tersenyum-senyum. Dia yakin Kurt takkan berpikir sejauh itu. "Kurt tak bakalan tahu." Nyonya Clotilda menyemproti Lilo dengan parfum hingga aroma dari benda itu membuat Lilo terbatuk dan merasa mual sungguhan. "Ya Tuhan! Anda menyemprotnya terlalu banyak Frau Clotilda! Aku mau muntah." Lilo mengibas tangan di udara. "Biar saja kau mau muntah. Ingat, sepanjang hari kau sama sekali tak ada tanda-tanda orang yang sedang hamil. Jika kau mau muntah karena bau parfum, silakan dimuntahkan." Lilo menyeringai dan merangkul lengan Nyonya Clotilda. "Ternyata anda hebat juga dalam tindak kriminal." Nyonya Clotilda menepuk kepala Lilo. "Jangan bicara aneh! Aku hanya ingin kau merasakan sedikit kebebasan, itu saja. Tapi berhati-hatilah, Kurt itu cerdas. Dia tak percaya kalau kau hamil." Baru saja dibicarakan, pintu kamar Lilo terbuka dan orang yang sedang dibicarakan tampak berdiri di ambang pintu. Kurt menatap Lilo dan berkata datar. "Makan malam sudah siap." Kurt mengendus bau harum menyengat di seluruh kamar Lilo. "Bau apa ini?" "Frau Clotilda menyemprot parfum di kamarku hingga membuatku mual." Lilo menutup mulutnya dan menatap Kurt dengan pandangan lesu. "Oh, kalau begitu aku akan membawamu ke dokter yang diberitahu Edith." Kurt maju selangkah dan terkejut mendengar jawaban Lilo. "Mualnya sudah hilang! Kali ini giliran cacingku yang sedang kelaparan." Dengan senyum lebar, Lilo berjalan keluar dari kamar . "Aku harus makan malam." dia melesat pergi dari Kurt yang saat itu menatap lekat pada Nyonya Clotilda. "Mari kita makan." Nyonya Clotilda melewati Kurt yang memberinya jarak di pintu. Dengan santai, Kurt bergumam di atas kepala Nyonya Clotilda. "Sepertinya barusan ada konser di kamar ini. Bantal dan selimut berantakan dan laptop masih menyala." Kurt berjalan memasuki kamar, membungkuk dan menjepit baju Lilo yang basah kuyup karena keringat dengan ibu jari dan telunjuknya. Ia mengintip ke dalam layar laptop sebelum menatap Nyonya Clotilda. "Nona hamil kita ternyata tak hanya konser tetapi juga menari bak boyband." Kurt melempar baju Lilo ke sudut kamar. Ia berjalan santai menuju pintu terbuka, tersenyum pada Nyonya Clotilda yang membelalak. "Mari kita makan." Nyonya Clotilda menepuk pelan dahinya. Dari semua makan malam yang dilaluinya selama ini, Lilo akhirnya merasakan makan malamnya tak sendirian, hanya bersama menu-menu di meja makan. Ia duduk bersama empat orang lainnya di meja yang sama, menikmati menu yang sama dan tertawa bersama. Bahkan menu sederhana yang dikatakan Klaus menjadi begitu bermakna bagi Lilo. Ia tak makan sendirian. Ia bisa menggerakkan tangannya untuk mengambil menu di antara tangan-tangan lainnya yang juga menginginkan menu yang sama. Kegembiraan di wajah Lilo tercetak jelas di wajah cantiknya yang merona, tawa cerianya mendominasi ruang makan hingga Kurt mengabaikan dugaan atas apa yang terjadi di kamar gadis itu. Kurt membiarkan dirinya menikmati suasana makan malam itu dan sudah menyiapkan sebotol Berliner Weisse* yang berhasil dibawa Klaus secara diam-diam dari Berlin. (Bir gandum yang diberi sirup rapsberri yang berasal dari Berlin) Menyesap bir di malam dingin Gruyere sambil mengatur pot-pot bunganya pasti menyenangkan, berbincang bersama Klaus tentang berbagai rencana untuk tempat tinggal mereka selama setahun. Mungkin hal itu bisa membuat Kurt sedikit mengabaikan kejanggalaan "kehamilan" Lilo. Tapi sepertinya Edith gemar membuyarkan segala ide yang ada di kepala lima orang itu. Ketika makan malam usai dan Nyonya Hedy membersihkan sisa makanan mereka, Edith menghubungi ponsel Kurt, bertanya tentang keadaan Lilo atas perintah walikota. Kurt melirik Lilo yang sedang menemani Nyonya Hedi mencuci piring, Nyonya Clotilda yang berbicara tentang jadwal belajar Lilo mulai besok sementara Klaus terlihat menyisihkan beberapa bahan untuk sarapan besok pagi. Kurt nyaris melontarkan kalimat sinisnya pada Edith, mengapa bukan sang walikota yang menelpon Lilo untuk bertanya tentang keadaannya, paling tidak panggilan itu bisa membuat ponsel poliponik Lilo berdering sibuk. Tetapi Kurt teringat akan teguran Nikolaus yang mengatakan untuk dirinya menahan gerak lidah dan jempolnya. Percakapan mereka sudah masuk dalam sistem keamanan. "Baik-baik saja." "Apakah sudah kontrol ke dokter?" – Edith. Kurt menjauh dari keberadaan Lilo. "Sudah." Dia berbohong. Demi Tuhan, dia berbohong demi Lilo yang sesorean itu menikmati Gruyere dan ice creamnya. ""Oh, syukurlah. Bagaimana hasilnya? Janinnya berkembang dengan baik kan?" – Edith. Kurt meringis. Entahlah, hanya Lilo yang tahu, pikir Kurt kecut. "Tak ada masalah." "Syukurlah, katakan pada Lilo, besok aku akan datang berkunjung dengan penerbangan pribadi untuk melihat keadaannya. Frau Dommer mencemaskannya dan aku berjanji akan melaporkan keadaan Lilo secara langsung." Kurt menutup ponselnya dan menoleh Lilo yang kebetulan muncul di belakangnya. Lilo bertanya dengan penuh semangat. "Bagaimana kalau aku mengatur pot..." kalimat Lilo terhenti karena mulutnya yang ditutup oleh telapak tangan Kurt. Kurt sendiri tidak tahu mengapa dia berusaha menyembunyikan suara ceria Lilo dari Edith. Ia memberi isyarat pada Lilo untuk diam dan meneruskan percakapannya. "Kurt?" – Edith. "Ya, aku mendengarmu. Aku akan menyampaikan pesanmu. Selamat malam." Kurt memutuskan percakapan dan menatap Lilo yang masih dibungkam oleh tangannya. "Maaf." Kurt melepaskan tangannya. Lilo meringis. "Siapa sih yang berbicara denganmu? Pacarmu ya? Katamu kau tak memiliki kekasih?" Kurt mendorong dahi Lilo dengan ujung jarinya. "Sudah kukatakan aku tak memiliki kekasih! Apa kau lupa?" "Lupa." Lilo menjawab dengan tertawa. "Kalau begitu siapa?" "Edith." Kurt berkata pendek. Ia melihat wajah melongo Lilo. Gadis itu menggosok lubang telinganya sendiri. "Siapa? Edith?" suara Lilo naik satu oktaf. "Ya, dia ingin mengecek kondisimu." Kurt melipat tangannya di d**a dan melihat betapa paniknya Lilo. "Memangnya ada apa?" Lilo segera mengatur air mukanya, tersenyum lebar dan menjulurkan tangannya. "Tak ada apa-apa. Apa aku boleh pinjam ponselmu?" Kurt menyembunyikan ponselnya ke balik punggung. "Kau kan punya ponsel." "Tidak bisa untuk membuka internet!" Lilo mencoba merebut ponsel Kurt. "Pinjamkan punyamu. Ini mendesak." Kurt menggerakkan tangannya, menghindari jangkauan tangan Lilo. "No internet. No sosial media. Itu salah satu dari daftar yang kudapatkan." Kurt tersenyum tipis. "Oh, aku butuh internet sekarang!" "Untuk apa?" "Untuk melihat lesung pipi Kim Nam Joon!" Lilo mengucapkan kalimat apa saja pada Kurt agar lelaki itu meminjamkan ponsel canggihnya pada Lilo. "Apa? Lesung pipi siapa?" sangking bingungnya, Kurt menurunkan tangannya dan ponselnya sukses direbut Lilo. Lilo berhasil mendapatkan ponsel Kurt, berjalan cepat ke ruang tamu dan membuka laman internet dan mengetik kalimat gejala di awal kehamilan. Di sana Lilo menemukan beberapa gejala bagi ibu muda dan salah satunya adalah mual di pagi hari. Ia akan menunjukkan gejala itu di hadapan Edith agar kebohongannya semakin sempurna. "Kembalikan ponselku!" Kurt berada di belakang Lilo. Secepat kilat Lilo membuka tab baru dan mengetik profil RapMon BTS. Data sang leader muncul di layar dan Lilo menekan tanda keluar pada ponsel. Ia membalikkan tubuhnya dan mengembalikan benda itu pada Kurt yang mengerutkan dahi. "Ini, terima kasih." Lilo nyaris bernyanyi senang ketika melihat Nyonya Hedy muncul dengan setoples penuh marshmallow di pelukannya. "Wah dari mana marshmallow itu." Nyonya Hedy menoleh Kurt yang mengatupkan bibir. "Tanya bodyguardmu." Ia membuka tutup toples dan memasukkan satu gumpalan ke dalam mulut. "Itu punyaku." Kurt menjawab tanya di mata Lilo dan tawa gadis itu meluncur keras. "Kau suka makanan manis?" "Marshmallow tak begitu manis," bantah Kurt. "Bunga-bunga dan pot wajah?" Lilo menelengkan kepalanya, menyeringai pada Kurt yang diam saja. "Aku menyukaimu, Kurt. Kau tak seseram keliatannya." Kurt membalikkan tubuhnya, meninggalkan Lilo bersama dua wanita yang dengan seenaknya memeluk toples makanan manisnya, menonton acara di televisi bersama Lilo. Diam-diam dia menatap Lilo sebelum menuju teras samping di mana Klaus menunggunya dengan bir mereka. Kurt menunduk dan memeriksa pencarian internet yang digunakan Lilo. Bibirnya terangkat membentuk senyuman. Situs-situs yang menuliskan gejala di awal kehamilan terlihat memenuhi layar ponselnya. "Mari kita nikmati malam ini, bung." Klaus mengangkat gelas birnya pada Kurt yang menyimpan ponsel dan menyulut rokok. Kurt duduk bersandar di kursi dan mendongak menatap langit luas berbintang di atasnya. Asap rokoknya mengambang di udara sejuk malam pertama itu. Dalam hati dia berkata, Lilo Dommer. Si pembohong kecil yang manis. Apa yang akan terjadi besok? Lilo gelisah. Dia tidak bisa memejamkan matanya. Berada di tempat baru membutuhkan penyesuaian apalagi jika di sekelilingnya demikian sunyi dan terdengar suara-suara binatang malam di luar rumah. Berkali-kali ia membuka dan menarik selimut, menyetel musik di ipod namun tetap saja sepasang matanya terbuka lebar. Akhirnya, Lilo melempar selimut dan berjinjit menuju pintu. Dia membuka pintu kamarnya dan menemukan suasana sepi seluruh rumah. Udara bertambah sejuk ketika malam makin larut. Ia berjalan di rumah itu dan menuju ruang tengah yang tampak masih terang. Dia mengintip dan bernapas lega mendapati Kurt masih terjaga. Lelaki itu tampak sedang duduk di lantai membelakanginya. Lilo berdeham, menarik perhatian Kurt. Kurt menoleh dan Lilo sudah duduk bersila di sisinya. "Kau belum tidur?" "Kau juga belum tidur?" Lilo melongok ke balik tubuh Kurt. "Apa yang kau lakukan?" dia menutup mulutnya dengan senang ketika melihat pot bunga daisynya telah memiliki wajah. Terlihat beberapa spidol permanen berserakan di sekitar kaki Kurt. "Waah! Kau melukis wajah di pot bungaku!" Kurt meletakkan batang rokoknya di asbak, beringsut menjauh dari Lilo. "Aku sulit tidur." Lilo menoleh Kurt dan memeluk kedua lututnya. "Aku juga. Sepi sekali di sini hingga kupikir lalat yang tergelincirpun dapat kedengaran di telingaku." Kurt tertawa pelan dan kedua tangannya bergerak, menurunkan kedua lutut Lilo. "Jika kau memang hamil, posisi seperti ini akan membuat perutmu tertekuk." Kedua kaki Lilo akhirnya berselonjor di lantai. Lilo memerhatikan wajah Kurt yang tak ramah tetapi amat bertolak belakang dengan semua kepedulian lelaki itu padanya. Hampir semua kalimat yang dilontarkan Kurt bernada ketus namun bagi Lilo itu bukan masalah. Pada akhirnya Kurt selalu meladeninya dengan sabar. "Apa kau sunguh-sungguh tak punya kekasih?" Lilo bertanya ingin tahu. Kurt bersandar pada dinding rumah, sepasang kakinya yang panjang berselonjor nyaris menyentuh ujung jari Lilo. "Kau harusnya menggunakan kaus kaki. Di sini amat dingin." Lilo tertawa. "Kau mengalihkan jawaban." Kurt menatap Lilo. Gadis itu membalas tatapannya. Gadis yang keras kepala dan selalu ingin tahu. Ceria sekaligus rapuh. Itulah yang diketahui Kurt saat berada di dekat Lilo. Kurt melumat habis ujung rokoknya di asbak. "Tidak ada." "Berapa usiamu?" Lilo tanpa sadar menekuk kembali lututnya, meletakkan pipinya di sana. Dan Kurt tidak melarang seperti sebelumnya. "Mengapa kau suka merawat bunga?" "Aku 29 tahun." Kurt menjawab pertanyaan Lilo dengan tersenyum kecil. Dia tak mau mengganggu kesenangan Lilo yang menekuk lutut. Gadis itu lentur. Seingat Kurt, di dalam berkas menuliskan bahwa Lilo rajin berlatih balet. "Ibuku memiliki toko bunga di München." "Dan kau membantunya?" "Kami punya ladang bunga." Kurt menjawab dengan halus. "Aku dan ayahku bersama adik perempuanku mengembangkan ladang itu hingga subur." Lilo tampak tertarik. Ia memeluk erat kedua lututnya. "Benarkah?" ia mengembangkan jari-jarinya. "Aku baru saja 16 tahun. Dan kau 29 tahun. Tidakkah kau merasa jengkel menjaga gadis ingusan sepertiku?" Kurt menaikkan sebelah lutut dan meletakkan lengannya di sana. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding. "Adikku berusia 17 tahun. Ketika aku ke Berlin, usianya 8 tahun dan selalu menangis di ponsel tiap kali menelponku." "Mengapa?" "Karena kami semua mengasuhnya saat bayi dan ketika kecil, dia selalu bersamaku." "Dan ladang bunganya? Bukankah kata Klaus ayahmu seorang petinju?" Kurt menaikkan alisnya. "Dulu. Sekarang dia petani bunga bersama ibuku." Ia menunduk dan tertawa pelan. "Kami bukan keluarga kaya, Lilo." "Tapi penuh kehangatan." Cetusan Lilo halus. "Aku tak seberuntung itu." ia tercenung dalam kesunyian yang mendadak. Terdengar suara burung hantu di luar rumah dan Lilo memejamkan matanya. "Aku tak seberuntung itu." segulir airmata mengalir dari pelupuk mata Lilo. Ia merasa lelah dan mengantuk, membayangkan ladang bunga yang dikatakan Kurt. Ia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah ribuan bunga indah, berlari dan menikmati cahaya matahari. Bebas. Lepas. Menggenggam udara. Kurt terdiam mendengar gumaman lirih Lilo. Gadis itu terlihat memejamkan matanya, memeluk lutut dan tak bergerak sama sekali. Lilo sudah tidur. Begitu saja. Seperti keterangan data yang dibaca Kurt. Lilo bisa tidur di mana saja dan kapan saja jika sudah merasa nyaman dan gadis itu takkan berpindah posisi hingga besok pagi. Kurt menghela napas dan bangkit berdiri. Menyeret pelan kakinya mendekati Lilo. Ia membungkuk dan meraih tubuh Lilo dalam gendongannya. Lilo bagai boneka kapuk di kedua lengan Kurt yang kuat. Napas gadis itu berembus teratur ketika berada di dekapan Kurt. Ada linangan bening menghiasi pipi putih Lilo. Kurt melihat bekas aliran airmata di sana. Dengan hati-hati, Kurt membawa Lilo ke kamar gadis itu. Bahkan di dalam tidurnya yang seperti mayat itu, Lilo mencengkram erat baju di bagian d**a Kurt. Ketika Kurt meletakkan Lilo ke ranjang, dia mesti melepaskan cengkraman erat itu dari bajunya. "Ya Tuhan, apa di dalam tidurpun kau masih membuat apa yang kupakai menjadi kendor?" Kurt mengeluh dan meletakkan tangan Lilo di sisi tubuh. Diraihnya selimut dan diselimutinya hingga ke batas leher. Kurt menatap titik airmata yang masih menggantung di kelopak mata yang tertutup itu. Ujung jari Kurt mengusap titik itu, airmata itu menyerap ke dalam kulit jarinya. "Kau gadis yang beruntung, Lilo." Ia mengusap puncak kepala Lilo, mundur dari sisi ranjang gadis itu. Kurt mencapai saklar dan mematikan lampu di kamar itu. Perlahan dia menutup pintu dengan pelan. Langkah kakinya membawanya kembali ke ruang tengah, meraih pot bunga daisy milik Lilo yang kini telah memiliki wajah tersenyum. Dibawanya pot itu pada bagian luar rumah, di teras samping di mana telah berjejer pot-pot bunga miliknya yang telah diaturnya selagi berbincang bersama Klaus di awal malam. Diletakkannya pot daisy itu di antara bunga-bunga yang lain. Warna daisy yang putih mendominasi di antara bunga berwarna cerah lainnya serta tanaman hijau yang ada. Seperti Lilo Dommer yang berada di antara keramaian, menarik perhatian sekaligus polos. Gadis yang mendambakan kehidupan biasa saja, seperti daisy yang sederhana namun memukau. Awalnya Kurt berpikir, Lilo hanyalah gadis kaya manja yang selalu mencari perhatian dengan cara kabur dan menciptakan kenakalannya pada semua bodyguard, tetapi saat ia duduk berdampingan dengan gadis itu di kabin pesawat, memberikan kesempatan pada gadis itu untuk berbicara apa saja, Kurt menyadari bahwa Lilo layaknya gadis kebanyakan. Bedanya Lilo kesepian. Gadis itu membutuhkan sosok yang menghargainya saat berbicara dan menyalurkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan. Kurt menyentuh salah satu kelopak daisy. Lilo mungkin berbohong tentang kehamilannya. Apapun itu, mungkin Kurt akan memberinya gelar a cute liar, namun satu yang dirasakan Kurt adalah ia akan melindungi Lilo. Dia hanya ingin gadis itu berkata sejujurnya, Is she really pregnant? Yes or Not, takkan mengubah keinginan Kurt untuk menjaga dan melindungi Lilo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN