NEUN (SEMBILAN)

3657 Kata
Lilo terbangun kala mendengar suara ketukan di jendela kamarnya. Ia membuka mata dengan lebar dan menoleh ke arah jendelanya yang masih tertutup gorden berenda. Suara ketukan kembali terdengar diselingi suara cicitan burung yang demikian sibuk. Lilo menoleh keberadaannya yang ada di kamarnya, tidur dengan aman di dalam selimut hangat. Bibirnya tersenyum dan menyibak selimut, menendang benda itu hingga teronggok di bawah ranjangnya. Ia melompat dari ranjang dan berlari ke arah jendela, menyingkirkan gorden dan melihat beberapa burung kecil bertebangan di depan jendela kamarnya. Satu dari burung-burung itu terlihat mematuk matukkan paruhnya ke kaca jendela. Tangan Lilo sibuk membuka selot jendela dan membentangkan kedua daun jendela dengan lebar. Segera udara sejuk pagi hari menerpa kulit wajahnya, burung-burung terbang tinggi dengan suara cicitnya yang saling bersahutan. Lilo mengeluarkan separuh tubuhnya dan mendongak ke arah perginya burung-burung mungil itu. "Selamat pagi!!" ia menyapa pagi hari itu dengan senyum lebar. Pemandangan puncak gunung dari kejauhan balas menyapa Lilo, demikian pula pemandangan indah desa dan kota Gruyere yang tak jauh dari jendela Lilo. Hamparan lembah-lembah berumput hijau segar berkelok sepanjang jalanan desa hingga mencapai kota di bawah sana. Lilo menunduk ke bawah jendelanya yang sanggup dilangkahinya karena rumah itu berlantai satu dan berundak-undak, indah dan dia ingin melompat dari jendelanya, menjejakkan sepasang kakinya di rumput basah. Pikiran itu membuat Lilo seakan menemukan akal baru. Sambil menoleh kamarnya yang masih tertutup, Lilo memanjat tepian jendelanya. Mengapa tidak? Berlarian di rumput basah pagi hari tanpa alas kaki belum pernah dilakukannya. Maka dengan lincah Lilo melompat dari jendela kamarnya, berseru senang ketika telapak kaki telanjangnya merasakan basahnya tanah serta gelitik rumput di bawah kakinya. "Waah...sejuuuk!!" Lilo membentangkan tangannya, menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk, berputaran di tempatnya dan berlarian sepanjang halaman belakang rumah yang berupa bukit berumput hijau segar. Pohon-pohon rindang berdaun lebat berada di sekitar rumah bagian samping, Lilo bisa melihat sarang burung di puncak dahannya dan beberapa burung yang membangunkannya berada di sana. Sinar matahari masih malu-malu mengintip dari ufuk timur, membuat Lilo memicingkan mata ketika cahaya itu semakin terang. Ia bersandar di batang pohon dan menatap takjub saat bola raksasa itu beranjak memunculkan dirinya, mengawali pagi yang cerah di Gruyere. Berdiri di atas bukit, menyaksikan matahari terbit merupakan anugerah yang tak terkira bagi Lilo. Ia menjatuhkan dirinya di bawah pohon dan duduk bersila di atas rumput dan memejamkan matanya. Menikmati alam di sekitarnya, siraman cahaya matahari serta suara-suara riang burung di atas kepalanya. Sementara Nyonya Clotilda yang ketika bangun segera mengunjungi kamar Lilo dan mendapati kamar gadis itu kosong dengan jendela kamar terbuka lebar. Suara histeris Nyonya Clotilda membuat Nyonya Hedy menjatuhkan bantalan sofa yang sedang dirapikannya, Klaus yang menutup pintu lemari pendingin dengan keras serta mengejutkan Kurt yang sedang mencangkul tanah untuk membuat bedeng sayurannya. Nyonya Clotilda berlarian menuju ke keberadaan Kurt yang sedang sibuk mencangkul dan mengusap peluh. "Kurt! Lilo tak ada di kamarnya!" ia berteriak panik diikuti kemunculan Nyonya Hedy dan Klaus. Kurt melepaskan cangkulnya dan mendekati Nyonya Clotilda yang segera melempari baju miliknya yang tersampir di kursi teras belakang. Benda itu menimpuk wajah Kurt sebelum ditangkap oleh lelaki itu. "Seharusnya kau berpakaian lengkap!" gerutu Nyonya Clotilda. "Bagaimana nanti kalau ada gadis desa yang melihatmu seperti itu? Dia bisa pingsan melihat lelaki bertato setengah telanjang sepertimu!" Kurt memakai kaosnya dan menjawab Nyonya Clotilda dengan santai. "Di sini hanya ada dua wanita tua cerewet yang tak peduli apakah aku telanjang sekalipun." Klaus melayangkan spatulanya ke punggung Kurt. "Walaupun tua mereka tetap perempuan!" "Siapa yang tua!" bantah Nyonya Hedy. "Kami masih berusia 50 tahunan." "Sudahlah! Lilo tak ada di kamarnya! Kau harus..." Nyonya Clotilda menghentikan kalimatnya karena Kurt sudah lenyap dari hadapannya. "Ke mana perginya lelaki itu?" ia menoleh ke kiri kanan. "Dia sudah berlari pergi mencari Nona Lilo sambil memakai kaosnya." Klaus berjalan ke arah berlawanan. "Aku akan mencarinya di bagian depan. Mungkin dia berjalan-jalan ke lembah." "Aku ikut denganmu." Nyonya Hedy berlari menyusul Klaus. Dia menunjuk Nyonya Clotilda yang juga akan mencari. "Kau tunggu di rumah siapa tahu Lilo kembali." "Aku juga kan ingin mencarinya!" "Jangan, tunggu saja di rumah." Nyonya Hedy berteriak. "Menunggu kalau Lilo pulang." Kurt memutari rumah yang berada di atas bukit luas itu dan berpikir keras akan keberadaan Lilo. Gadis itu sudah berjanji padanya untuk tidak pergi tanpanya. Apakah kebiasaan kaburnya kumat? pikir Kurt. Dia melewati jendela kamar Lilo yang terbuka, mencoba memikirkan arah pikiran gadis remaja itu dan sewaktu dia menunduk, ia menemukan bagian rumput yang diinjak sesuatu. Ada bekas dua kaki di tanah basah yang mengarah ke bagian tepi bukit. Kurt mengikuti jejak kaki itu. Saat ia mengangkat matanya, Lilo ada ada di depannya. Duduk bersandar di tanah berumput, di bawah pohon rindang yang dahannya dipenuhi burung-burung kecil. Gadis itu terlihat menatap ke bawah bukit dan sama sekali tak menyadari kehadiran Kurt. Kurt berdiri di belakang Lilo, menekan sebelah tangannya pada batang pohon dan mengikuti arah tatapan Lilo. Segerombolan orang-orang desa berjalan menuruni jalanan menurun di bawah bukit, tertawa dan berbincang dengan tas-tas di punggung mereka. Sepertinya mereka bersiap menuju peternakan masing-masing dan pemandangan itulah yang sedang dinikmati Lilo. Ia melihat telapak kaki kotor Lilo dan dengan pelan, Kurt berjongkok di samping Lilo. "Apa yang sedang kau lihat?" Kurt bertanya halus, memaku pandangannya pada gerombolan di bawah sana. Lilo menjawab pertanyaan Kurt dengan tenang, seakan tidak kaget akan kemunculan Kurt yang bagai hantu dan berada di sampingnya. Tangannya terjulur ke arah gerombolan yang semakin menjauh. "Orang-orang itu. Mereka terlihat sederhana tetapi mempunyai tawa lebar yang bahagia." Kurt mengangguk. "Terkadang hidup tak perlu harta berlimpah, kau bisa bahagia dengan caramu sendiri." Ia menoleh Lilo yang masih menatap ke arah yang sama. "Kau membuat Nyonya Clotilda panik. Dia mengira kau kabur." Lilo mengerjabkan bulu matanya, perlahan menoleh Kurt. Wajah lelaki itu terlihat cemas meski berusaha untuk disembunyikan darinya. Ia bisa melihat bagaimana Kurt sedang mengatur napas seakan pria itu baru saja berlarian. Mencarinyakah? Lilo tersenyum lebar. "Bukankah aku sudah berjanji padamu? Aku takkan lagi berjalan sendirian tanpamu." Lilo berkata pelan, menatap lekat mata hijau milik Kurt. "Aku orang yang tepat janji." ia tersenyum lebar. "Lagipula aku tahu kau pasti bisa menemukanku. Iya kan?" Kurt hanya bisa membalas tatapan biru Lilo yang cemerlang. Sepasang mata itu telah mengalirkan airmata dalam tidurnya semalam dan Kurt ingin sinar mata itu tetap secemerlang sekarang. Mendapati bahwa Lilo tak berada di kamarnya membuat jantung Kurt berdentum kencang, kemudian bernapa lega ketika ia berhasil menemukan gadis itu. Ia menatap telapak kaki kotor Lilo. "Kakimu kotor." Lilo menunduk dan tertawa. "Tanahnya basah. Burung-burung di atas ini menuntunku melihat matahari terbit." Ia menunjuk dahan pohon di atasnya, di mana terlihat burung-burung kecil berkicau. "Kau harus melihat indahnya matahari terbit." Kurt tersenyum. "Ya, nanti. Sekarang kembali ke rumah, Nyonya Clotilda bisa sakit jika kau tak segera kembali." "Dia panik?" Lilo tertawa. Ia bersiap akan berdiri ketika Kurt menghentikan gerakannya. "Kenapa?" Dengan diam, Kurt mengeluarkan saputangannya dan mengelap telapak kaki Lilo yang kotor dengan benda itu. "Bersihkan dulu kakimu, Nyonya Hedy bisa sedih melihat lantai yang sudah dipelnya akan kotor lagi akibat telapak kaki bertanahmu itu." Lilo merasa wajahnya menghangat. Bukan karena sinar matahari pagi tetapi akan tindakan tak terduga Kurt. "Tapi tetap saja akan kotor. Aku kan harus berjalan ke rumah dengan kaki telanjang." Dia tertawa untuk mengabaikan getar aneh yang melanda perasaannya ketika menyaksikan kepala berambut cokelat gelap itu menunduk. Kurt membentang saputangan itu pada bagian yang tidak kotor dan menatap Lilo. "Injak itu." ia menunjuk saputangan yang berada tepat di depan kaki Lilo. Lilo mengikuti apa yang dikatakan Kurt, meletakkan kedua kakinya di atas saputangan yang ukurannya yang terbatas itu. Dia mendongak pada Kurt yang sudah berdiri. "Aku berjalan dengan saputangan? Memangnya ini karpet Aladin?" ia berdiri dengan limbung, berpegangan pada batang pohon, menertawai pikirannya sendiri. Tapi Kurt sudah menekuk lutut dan memberikan punggungnya pada Lilo. "Naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu seperti hari pertama kali kita kemari." Lilo menekan punggung Kurt dengan ujung jarinya. "Kau tidak sedang berguraukan?" Kurt menoleh dari bahunya. "Tidak. Naik saja." "Aku berat." "Aku tahu. Jangan membuatku mengulangi angka timbanganmu." Lilo tertawa dan melompat ke punggung Kurt, yang secara sigap kedua kakinya mengait di pinggang lelaki itu. Ia melingkarkan kedua lengannya di leher Kurt dan berkata riang. "Aku takkan mencekikmu lagi." "Kalau kau lakukan, aku akan menjatuhkanmu." Kurt menukas dengan nada tanpa emosi, menegakkan punggungnya dan berjalan santai dengan Lilo yang bergantungan di punggungnya. Lilo tersenyum dan menoleh ke arah bawah, terlihat seorang anak kecil berlarian menuruni jalanan dan mendongak ke arahnya. Lilo melambai dengan riang. "Hai!" dan dibalas dengan sapaan riang dari si anak kecil. Lilo berkata pada Kurt. "Kau berjanji akan membawaku melihat sapi-sapi kan?" Mereka hampir mencapai rumah tepat saat Klaus dan Nyonya Hedy juga muncul. Kedua orang itu berseru lega ketika melihat Kurt berhasil menemukan Lilo, bahkan menggendong gadis itu di punggung. "Lilo!" Nyonya Hedy menekan d**a dengan lega. Kurt menurunkan Lilo di teras belakang. Dia menatap Lilo dan menjawab pertanyaan Lilo. "Melihat sapinya nanti saja. Sekarang lekas mandi dan bersiap untuk bertemu Edith beberapa jam lagi." Edith! Seketika nama itu seperti guyuran air panas di kepala Lilo. Ia harus mandi dan bersandiwara sedang hamil sungguhan. Apa ya? Mual-mual? Wajah pucat? Lilo berlarian memasuki rumah, lupa bahwa Kurt masih menatapnya dengan alis terangkat. Edith muncul di rumah sewa mereka tepat ketika Lilo dan Nyonya Clotilda sedang belajar. Karena sekolah Lilo sudah menggunakan sistem online, maka untuk tugas-tugas harian dapat dikerjakan Lilo di web sekolah menggunakan jaringan internet yang dimiliki Nyonya Clotilda, melalui laptop sang guru. Lilo tidak ketinggalan pelajaran meski selama setahun pengungsiannya, dia menjalani sistem home schooling bersama Nyonya Clotilda. Lilo cukup tegang menunggu kedatangan Edith hingga akhirnya dia benar-benar merasa mual. Bermaksud untuk bersandiwara secara total, Lilo justru mual sungguhan karena tegang. Hal itu terjadi setengah jam sebelum kedatangan Edith, mau tak mau membuat seisi rumah kalang kabut. Lilo muntah di kamar mandi tepat ketika Kurt dan Klaus muncul dari dapur. Kurt terpaku di tempatnya berdiri saat melihat Nyonya Clotilda dan Nyonya Hedy sibuk memberi Lilo minuman hangat dan memberi gadis itu pijatan di tengkuk. Sejenak Kurt ngeri akan pikirannya sendiri. Lilo muntah-muntah seperti layaknya wanita hamil seharusnya. Ia mendekati Lilo dan memegang lengan gadis itu. "Kau baik-baik saja? Tidakkah kita ke dokter saja?" Lilo mengusap ujung bibirnya dan ternganga melihat reaksi Kurt yang panik. Akukan cuma tegang. Kemudian dalam hati dia bersorak girang mendapatkan kepanikan yang diciptakannya pada Kurt. Hei, bukankah dia sudah seperti gadis yang sedang hamil sungguhan? Bahkan Kurt percaya penuh. Ia melirik Nyonya Clotilda dan Nyonya Hedy yang menutup mulut. Lilo berdehem dan menekan pelan perutnya. "Aku muntah." Ditekannya pelipisnya dan melihat seringai kecil Nyonya Hedy. Diam-diam Lilo melotot, memberi isyarat bahwa dia tidak berbohong prihal muntah tersebut. Kurt menarik Lilo agar gadis itu duduk di salah satu kursi di bagian sudut rumah, di bagian belajar Lilo dan Nyonya Clotilda. "Aku akan membawamu ke dokter yang dianjurkan oleh Edith..." "Nein!" Lilo setengah berteriak, sedikit histeris dan merendahkan suaranya saat menyaksikan kerutan di dahi Kurt. "Maksudku, biarkan dulu. Aku yakin ini hanya gejala normal. AKu akan menunggu Edith dengan belajar saja." Ia mendorong bahu Kurt dengan pelan. "Kau cari kesibukan lain saja." "Kesibukanku adalah menjagamu, Lilo." Kurt menjawab dengan bibir terkatup. Ups! Lilo tak boleh membuat Kurt kembali curiga. Tidak boleh jika dia ingin berhasil menghadapi Edith. "Eh, aku..." Demi Tuhan, Lilo kembali ingin muntah memikirkan alasan yang tepat bagi tatapan Kurt yang tajam. Urgh! Tidak bisakah Kurt mencari kesibukan lain saja? menebar bibit di bedengnya mungkin? Atau pergi ke kota dengan pick up? "Kita mulai belajarnya saja, Lilo. Siapa tahu bisa mengalihkan rasa mualmu." Nyonya Clotilda muncul dengan buku-buku pelajaran, meletakkan tumpukan itu di meja tepat di depan Kurt. "Apa kau sudah mendapatkan berita dari Nona Edith?" Kurt beranjak dari depan Lilo dan memegang pinggangnya. "Hm, dia sedang dalam perjalanan kemari dari Frisburg." Tatapan Kurt menukik pada Lilo. "Kau yakin tak perlu memeriksakan diri ke dokter?" "Yakin 1000%." Lilo menjawab dengan memberikan jempolnya. Dia menggerakkan tangannya seakan mengusir Kurt. "Aku belajar dulu." Kurt mengedikkan bahunya dan berjalan menjauhi area belajar Lilo. Dia sempat melontarkan kalimat tanyanya pada Lilo. "Berapa usia kandunganmu, Lilo?" "Satu bulan!" Lilo menjawab dengan luwes, menunjukkan satu telunjuknya di udara pada Kurt yang menatapnya. "Baguslah kau masih ingat usia kandunganmu." Kurt bergumam pendek dan meninggalkan Lilo dan Nyonya Clotilda. Nyonya Clotilda menatap Lilo yang mengembuskan napas. "Kau muntah karena..." wanita itu mulai meragukan keadaan Lilo. Mungkinkah Lilo benar-benar hamil? Lilo menyeringai dan meraih kotak pensil yang dibawa oleh Nyonya Clotilda. "Kalau sedang tegang, aku suka mual dan muntah, Frau Clotilda. Lagipula aku juga mencoba untuk mual seperti ibu hamil karena Edith sejak di Berlin meragukan kehamilan mendadakku ini." "Kau tidak benar-benar hamil kan?" Lilo tertawa sambil memukul pelan lengan sang guru. "Memangnya siapa yang menghamiliku, Frau Clotilda, kalau selama ini 24 jam hidupku dibayangi men in black? Pup saja aku dijaga di depan pintu toilet." Nyonya Clotilda menghela napas dan menatap Lilo. "Pantas saja Edith dan Kurt tak percaya. Aku yakin ayahmu juga demikian." Lilo menunduk dan memainkan pensil di tangannya. "Papa tidak mau tahu dan tak mau mencari tahu. Dia mungkin berpikir mungkin saja aku hamil. Kapan papa mengikuti semua kegiatanku? Dia hanya menerima laporan setiap hari dari paman Niko tentang apa yang terjadi padaku sehari-hari." ia mengedikkan bahunya. "Jadi wajar saja dia mengasingkanku ketika tahu aku "hamil". Begitulah." Nyonya Clotilda tak mau mengungkit prihal kurangnya perhatian sang walikota terhadap putrinya. Dia membuka laptopnya dan masuk ke dalam jaringan internet, menuju web sekolah dan membuka jadwal hari itu. Ia menunjukkan pada Lilo jadwal mata pelajaran yang akan mereka pelajari hari itu dan senyum Lilo seakan memberinya jawaban bahwa kegundahan hati gadis itu sudah sirna, setidaknya untuk sementara. Edith muncul setengah jam kemudian, masuk ke dalam rumah yang ditempati lima orang yang terasing dari Berlin dan memeluk Lilo yang terlihat segar meski dia mendapati Lilo nyaris muntah ketika mengomentari aroma parfumnya. Edith merasa wajar saja jika Lilo mulai sangat sensitif dengan bebauan. "Kau baik-baik saja? Udaranya baik untukmu?" Edith duduk di sofa ruang tamu didampingi seorang bodyguard yang merupakan teman Kurt. Untuk menerima Edith, Kurt terpaksa mengenakan setelan rapinya sebagai bodyguard meski tidak serba berwarna hitam. Tapi kemejanya dan celana rapi cukup memberinya kesan sebagai bodyguard puteri walikota. Lilo memilih jawaban aman. "Udaranya segar." Dia merasa bahwa Edith menatapnya dengan lekat. Sedapat mungkin dia tak ingin Edith menjangkau perutnya. Kalaupun perut Lilo terlihat sedikit menonjol, itu dikarenakan lemak perutnya yang menandakan bahwa Lilo makan dengan baik dari hasil masakan Klaus. Edith tersenyum. "Bagaimana hasil dari pemeriksaan dokter?" ia kembali bertanya. "Aku harus melaporkannya pada walikota." Lilo tak tahu harus menjawab apa karena dia sama sekali tidak pergi ke dokter kandungan manapun di Gruyere. Edith terlihat menumpukan sebelah tungkainya ke tungkai lainnya. "Lilo?" "Kandungannya baik-baik saja." Kurtlah yang menggantikan Lilo untuk menjawab pertanyaan Edith. "Tidak ada masalah yang berarti." Lilo terdiam ketika mendengar Kurt berbohong demi dirinya, dia melirik Kurt yang berdiri di samping sofanya, tegas dan tak tergoyahkan. Wajah lelaki itu sama sekali tak beriak dan menjawab dengan tenang. Edith menatap Kurt yang memang sedang menatapnya. "Apakah aku bisa melihat catatan medisnya? Bukankah aku harus mengirim salinannya pada walikota?" "Tidakkah itu sama saja meninggalkan jejak bagi pemburu berita? Bukankah tujuan Lilo di sini demi tak terjangkau oleh para paparazzi? Rekaman atau salinan dokumen tentang kehamilan Lilo bisa menjadi sarana terbukanya rahasia keberadaannya." Edith melupakan tujuan Lilo berada jauh dari jangkauan media massa di Berlin. Walikota tak meminta catatan apapun tentang perkembangan "kehamilan" Lilo melainkan itu keinginan Edith sendiri untuk mencari kebenaran keadaan Lilo. Nyaris saja dia meninggalkan jejak keberadaan Lilo sementara sang walikota berpesan agar keberadaan Lilo harus disembunyikan selama setahun karena tahun ini adalah tahun di mana sang walikota membutuhkan dukungan masyarakat dan partai untuk pencalonan dirinya sebagai gubernur. Edith mengacungkan jempol akan pikiran jangka panjang Kurt. "Kau benar." ia beralih pada Lilo. "Jadi, bisakah kau mengucapkan salam saja pada Ibumu? Dia ingin melihatmu." "Mengapa Papa tidak menelponku sebelum menyuruhmu datang kemari?" Lilo mengabaikan kalimat Edith. "Tidakkah dia memiliki waktu setidaknya menanyai kabarku sebelum dia tidur?" Edith terdiam, bahkan Kurt dan teman bodyguardnya juga terpaku. Lilo mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Aku penasaran bagaimana bunyi nada dering poliponiknya ketika seseorang menelponku." Lilo menggoyangkan ponsel tuanya dan tertawa ceria. Kurt mengencangkan rahangnya dan mengepalkan kedua tinjunya di sisi tubuhnya saat mendengar kalimat Lilo. Edith tampak memejamkan matanya sejenak. Perlahan, wanita itu menggenggam tangan Lilo. "Ayahmu sibuk, Lilo. Dia menyiapkan banyak hal untuk pencalonan sebagai gubernur. Saingannya cukup gigih." Lilo menatap wajah Edith yang terlihat begitu kesulitan ketika memberinya penjelasan. Perlahan, dia memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Ya, aku tahu. " Untuk menyembunyikan rasa sedihnya, Lilo memutuskan untuk bersandiwara tentang mual yang dirasakannya. Edith memeluk Lilo dan menepuk pelan punggung gadis itu. "Aku akan kembali ke Berlin sekarang. Maafkan aku tak bisa lama." ia merangkum wajah Lilo. "Kau mual? Sepertinya kehamilan ini berat untukmu, sayang." Lilo menutup mulutnya dan mengangguk. Ketika Edith berbalik, Lilo tak tahan untuk tak tersenyum. Sandiwaranya berhasil dan sama sekali tidak menyangka bahwa Kurt melihat senyum penuh kepuasan Lilo. Senyum Lilo mematahkan keyakinan baru Kurt yang mengira Lilo sungguh-sungguh hamil. Sudah jelas, Lilo berpura-pura. Kurt akan membongkar hal itu pada Lilo setelah Edith berlalu. Edith berbicara pelan pada Kurt. "Jaga Lilo, Kurt." Ia menatap Kurt yang diam saja. "Walikota butuh ruang bersih di Berlin. Publik tahu bahwa Lilo sedang belajar ke luar negeri. Bahkan Frau Dommer juga meyakini hal itu." "Apakah semenitpun walikota tak ingin menghubungi Lilo?" Kurt justru melontarkan pertanyaan pada Edith. Edith memasang kacamata hitamnya. "Tak ada yang aman, Kurt. Bahkan jaringan teleponmupun bisa disadap. Setiap kompetisi selalu mencari kelemahan lawan. Kau mengerti maksudku kan?" Kurt menghela napas dan mengangguk. "Hati-hati dalam perjalanan." Edith menepuk pelan tangan Kurt. "Lilo kuserahkan padamu." dia menuruni tangga dan memasuki mobil yang akan membawanya menuruni jalanan bukit menuju kota dan kembali ke Berlin. Kurt memasuki rumah dan melihat Lilo yang duduk sendirian di ruang tamu, menunduk dan memainkan ponsel poliponiknya yang diam. Rambut pirang gadis itu menjuntai ke dua bahu, tangannya yang putih sibuk memindahkan ponsel tersebut dari tangan satu ke tangan lainnya. Kurt mengeluarkan ponselnya, mencari nama Lilo di layar sentuhnya. Sambil menatap Lilo, ia menghubungi ponsel gadis itu. Dilihatnya Lilo tersentak kaget ketika mendengar nada poliponik yang melengking memenuhi ruang tamu. Sebelum Lilo melihatnya, Kurt bersembunyi ke balik pintu. Lilo melihat nama Kurt di layar monokromnya, menoleh ke kiri kanan dan tak menemukan keberadaan lelaki itu. Suara dering yang menusuk telinga itu mengumandang ke sepenjuru rumah hingga Lilo segera menerima panggilan Kurt. "Halo. Kau di mana?" "Bagaimana?" – Kurt Alis Lilo berkerut. "Bagaimana apanya?" "Mendengar dering poliponik ponselmu." – Kurt. Lilo berdiri dari duduknya, dia mendengar suara Kurt dari balik pintu luar. "Kau ada di rumah kan? Mengapa repot-repot menelponku?" "Kau menginginkan ayahmu menelponmu kan?Maka aku akan menggantikannya agar kau bisa menikmati rasanya menerima telepon di ponselmu." – Kurt. Lilo berdiri tepat di depan Kurt yang masih menempelkan ponsel di telinga. Mereka saling berpandangan dan Lilo tertawa kecil, tak sanggup menahan linangan airmatanya. Ia mematikan hubungan mereka hingga Kurt mendengar suara tut tut tut di ponselnya. "Mengapa dimatikan? Percakapan belum selesai." Kurt protes. Lilo meraih ujung kemeja Kurt, menggenggam bagian itu dengan erat. Lelaki itu tahu bahwa dia merindukan ayahnya. Hanya Lilo sendiri yang merasa rindu pada sang ayah. Ia menunduk dan menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Terima kasih." Kurt menatap kepala Lilo yang menunduk, demikian pula genggaman erat tangan gadis itu pada ujung kemejanya. Dia bisa merasakan kesedihan Lilo dan kerinduan gadis itu pada sang ayah. Dia menggerakkan tangannya, menarik kepala gadis itu ke dadanya. Lilo terkejut saat merasakan pipinya berada di d**a bidang Kurt. Tangan lelaki itu berada di kepalanya, dan rasa hangat telapak tangannya tersampaikan pada Lilo. Lilo semakin erat mencengkram ujung kemeja Kurt dan memejamkan matanya, membiarkan dirinya bersandar di d**a Kurt yang penuh perlindungan. "Apa kau ingat janji pertemanan antara kita, Lilo?" Suara Kurt terdengar di atas kepala Lilo. Lilo membuka matanya, mendongak pada Kurt yang tengah menunduk. Wajah lelaki itu tepat di atas wajah melongo Lilo. "Tak ada kebohongan antar teman?" Kurt mengingatkan Lilo. "Aku ingat." Lilo menjawab lirih. Kurt sama sekali tidak melepaskan Lilo dari sisinya. Tangannya masih berada di sela rambut pirang gadis itu ketika dia berbicara pelan dan lambat. "Katakan sejujurnya padaku. Kau tidak sedang hamil kan?" Lilo membelalakkan matanya dan berusaha mendorong Kurt. Tapi lelaki itu tetap bertahan pada kedudukan kakinya. Sulit bagi Lilo menyingkirkan Kurt yang sudah banyak menerima berbagai latihan sebagai bodyguard. Tangan Kurt memegang lengan Lilo dan menarik tubuh gadis itu agar tak menjauh darinya. "Lepaskan!" Lilo panik. Edith mungkin belum terlalu jauh dari Gruyere. Jika Kurt sudah menebak tentang kebohongan Lilo, maka akan mudah bagi lelaki itu untuk membawa Lilo kembali ke Berlin, kembali pada kehidupan menyeramkannya yang selalu diikuti paparazzi dan belasan bodyguard. Kurt merasakan Lilo yang berontak. Ia mengentak tubuh Lilo tepat ke dadanya, memaksa gadis itu untuk menatapnya. "Kau harus jujur padaku, Lilo. Kau tidak sedang hamil." Lilo mengatupkan bibirnya erat-erat, bertahan pada keputusannya untuk tidak berkata jujur pada Kurt. Lilo terkenal keras kepala dan Kurt tahu itu. Maka dengan mendekap Lilo, Kurt berkata rendah. "Katakan sejujurnya padaku agar aku bisa melindungimu." Lilo terpana mendengar kalimat Kurt. Wajah Kurt tampak dekat dengan wajahnya, lelaki itu merendahkan tubuhnya dan dengan erat mendekap Lilo. "Apa maksudmu?" "Aku tahu kau tidak hamil. Kau tinggal menjawab ya padaku. Maka aku akan melindungimu. Dan itu sudah kulakukan barusan di hadapan Edith." Untuk satu alasan yang tak dimengerti Kurt, ia semakin erat mendekap Lilo. Lilo, di satu sisi, melihat sinar mata penuh kesungguhan pada sepasang mata hijau milik Kurt. Ia tahu Kurt menutupi kebohongannya di depan Edith prihal pemeriksaan ke dokter. Ia tahu lelaki itu mempertaruhkan pekerjaannya dengan berbohong demi melindungi Lilo. Dan kini, Kurt meminta jawaban pasti dari Lilo meski lelaki itu sudah memiliki jawabannya sendiri. Haruskah Lilo berkata jujur pada lelaki yang bahkan telah melakukan hal konyol dengan menelponnya menggantikan sang ayah? Apakah Kurt akan mengembalikan Lilo ke Berlin jika Lilo mengakui kebohongannya? Dan mengapa Lilo merasa sangat nyaman berada di dekapan Kurt? Apakah lelaki ini yang telah membawanya ke kamar tadi malam ketika dia tertidur di ruang tengah? Apakah Kurt akan benar-benar melindungi Lilo meski Lilo mengakui segalanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN