SIEBIEN (TUJUH)

2815 Kata
Jejeran toko-toko kecil nan cantik berada di sepanjang jalanan kota kecil Gruyere, air mancur yang dikelilingi bunga berada di tengah kota dan para turis yang berjalan kaki membuat Lilo berlarian kecil menyusuri tepian jalan. Melihat kafe-kafe terbuka serta pengunjungnya yang menikmati secangkir kopi maupun kue-kue manis yang menggugah air liur. Ia melepaskan pegangan ujung jaket Kurt dan menunjuk salah satu toko kue yang menjual berbagai macam kue dengan rasa keju Gruyere. "Aku ingin ke sana!" Lilo menunjuk toko kue tersebut ketika Kurt terus berjalan ke arah grocery yang berada tak jauh dari deretah toko kue itu. Kurt menatap sekilas toko kue tersebut tanpa menghentikan langkahnya ke tempat tujuan. "Aku harus membeli bahan makanan dulu." Tangannya menjangkau siku Lilo dan menarik gadis itu agar tetap berjalan di sampingnya. "Nanti kue yang kusukai dibeli orang." Lilo menatap Kurt yang menatap lurus. "Berikan saja aku selembar uang dan aku akan menyusulmu." Kurt menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya dan menyentil dahi Lilo dengan wajah datar. "Aw!" Lilo berseru kaget seraya mengusap dahinya. "Jahat sekali!" Kurt menunduk dan berkata rendah. "Tidak boleh pergi tanpaku. Titik. Kau sudah janji padaku." "Janji apa?" "Tak akan kabur dariku. Dan berada di sisiku." Kurt memperingatkan Lilo. "Bantu aku memilih semua pesanan Klaus." Dan Kurt kembali melanjutkan langkahnya. Ia menoleh Lilo melalui bahunya. "Nanti kukasih uang untuk membeli kue dan ice cream yang kau mau." Rasanya lucu, putri seseorang yang amat penting di Berlin meminta uang pada Kurt, yang merupakan bodyguard dan bawahan ayah Lilo. Tapi Kurt cukup menikmati kekuasaannya pada Lilo dalam hal uang. Dalam hati Kurt tertawa. Lilo masih mengusap dahinya dan melangkah patuh di sebelah Kurt. "Kau senang ya memegang keuangan secara penuh?" dia melihat senyum kecil tersungging di wajah Kurt. Lelaki itu mendorong pintu kaca grocery. "Tentu saja." Kurt menjawab Lilo dengan anteng, melangkah masuk ke dalam grocery store. Grocery store yang dimasuki Kurt dan Lilo merupakan toko bahan pangan terlengkap yang ada di Gruyere. Toko itu luas dan tidak banyak pengunjung. Sepertinya apa yang dibutuhkan Klaus ada di sana semua. Sayur-sayurnya terlihat segar demikian juga dengan buah-buahan serta rempah-rempahnya. Lilo terlihat takjub melihat semua barang-barang itu hingga ketika Kurt memberinya keranjang jinjing, dengan antusias Lilo menerima benda itu. "Apa saja yang akan kita beli?" Kurt membaca daftar pesanan Klaus. "Bombay, paprika, oregano, rosemary, daun mint, salada, peterseli, pasta, tarragon..." sambil membaca, Kurt memasukkan beberapa bahan yang berhasil ditemukannya. Dia juga memasukkan pasta dan makaroni ke dalam keranjangnya, melempar beberapa lainnya ke dalam keranjang milik Lilo seraya mengenalkan nama-nama bahan tersebut. "Banyak juga ya?" Lilo melihat Kurt memasukkan bungkusan ham dan potongan ayam, menambah tomat dan benda-benda lainnya yang asing bagi Lilo. Selama ini Lilo hanya memakan apa yang terhidang di meja makan sehingga tak pernah tahu bahwa satu menu membutuhkan berbagai macam bahan dan bumbu. Dan sepertinya Kurt mengenal semua barang-barang asing itu. "Ini cukup untuk sebulan." Kurt menjawab Lilo. "Belum lagi rencanaku untuk bercocok tanam." Ia mendapati sinar mata bertanya Lilo. "Ada apa?" Lilo tertawa. "Kau tahu semua nama barang-barang ini. Kau suka masak?" Kurt meraih keranjang yang dipegang Lilo karena benda itu terlihat penuh, dia tak ingin Lilo merasa lelah membawa keranjang yang penuh isinya. "Sejak usia 20 tahun aku sudah tinggal sendiri di Berlin." Ia meletakkan dua keranjang penuh itu di meja kasir, mengeluarkan dompetnya. "Di mana tempat yang menjual bibit sayuran dan buah?" "Di sini ada, herr. Di rak bagian belakang." sang kasir menjawab Kurt dengan ramah. Kurt menoleh Lilo dan berkata bahwa dia akan memilih bibit sayuran. "Tunggu saja di sini. Dia sedang menghitung belanjaan kita." "Aku ikut." Lilo menarik ujung jaket Kurt. Dia menyeringai. "Nanti aku kabur. Kakiku gatal untuk berlari pergi jika ada kesempatan." Kurt menghela napas. "Baiklah." Dia berjalan dan menoleh Lilo. "Lepaskan jaketku, nanti bahannya kendor karena terus-terusan kau tarik." Lilo menunduk dan tertawa melihat betapa eratnya dia menggenggam ujung jaket Kurt yang terbuat dari bahan lembut. Bagi Lilo, Kurt adalah pegangan eratnya di tempat asing hingga dia takut ditinggalkan oleh Kurt. Lagipula, rasanya sudah sangat lama dia tidak pernah berjalan berpegangan dengan siapa-siapa mengingat selama ini mama selalu sibuk apalagi papa. Lilo lebih sering bepergiaan sendiri dengan pinkie yang dijaga ketat oleh Alois dan yang lainnya. "Terus, apa yang akan kupegang?" Lilo bertanya polos. "Biasanya aku memegang tangan mama tapi sudah tidak lagi sejak dia menjadi begitu sibuk." Kurt menatap Lilo yang mengalihkan perhatian pada satu rak penuh berisi kentang. Gadis itu memainkan satu buah kentang di tangannya dan dengan halus, Kurt meraih tangan Lilo, menuntun tangan berkulit putih itu untuk berada di mana awalnya berada. Di ujung jaketnya. "Pegang saja lagi ujung jaketku." Tanpa menatap wajah Lilo, Kurt kembali melangkah, merasakan genggaman erat Lilo pada ujung jaketnya. Terlalu banyak rasa kesepian yang dirasakan Lilo hingga Kurt bisa merasakannya dengan jelas. Sehabis membeli semua pesanan Klaus, Kurt dan Lilo beralih pada toko alat-alat rumah tangga di mana mereka memenuhi pesanan Nyonya Hedy terkait urusan rumah tangga. Bahkan Lilo bisa bermain dengan kemoceng yang sudah persis seperti janggut panjang berwarna pink di salah satu lorong. Kurt besyukur bahwa kendaraan yang dimiliki mereka adalah pick up hingga semua pesanan dapat diletakkan di bak belakang. Tak hanya kepentingan kebersihan rumah, Kurt membeli cangkul, sekop dan benda-benda yang berhubungan dengan bercocok tanam. "Kau serius mau berkebun?" Lilo membelalakkan matanya. Tanpa sadar matanya menatap lengan kanan Kurt yang diingatnya bertato dan dia menyeringai. "Masa sih?" "Kenapa kau tertawa? Kau jelek." Kurt bergumam. "Aneh. Kau kan macho dengan tato wanita bertanduk, kau juga katanya jago bertinju, tapi kau mau berkebun." Lilo menggerakkan tangannya seakan menggambarkan sosok Kurt. "Aku suka tanaman." Kurt menjawab masa bodoh. "Apanya yang aneh?" "Berkebunkan kegiatan perempuan." Lilo terkekeh. Kurt mendelik pada Lilo. " Biasanya tangan lelaki lebih ampuh merawat tanaman." Lilo tersenyum dan menatap tangan Kurt yang besar. "Tangan yang penuh perlindungan ya?" ia membalas tatapan Kurt. "Jika kau suka merawat tanaman, bukankah artinya hatimu baik?" Kurt terdiam. Lilo terdengar serius berbicara hingga dia meletakkan kertas yang isinya pesanan Nyonya Clotilda di tangan Lilo. "Carilah semua pesanan Nyonya Clotilda. Aku tidak tahu barang-barang perempuan." Ia membalikkan tubuhnya. "Kau mau ke mana?" seru Lilo. "Aku menunggu di luar. Merokok." Kurt melambai dan seakan teringat sesuatu, dia membuka dompetnya dan mengeluarkan lembaran Euro pada Lilo. "Bayarlah pakai itu dan setelahnya kau bisa membeli ice cream dan kue yang kau inginkan." Lilo menatap uang di tangannya. Kurt terlihat akan bergerak pergi. "Kau akan menungguku?" "Iya." "Jika aku lama?" "Aku akan mencarimu." Kurt menjawab ringkas. "Jika aku tersesat?" Lilo tersenyum kecil. Kurt menatap Lilo. "Aku pasti menemukanmu." Lilo melebarkan senyumnya. "Baiklah. Aku akan membeli dua ice cream. Satu untukmu. Mau rasa apa?" Percakapan apa ini? pikir Kurt. Ia dan Lilo selalu terlibat percakapan remeh yang tak penting namun anehnya sepertinya mereka cukup menikmati. "Rasa cokelat." Ia berbalik, meninggalkan Lilo di dalam toko dan memutuskan untuk merokok di pick up. Lilo tidak bermaksud berlama-lama setelah membeli kue yang diinginkannya di toko kue yang dimaksudnya. Tetapi berada di kota kecil Gruyere dengan semua toko-toko kecil yang indah serta pemilik-pemiliknya yang ramah, membuat Lilo berjalan menyusuri sepanjang tepian jalan itu hanya sekedar untuk melihat-lihat. Ia memerhatikan bagaimana seorang penjual menyajikan kopi hangat kepada pelanggan, tersenyum saat salah satu penjual bunga menyapanya. Sosok Lilo yang manis dan muda, bersama wajah cantiknya yang asing, membuat beberapa penjual tertarik untuk menegurnya serta menawarkannya kue-kue mereka. Lilo menggeleng dan berkata ia ingin membeli ice cream. Dan satu dari penjual itu memberi tahu kios ice cream yang sangat laris karena pilihan rasanya yang beragam. "Danke." Lilo tertawa dan kembali berjalan ke arah kios yang dimaksud. Langkah kakinya ringan dan sepanjang perjalanan, dia tersenyum-senyum senang pada siapa saja yang menatapnya. Para turis yang ditemuinya membalas senyumnya dan para penjual selalu menyapanya dengan riang. Kios ice cream itu dikelilingi beberapa pembeli yang kebanyakan anak-anak yang bermacam-macam warna kulit, rambut dan bahasa. Lilo seperti menemukan banyak orang dari berbagai negara di kota kecil itu. Ia membeli dua ice cream dengan dua rasa dan toping berbeda. Wanita penjual ice cream itu tersenyum pada Lilo. "Apakah kau turis baru?" Lilo mengangguk saat menerima ice creamnya. "Ya. Aku baru tiba beberapa jam lalu." Sang penjual memberi satu lagi ice cream pesanan Lilo. "Selamat datang di Gruyere. Semoga kau menikmati kota ini." "Terima kasih." Lilo membalas kata-kata itu dengan tersenyum lebar. Tak ada satu orangpun yang mengenalnya. Ia senang dan bahagia mendapatkan sapaan dan senyum tulus dari orang-orang yang ditemuinya. Tak ada kamera paparazzi yang membuatnya harus berhati-hati dalam bersikap. Bebas dan senang membuat Lilo berlarian kecil di Gruyere yang menyenangkan. Karena kau takkan melihat mobil berseliweran di jalanan kotanya. Semua orang berjalan kaki, menikmati suasana kota dan pemandangan puncak-puncak gunung di latar belakang. Udara segar dan aromanya wangi dari segala bebauan makanan dan minuman kopi. Lilo ingin selamanya ada di kota itu. "Apakah kau ingin setangkai bunga, Fräulein?" seorang gadis muda mengangsurkan setangkai bunga daisy putih yang cantik pada Lilo. Lilo yang sedang menggengam dua ice cream dan satu kantong kue di lengannya, tersenyum kecil dan menggeleng. "Terima kasih, tapi uangku tidak cukup." Nasib Lilo yang tak memiliki uang selain uang yang diberikan Kurt, dan sayangnya, uang itu hanya tinggal recehan. Ia ingin sekali membeli bunga yang cantik itu dan hanya bisa menolak dengan wajah menyedihkan. Gadis penjual itu tersenyum dan memutari dagangannya. Ia berkata dengan riang pada Lilo. "Aku akan memberimu daisy ini, Fräulein." Ia menjulurkan tangan ke arah rambut Lilo yang secara otomatis, Lilo merendahkan diri. Gadis penjual itu lebih rendah dari tubuh Lilo. Bunga daisy putih itu terselip di balik telinga Lilo. Warnanya yang putih bersih dan bentuk bunganya yang kecil tampak amat pas dengan rambut pirang dan kulit Lilo yang putih. Gadis itu tersenyum puas. "Cantik sekali, Fräulein." "Terima kasih." Lilo meraba daisy yang terselip di telinganya. Dia bertekad akan kembali lagi besok untuk membeli bunga-bunga gadis itu. Gadis itu berkata halus. "Polos, murni, suci, setia, lembut, dan sederhana. Itu adalah makna dari bunga daisy dan kau cocok dengan makna itu, Fräulein." Ia menepuk pelan punggung tangan Lilo. "Selamat datang di Gruyere." Dua batang rokok sudah dihabiskan Kurt di pick upnya namun Lilo masih belum muncul dari kegiatannya membeli ice cream dan kue. Matahari semakin condong dan udara mulai menanjak dingin. Ia melirik arlojinya dan melempar bungkus rokoknya di jok mobil dan mulai cemas. Lilo lebih lama dari perkiraan, sementara semakin sinar matahari condong, para turis semakin ramai memenuhi Gruyere. Kurt meninggalkan pick up, berjalan cepat menyusuri jalanan Gruyere. Pikirannya berkecamuk demi memikirkan ke mana adanya Lilo di kota kecil yang asing itu. Tiap toko kue dimasukinya, kafe-kafe terbuka dilewatinya, namun Lilo tak ada di antara keramaian itu. Kurt mulai cemas dan mempercepat langkah kakinya. Lilo! Di mana kau? Lilo tak ditempeli kamera pelacak dan tempat itu asing bagi mereka. Kurt melewati turis-turis yang memenuhi tepian jalan, tubuh jangkungnya menyela di antara orang-orang itu dan sepasang matanya mencari sosok Lilo. Jantung Kurt berdebar tegang. Jika Lilo ingin menguji kemampuan Kurt dalam menemukan gadis itu, maka Lilo berhasil membuat Kurt begitu cemas. Langkah Kurt terhenti di pertengahan jalan, matanya terpaku pada Lilo yang terlihat sedang berbincang pada seorang gadis penjual bunga. Di kedua tangan Lilo terdapat dua buah ice cream dan gadis itu tertawa riang pada gadis penjual bunga itu. Seketika rasa lega membanjiri hati Kurt. Jelas Lilo hanya menikmati kebebasan yang selama ini tak pernah dirasakan gadis itu. Kurt cemas jika Lilo menghilang atau ditemukan oleh satu dari orang yang mengenali gadis itu di Berlin. Perlahan, Kurt berjalan mendekati Lilo. Sekuntum daisy terlihat menghiasi telinga Lilo dan Kurt hanya berdiri tepat di belakang Lilo ketika gadis itu berbalik dengan kaget. "Oh, kenapa kau ada di sini?" Lilo bertanya heran pada Kurt yang menjulang. Lelaki itu menatapnya dengan lekat. "Kau lebih lama dari seharusnya." Kurt menjawab pendek, melirik gadis penjual bunga yang tersenyum padanya. Lilo menoleh sang gadis dan tertawa. "Aku berbincang dengan Gruda. Ia memiliki ladang bunga yang indah di sana." telunjuk Lilo mengarah ke arah kanan, pada bukit hijau di kejauhan. "Dan dia memberiku ini." Lilo menunjuk daisy yang terselip di telinganya. "Cantikkah?" Kurt menatap bunga daisy kecil yang menghiasi telinga Lilo. Lilo tampak cantik bersama kepolosannya yang bersanding dengan makna dari daisy itu sendiri. Tapi Kurt jarang memuji siapapun. Ia tak pernah berurusan dengan perempuan selain ibu dan adiknya di Munchen. Tapi Lilo pantas untuk mendapatkan pujian Kurt. Bukan karena bunganya, tapi karena senyumnya yang demikian lebar dan bahagia. "Cantik." "Bunganya? Sayangnya aku tidak punya uang untuk membeli banyak." Lilo tertawa kecil dan meraba daisy di telinganya. Kurt melihat harga yang tertera di pot yang berada sekumpulan daisy. Hanya 20 cen Euro. Sepertinya Lilo sudah kehabisan uang dan dia menjangkau pot daisy itu. "Ya, bunga yang cantik." Ia merogoh sakunya, meletakkan uang logam 1 euro pada gadis penjual bunga. "Aku ambil satu pot daisy." Kurt mengambil pot berisikan bunga daisy. Gadis penjual itu terkejut ketika melihat logam 1 Euro di depannya. "Aku tak ada kembalian, herr." Kurt menggelengkan kepalanya. "Ambil saja sisanya untukmu." kemudian dia memandang Lilo. "Untukmu." Lilo melongo. Ia tak menyangka bahwa Kurt akan membelikannya satu pot berisakan bunga-bunga daisy yang mekar indah. "Bukankah harusnya kau marah padaku?" Alis Kurt melengkung heran. "Mengapa harus marah padamu?" "Kau mencariku yang artinya aku sudah melewati batas tunggumu." Kurt tidak marah pada Lilo, dia lebih pada rasa cemas karena gadis itu berada jauh dari pengawasannya. Lilo adalah tanggung jawabnya dan Kurt ingin melindungi Lilo dari ancaman apapun. Jika terjadi sesuatu pada gadis itu, Kurt akan menyalahkan dirinya sendiri. "Sudah kukatakan aku pasti akan menemukanmu dengan atau tanpa kamera pelacak." Kurt mengulurkan tangannya, meraih satu dari ice cream itu yang jelas-jelas rasa cokelat dengan toping batangan cokelat lainnya. "Ini untukku kan?" Lilo memberikan ice cream bagian Kurt dan menerima pot kecil bunga daisy ke pelukannya. Tak hanya itu, Kurt mengambil tas berisikan kue yang tergantung di lengan Lilo. Lilo melambai pada gadis penjual bunga dan berjanji padanya akan mendatangi ladang bunga milik keluarga gadis tersebut. "Dengan siapa kau pergi ke sana?" tanya Kurt. "Tentu denganmu. Siapa lagi?" "Memangnya aku mau menemanimu?" Kurt menjawab dengan senyum kecil. Dia menikmati ice cream di tangannya. Lilo menggembungkan pipinya. "Tentu saja!" Kurt menatap langit kemerahan. "Kau bisa menaman bunga di halaman samping rumah." Lilo membelalakkan matanya. "Apa?" "Aku akan mengajakmu menanam bunga." Kurt menatap Lilo. Ia mundur ke dekat gadis itu yang sibuk menjilati ice cream. "Berikan aku pot bungamu." Kurt memasukkan lubang kantong kue ke lengannya dan meraih pot bunga Lilo. "Biar aku saja yang memegangnya." "Pegang ujung jaketku. Nanti kau cecer." Kurt menghabiskan ice creamnya dan hanya memegang pot daisy saja. Lilo menunduk, menatap ujung jaket Kurt. Dengan tangannya yang lain, dia menggenggam ujung jaket Kurt. Ia mendekati Kurt dan mendongak pada lelaki itu. "Maaf. Aku takkan lagi berjalan sendirian tanpamu." Lilo menatap Kurt dan berkata dengan sungguh - sungguh. Genggaman tangannya semakin erat pada ujung jaket lelaki itu. Kurt mengalihkan tatapannya dan melanjutkan langkahnya. "Bagus." ia berguman lirih. Lilo berada di sampingnya, berjalan lambat dan ia mengimbangi langkah gadis itu, mendengar celoteh Lilo hingga mencapai pick up mereka. Sesampai di rumah, seluruh barang mereka sudah tiba dari pengiriman bandara. Lilo senang bahwa kopernya sudah ada dan akan bersiap membuka laptopnya, menonton musik video BTS sambil menunggu makan malam. Ia melihat banyaknya pot-pot bunga dan tanaman hijau berjejer di ruang tamu dan di meja ruang tengah. "Kau membawa bunga-bunga di bagasi pesawat?" Lilo bertanya pada Nyonya Hedy yang sudah memasang sarung tangan, bersiap membersihkan sudut rumah yang berdebu. Nyonya Hedy menatap Lilo dengan wajah nyaris tertawa. "Itu bukan punyaku." Lilo memerhatikan jejeran pot cantik yang dilengkapi gambar  mata dan mulut di bagian depannya. Belum lagi beberapa bunga kuncup yang dipercaya Lilo akan mekar indah saat pagi hari. Bunga lainnya terlihat mekar indah di dalam pot-pot lucu lainnya. "Apakah ini punya Nyonya Clotilda?" "Bukan punyaku! Aku bahkan tak sanggup membuat bungaku sebaik bunga-bunga itu." Nyonya Clotilda keluar dari kamarnya dengan membawa beberapa buku yang akan diajarkannya pada Lilo besok. "Lalu, bunga-bunga ini milik siapa? Kurasa pasti bukan milik Klaus dan Kurt... " "Itu bunga-bunga punyaku." Lilo menoleh dan mendapati Kurt yang bersandar di konter dapur dengan mangkuk sereal di tangan. Ia mendengar tawa kecil Klaus yang sedang mengeluarkan bahan makanan dari kantong belanjaan. "Punyamu? Semua bunga yang cantik ini? Kau menanamnya?" "Merawatnya, tepatnya." Kurt meletakkan mangkuk di meja makan, berjalan ke arah Lilo dan menyentuh salah satu kelopak bunga. "Ini hobiku." Lilo menatap Kurt dengan takjub. Lelaki ketus yang nyaris tak mau tersenyum itu ternyata memiliki hobi unik. Dia meletakkan pot bunga daisynya berdampingan dengan pot-pot bunga milik Kurt. "Apakah potku akan mempunyai mata dan mulut?" Kurt menoleh Lilo. "Aku akan menggambarnya untukmu." "Aku boleh membantumu menyusun semua pot ini?" Kurt menatap wajah ceria Lilo. "Tentu saja." Lilo tersenyum lebar. "Kalau begitu aku boleh menyetel lagu BTS sekeras mungkin sambil menunggu makan malam siap?" Kurt memutar bola matanya, mengibaskan tangan di udara. "Terserah kau lah." dan tawa Klaus membahana di sela dia mengupas bawang bombay. Mau tak mau Kurt tersenyum kecil melihat Lilo yang melompat girang berlari memasuki kamar. Oke, gadis itu lupa kalau dia sedang "hamil" pikir Kurt masam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN