SECHS (ENAM)

2761 Kata
Kurt memutar anak kunci dan membuka lebar pintu rumah yang akan mereka tempati. Angin berembus dari arah dalam dan Kurt meminta agar Lilo dan tiga orang lainnya menunggu sejenak. Dia masuk terlebih dahulu untuk memeriksa rumah tersebut. Itu adalah rumah khas pedesaan dengan dinding batu, lantai kayu serta perapian besar di ruang tengah. Seperangkat sofa empuk menyambut pandangan Kurt bersama jendela-jendela besar yang tertutup. Langkah kaki Kurt memasuki ruang demi ruang yang luas dan rapi. Ruang makan dengan meja kayu panjang bersama kursi-kursi kayunya, rak-rak menempel serta dapur modern yang lengkap dengan semua alat-alatnya. Rumah itu dikelilingi jendela-jendela lebar serta langit-langit yang tinggi. Aroma khas pedesaan demikian kental di dalam rumah tersebut. Hangat dan kekeluargaan. Untuk ukuran sebagai rumah sewaan untuk turis, Kurt menganggap rumah itu sangat sempurna. Dia harus memeriksa kamar-kamarnya. Cahaya terang menembus ruang makan yang akan dilewati Kurt, membuat lelaki itu memutar tubuh dan melongo mendapati Lilo membuka salah satu jendela. "Aku belum selesai memeriksa rumah ini!" Kurt menegur cepat. Dia harus memeriksa segalanya, memastikan isi rumah itu aman sebelum Lilo masuk. Lilo membuka lebar jendela itu dan menunjuk pemandangan di luar sana. Bukit-bukit hijau yang dihiasi rumah-rumah penduduk serta beberapa peternakan sapi. Halaman rumah mereka juga amat luas hingga senyum Lilo sangat lebar ketika menoleh Kurt. "Ini persis seperti di dalam lukisan!" Lilo berkata riang, menggerakkan telunjuknya. "Dari sini aku bisa melihat pusat kota Gruyere." Mereka memang berada di desa terdekat hingga disebut sebagai desa Gruyere, yang berjarak hanya lima belas menit dari pusat kota Gruyere, yang merupakan kota kecil di kanton Frisbourg di Swiss. Kurt menghela napas dan berkata pelan pada Lilo. "Aku belum selesai memeriksa rumah ini, Lilo." "Untuk apa? Tak ada yang perlu dikhawatirkan kan?" Lilo menatap Kurt. "Bahkan rumah ini bebas dari kamera pengawas." Kurt membenarkan kalimat Lilo. Sejak pertama dia masuk ke rumah itu, tiap sudutnya bebas dari kamera pengawas dan tak ada pemilik sewa yang menanti mereka. Kurt sudah mendapatkan kunci rumah itu dari Nikolaus begitu saja. Tidakkah sedikit aneh? Nikolaus menemukan rumah itu dalam kurun waktu sebelum 24 jam, dan kondisi rumah sewaan itu amat rapi tanpa induk semang. Berturut-turut Klaus, Nyonya Hedy dan Nyonya Clotilda memasuki rumah. Mereka berseru kagum akan setiap ruang dan sudut, memuji dapur yang akan menjadi hak paten Klaus serta semua perabotan yang akan dikuasai Nyonya Hedy. Bahkan Nyonya Clotilda sudah menemukan bagian rumah yang tepat bagi ruang belajar Lilo. Jendela-jendela terbuka lebar, membawa sinar matahari sore memasuki rumah. Udara sejuk khas Swiss terasa segar menyentuh kulit hingga Kurt mau tak mau mengangguk pada Lilo. "Ya, tak ada kamera pengawas." Kurt melihat Klaus membuka pintu bagian dapur dan bertepuk tangan dengan puas. "Wah, kita memiliki halaman yang luas di bagian belakang." Klaus berkata penuh semangat pada Kurt. "Kita mungkin bisa membuat beberapa bangku di belakang." Kurt melongok dari belakang Klaus. Matanya menemukan tanah luas sepanjang bukit tersebut. Dalam satu kali penilaian, dia bisa melihat tanah subur yang dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Ia menekan dinding rumah dan memandang Klaus. "Bagian bangku sepertinya cocok di samping saja. Di belakang ini lebih baik dimanfaatkan untuk hal lain." Klaus mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu?" ia mendapati Kurt berjalan keluar dari pintu dapur, menginjak tanah berumput yang lembab dan melihat lelaki itu berjongkok, meraup segenggam tanah. Kurt merasai tekstur tanah dan tertawa senang. Kini Klaus sudah ikut berdiri di sampingnya. "Kau tahu apa yang ada di pikiranku?" ia memandang Klaus yang mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku takkan tahu jika kau tak membicarakannya." Kurt mengembalikan tanah yang barusan diambilnya dan berdiri dari jongkoknya. "Besok pagi aku akan menggemburkan tanah ini, membuat beberapa bedeng untuk bibit sayuran dan buah." Kurt menatap pemandangan di bawah bukit, menyaksikan betapa tenangnya tempat yang akan mereka tempati. "Kau berniat berkebun?" Klaus bertanya nyaris tak percaya. Kurt membuka jaketnya. "Aku akan memilih bibit sayuran yang cepat panen di kota. Setidaknya kau bisa memetiknya dalam waktu 2 bulan. Tapi untuk malam ini, kita akan berbelanja beberapa bahan di kota." Klaus berkacak pinggang. "Dengan berjalan kaki lagi?" "Tidak, aku memiliki kunci pick up yang ada di garasi. Niko sudah menyiapkan segalanya." Kurt menepuk saku celana jeansnya. "Dan nota pembagian tugas dari Edith baru saja masuk ke ponselku." Klaus memandang Kurt. "Kurt, kita bisa membuat Fräulein Lilo menikmati keadaan ini kan?" Kurt menyipitkan matanya. "Kau tahu bahwa dia sedang hamil kan?"Kurt balas bertanya, satu hal yang menjadi pertanyaan Kurt terhadap ketiga orang yang bersamanya adalah ketiganya tampak tak terlalu mencemaskan "kehamilan" Lilo. Mereka lebih memikirkan agar Lilo menikmati kondisinya yang menjauh dari Berlin. Dan sepanjang perjalanan mereka, Lilo sama sekali tak pernah mengeluh prihal "hamil" ajaibnya. Klaus terlihat mengerjabkan bulu matanya dan menjawab Kurt dengan cepat. "Tentu saja." Lelaki itu berjalan menuju rumah. "Aku ingin melihat kamarku sebelum berebutan denganmu atau Hedy." Kurt memeluk lengannya di d**a dan mengerutkan dahinya. Jelas ada persekongkolan di antara mereka bersama Lilo. Mengapa Kurt merasa dia dibodohi dalam hal itu? Apakah hanya perasaannya saja? sebuah pesan masuk dari bagian pengiriman bandara yang mengatakan barang-barang mereka akan tiba dalam satu jam lagi. Kurt berharap bahwa bunga-bunganya baik-baik saja. ketika akan memasukkan kembali ponselnya, pesan Edith kembali muncul. "Jangan lupa untuk segera menghubungi dokter kandungan di Gruyere yang kukirim alamatnya."- Edith. Kurt membaca pesan itu dan mengetik balasan "ya" pada Edith. Namun pada kenyataannya dia akan menunda perintah itu. Tidak sebelum ia memastikan Lilo sungguh-sungguh hamil. Dari dia berdiri di halaman itu, Kurt bisa mendengar tawa riang Lilo di dalam rumah. Ya, dia akan menunda beberapa perintah dari Berlin. Beri dia satu dua hari untuk membuktikannya. Lilo tak mengerti mengapa kamarnya bagai sudah dipersiapkan untuknya. Dengan ukuran yang tak terlalu besar, kamar tidur itu segalanya berwarna merah muda dengan ranjang lebar yang terletak di tengah kamar. Saat dia membuka jendela kamarnya, maka pemandangan puncak gunung menjadi panorama setiap bangun tidurnya. Ada perapian kecil di dalam kamar, klasik dan dari batu. Nyonya Clotilda mengintip dari balik pintu dan tersenyum kecil. "Apakah kamarnya membuatmu senang?" Lilo duduk di ujung ranjang dan melipat kedua kakinya. Dia mendongak dan tertawa. "Rasanya berbeda dari Berlin, Lehrer Clotilda." Nyonya Clotilda memasuki kamar dan duduk di sebelah Lilo, menepuk paha gadis itu. "Kamarnya tak sebesar milikmu di Berlin." "Bukan itu. Rasanya hangat meski tetap tanpa Papa dan Mama." Lilo menyelipkan rambutnya ke balik telinga. Nyonya Clotilda memeluk bahu Lilo. Ia mengusap bahu gadis itu dan berkata lembut. "Kau hanya perlu menikmati kebebasanmu selama setahun ini, Fräulein Lilo. Kau tahu bahwa aku dan yang lainnya mendukungmu." Lilo menatap Nyonya Clotilda. "Meski aku melakukan kebohongan?" Nyonya Clotilda tertawa pelan dan menepuk pelan paha Lilo. "Bisa kumaklumi. Untuk seseorang yang mengetahui rasa kesepian dan penderitaanmu atas kesibukan orangtuamu serta urusan paparazzi itu, aku memahami pilihan dari kebohonganmu itu. Aku hanya merasa lega bahwa kau membuka rahasia itu pada kami sebelum Edith muncul." Lilo memeluk Nyonya Clotilda. "Mungkin hanya Kurt satu-satunya yang tak tahu rahasiaku di rumah ini." Nyonya Clotilda tak menjawab melainkan hanya tersenyum saja. Dia meragukan Kurt selengah itu. Lelaki itu terlihat cerdas dan ia percaya, jika Lilo tak mahir dalam memainkan kebohongannya, hal itu akan terbongkar dalam hitungan hari. Kurt Dalheimer tak seketus ucapannya dan tak sekecut wajahnya. Lelaki mempunyai rasa peduli yang amat tinggi pada Lilo. Tak perlu waktu lama untuk menilai hal itu. Nyonya Clotilda mendengar dan menyaksikan perlakuan sabar Kurt selama dalam perjalanan terhadap Lilo. Dan kesediaan lelaki itu menggendong Lilo di punggung selama menuju rumah mereka yang berada di atas bukit. "Kita akan mulai belajar besok..." Kalimat Nyonya Clotilda terhenti begitu juga Lilo yang kaget mendengar suara ribut di kamar sebelah. Keduanya bergegas keluar dari kamar dan melongok ke kamar tersebut yang ternyata adalah milik Kurt. Di dalam kamar itu terlihat lelaki itu sedang membuka wallpaper dinding di kamarnya yang bermotif anak-anak serta melepas empat tiang yang berada di ke empat sisi ranjangnya, melepas sekrup masing-masing –beruntung itu adalah jenis ranjang bongkar pasang- dengan diam. "Mengapa tiang ranjangnya di lepas?" Lilo bertanya heran, memerhatikan keadaan kamar yang berantakan. Bahkan Kurt sepertinya akan menyingkirkan meja belajar yang ada dan akan menggantinya dengan benda lainnya, yang entah apa yang akan diperbuat lelaki itu dengan beberapa papan pendek yang terletak di lantai kayu kamar itu. Kurt menoleh Lilo dan menjawab masa bodoh. "Aku tak mungkin selama setahun tidur di kamar yang pantasnya ditempati anak-anak berusia 10 tahun." "Kurt, aku menemukan papan bekas di gudang. Apakah cukup? Hanya saja tak ada paku dan gergaji." Klaus muncul dengan beberapa papan bekas lainnya dan menumpuknya di atas papan lainnya. Kurt melepaskan tiang terakhir dan menoleh Klaus. "Tak apa, nanti juga aku akan ke kota membeli semua pesanan kalian." "Kau mau ke mana?" Lilo mulai tertarik. Kurt melirik Lilo dan menggulung lengan kaosnya. "Ke pasar, membeli bahan makanan dan beberapa alat pembersih rumah tangga yang dibutuhkan Nyonya Hedy." Ia sudah menerima memo pembagian tugas dari Edith yang membagi tugas-tugas ketiga orang itu meski pada prakteknya, mereka akan melakukan apa saja secara bebas, demikian pula Kurt. Lilo bertekad keluar dari semua aturan Edith maka itu pula yang akan dilakukan Kurt dan ketiga orang lainnya. Nyatanya, Kurt bahkan mengabaikan peringatan Nikolaus yang berpesan jangan mengubah isi tatanan rumah itu. Tapi siapa yang tahan sepanjang hari melihat wallpaper Putri Tidur dan sang pangeran dari cerita Sleeping Beauty selama setahun tiap bangun tidur? "Aku ikut ya." Lilo mencetuskan keinginannya ketika mendengar jawaban Kurt. "Tidak. Aku pergi sendirian saja." Kurt memangkas permintaan Lilo. Sudah beberapa jam dia tak merokok. Memiliki kesempatan untuk sendirian dengan udara bebas, Kurt akan melaksanakan apa yang ingin dilakukannya sejak turun dari pesawat. Perjalanan ke kota dengan pick up cukup lumayan dinikmatinya dengan sebatang rokok. Lilo tak boleh ikut dan diam saja di rumah yang aman dari kamera pengawas. Nyonya Clotilda dan Klaus sudah keluar dari kamar Kurt, hanya Lilo yang masih bertahan hingga Kurt menaikkan alisnya. "Silakan keluar, Fräulein Lilo." Kurt menunjuk pintu yang terbuka. "Tidak mau. Aku mau ikut ke kota pokoknya." Lilo menyilangkan tangan di belakang punggung. Senyum keras kepalanya muncul. "Tidak. Kau tinggal saja di rumah." Kurt membelalakkan matanya. Dia ingin merokok sendirian, bebas tanpa ada gadis remaja cerewet yang berada di sampingnya. "Jok mobilnya tidak empuk." "Kau kan bodyguardku dan tak boleh meninggalkanku tanpa pengawasanmu." Lilo berkelit, melontarkan kalimat pemungkasnya yang membuat Kurt terdiam. Ia tersenyum menang ketika mendengar dengusan keras Kurt. "Oke, aku akan mengambil tas dulu." Kurt menyerah ketika mendengar kalimat telak yang dilontarkan Lilo. "Oke, silakan keluar. Aku mau ganti baju. Bodyguard juga butuh ruang." Lilo tertawa dan memutar tubuhnya, melangkah keluar dari kamar yang masih berantakan itu. Di tengah perjalanan, dia ingin mengatakan pada Kurt ingin mencari ice cream dan kembali pada kamar yang terbuka itu. Ia berdiri tepat di ambang pintu. "Kurt, aku mau..." Lilo menggantungkan kalimatnya ketika melihat Kurt yang sedang memakai kaos lainnya hingga mau tak mau Lilo melihat bagian atas tubuh Kurt yang terbuka. Harusnya Lilo lari saja kan? tapi yang terjadi adalah Lilo meneruskan kalimatnya. "AKU MAU BELI ICE CREAM!" Kurt segera meloloskan kepalanya dan sukses memakai kaosnya dengan sempurna, terkejut mendapati Lilo yang berdiri di tengah pintu. Sebentuk wajah putih yang lucu tampak menatapnya dengan sepasang mata bulat lebar. Seraya meraih jaketnya, Kurt bertanya heran. "Kau minta apa tadi?" Ketika Kurt sudah berpakaian sangat kasual seperti itu, Lilo tak melihat sosok bodyguard di diri lelaki itu. Kurt tak ubahnya seperti Klaus. "Aku mau beli ice cream." Kurt mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya dan tersenyum miring. "Kau bawa uangkan?" Lilo cemberut. "Aku meninggalkan semua kartu kreditku di Berlin dan tanpa uang sepeserpun." Gadis itu mengeluarkan kedua kain dari saku roknya. "Lihat? Aku miskin dan mengandalkan uangmu." Kurt berjalan menuju pintu dan menepuk kepala Lilo. "Ya, sekarang aku orang kayanya." Ia tersenyum tipis. "Jangan mencoba untuk berjalan jauh dariku di kota. Kali ini tak ada kamera pelacak di sepatumu untuk menemukan jejakmu." Lilo mengekor di belakang Kurt. "Kamera pelacak? Kalau aku kabur di Berlin dan ditemukan dengan secepat itu karena kamera pelacak di sepatuku? Siapa yang menemukan jejakku?" "Aku." Kurt menjawab pendek, melirik Lilo yang menatapnya. Ia melihat wajah kaget Lilo dan tetap berjalan menghampiri tiga orang yang sedang berkumpul di ruang tengah, menikmati acara di televisi dengan santai. Mereka sungguh seperti sedang berlibur bukannya berada di pengasingan bersama nona bandel yang tak berhenti bersuara. Kurt membungkuk, menekan permukaan meja dan tersenyum miring. "Jadi, mana kertas pesanan kalian?" Secara serempak, ketiga orang itu menyodorkan kertas masing-masing yang berisi daftar pesanan mereka. Kurt mengerang ketika membaca urutan yang berakhir pada angka 25. Kurt menatap Nyonya Clotilda. "Kau sedang tak bercandakan memintaku untuk memilihkan kosmetikmu?" Kurt menunjuk kertas pada bagian Nyonya Clotilda. "Setidaknya berikan merk kosmetik yang dimaksud." Nyonya Clotilda tertawa dan menunjuk Lilo yang sudah siap dengan tas kecilnya. "Kau bisa meminta bantuan nona di sampingmu itu. Dia tahu berbagai merk kosmetik." Lilo tepat berdiri di samping Kurt dan melongok akan apa yang dipegang Kurt. "Oh, kalian menulis daftar belanjaan ya? Kalau begitu aku juga." "Itu artinya kau tinggal bersama mereka." Kurt berkata senang. Ia menyodorkan telapak tangannya. "Tuliskan saja pesananmu." Lilo tersenyum dan mengembangkan kedua tangannya. "Tidak jadi. Berada langsung di tempat kejadian itu lebih baik." ia menelengkan kepalanya. "Jadi, kapan kita berangkat?" Kurt membenamkan semua kertas daftar pesanan itu ke dalam saku jaketnya dan berjalan keluar rumah. "Sekarang." ia mendengar tawa kecil Lilo dan langkah kaki berlari di belakangnya. Sebuah pick up berada di dalam garasi dan Kurt membuka pintu bagi Lilo. Tapi gadis itu lebih dulu membuka pintu bagi dirinya sendiri. Ia berkata riang pada Kurt. "Aku bosan dengan hubungan nona dan bodyguard. Aku bahkan bisa membuka pintu mobil dengan tanganku sendiri." "Lalu kau maunya seperti apa?" Lilo melompat masuk ke dalam pick up dan meringis saat bokongnya merasakan jok yang keras. "Teman. Aku ingin memiliki teman yang sesungguhnya." Ia menarik pintu bagiannya. "Kita bisa seperti itukan, Kurt?" Jendela pick up sudah terbuka hingga Kurt secara jelas melihat wajah Lilo yang belia. Permintaan sederhana dengan nada suara penuh permohonan. Kurt menekan tombol kunci pada pintu Lilo melalui jendela yang terbuka. "Kita bisa menjadi teman. Tentu saja." Kurt menatap sepasang mata Lilo yang bersinar cerah. "Tapi saat kita menjadi teman sesungguhnya, kita tak boleh saling berbohong. Kau pasti tahu aturan itu kan?" Lilo seakan mendengar nada peringatan di kepalanya. Kurt sepertinya memiliki maksud ketika mengatakan aturan pertemanan versi lelaki itu. "Seperti apa contohnya?" Kurt tersenyum kecil. Dia merogoh saku celananya. "Sejujurnya, alasan aku melarangmu ikut denganku adalah ini." Ia menunjukkan kotak rokoknya. "Aku butuh ruang untuk diriku sendiri. Merokok." Lilo tertawa. "Silakan saja merokok." Kurt melakukan apa yang diinginkan, menyulut rokok dan mengembuskan asapnya ke udara. "Kau juga tak boleh berbohong padaku jika kita berteman." Ia berkata halus. "Tidak. Aku tidak berbohong." "Kau tidak mual mencium bau rokok?" Kurt bertanya ringan. "Tidak." "Kau tidak berbohong?" Kurt menegaskan dengan pelan. "Tidak." Lilo tertawa dan menunjukkan jari kelingkingnya. "Aku berjanji takkan berbohong." Kurt menatap lekat Lilo, menggerakkan tangannya dan mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Lilo. "Baiklah." Ia melepaskan jari kelingking mereka dan memutari pick up, duduk di belakang setir. Lilo terdengar bersenandung pelan di sebelah Kurt saat pick up mulai berjalan menuruni bukit, menuju kota. Kurt sengaja mengeluarkan sikunya untuk membiarkan asap rokoknya mengambang di udara dan melirik Lilo. Kau sedang berbohong. Mungkin asap rokok tidak bisa dijadikan alasan Kurt mengatakan Lilo berbohong soal "kehamilan" yang dialami gadis itu. Setidaknya, sedikit dari tindakan itu cukup bagi Kurt untuk menambah kepastian bahwa kemungkinan kecil Lilo sedang hamil. Namun cukup dulu penyelidikan Kurt, ia membiarkan Lilo menikmati segalanya yang akan mereka mulai bersama di Gruyere. Ketika dia menambah kecepatan saat menuruni lembah, Lilo berseru kegirangan dan Kurt tersenyum di dalam hati. Ia mengisap rokoknya dan memutar setir, telunjuknya mengarah pada jendela bagian Lilo. "Lihat sekumpulan sapi yang masuk ke kandang." Kurt berkata santai. "Kau bisa berada di antara mereka jika kau mau." Lilo melihat sapi-sapi yang digiring menuju kandang mereka. Ia menoleh Kurt yang menyetir. "Bisakah?" "Tentu saja. Gruyere menjadi sasaran turis yang membutuhkan ketenangan dan yang menyukai alam indah." "Kau mau membawaku?" Kurt melirik Lilo. "Tentu saja. Setelah kau belajar bersama Nyonya Clotilda. Banyak hal yang bisa dilakukan di sini." Kota mulai tampak di depan. Kota kecil yang tenang tetapi indah dengan toko-toko mungil dan kafe-kafe yang menyediakan kue-kue berkeju berkualitas khas Gruyere. "Seperti apa? Berkunjung ke peternakan sapi?" Lilo bertanya pada Kurt yang mulai mencari parkir. Kurt menjawab tanpa menoleh. "Dimulai dengan membantuku membeli bibit sayuran dan buah." Ia menoleh Lilo. "Aku akan berkebun di halaman belakang." Ia melompat keluar dari pick up diikuti Lilo yang tertawa. Gadis itu dengan lembut memegang ujung jaketnya. "Aku takkan kabur. Tenang saja. Kali ini kau tak perlu kamera pelacak atau apapun. Aku akan berjalan di sisimu." Lilo tertawa riang. Kurt mencoba untuk tersenyum meski rasanya bibirnya kaku. Tapi tawa ceria Lilo memancingnya untuk melakukan tindakan itu. Tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN