Bab 9 – di Toilet

1017 Kata
Dengan ide yang sudah Angel dapatkan untuk mendapatkan perhatian Janta. Teman masa kecil atau yang bangga menyebut jika dirinya adalah mantan lelaki jangkung itu mengajaknya pergi ke pesta kerabatnya yang sedang ulang tahun. Ia beralasan jika Janta juga mengenal kerabatnya itu.  Dengan terpaksa Janta mengiyakan ajakan Angel, dan meninggalkan Ghista di kantor. Angel selalu menggamit lengan Janta dengan mesra seperti layaknya pasangan yang telah menjalin hubungan.  “Hai, Janta. Long time no see you. Are you good?” Temannya yang sedang berulang tahun menyambut kedatangannya.  “I’m good. Happy birthday, ya.” Mereka berjabat tangan dan ber-high five.  “Enjoy to my party.” Janta menarik sudutnya segaris lurus, menghormati temannya.  Kini Angel yang bersalaman dengan temannya, “Andrew, happy birthday,” ucapnya sambil mencium pipi kanan kiri.  Andrew ini adalah teman mereka saat kuliah di Singapura. Memang tampan, tapi Janta tidak menyukainya. Lelaki keturunan bule itu selalu menjadikan Janta musuhnya dalam mendapatkan segala hal.  Dikiranya Angel adalah kekasih Janta—yang saat itu sudah putus dengannya—Andrew mengatakan jika ia berhasil merebut Angel darinya. Hubungan itu terjalin hanya beberapa bulan, karena sifat bosen Angel yang membuat mereka putus.  “Nanti jangan sampai larut pulangnya!” bisik Janta saat Andrew memberikan keik pada kekasihnya.  “Kenapa? Jangan bilang lo udah kangen sama Ghista? Jan, dia itu cuma bawahan lo, nggak seharusnya lo jatuh cinta sama dia,” cetus Angel. Ia menghadap Janta, melihat ke atas karena tingginya dua puluh senti di atasnya.  “Cuma lo bilang? Dia lebih baik dari pada lo!” balasnya. Janta menandaskan minuman yang dipegang, lalu berpamitan pada temannya, Andrew.  “Ai nak pulang. Sekali lagi Happy birthday to you.” Setelah ber-high five, Janta meninggalkan tempat pesta.  Angel terlihat mengikuti, namun tidak bisa mengejar karena ia ditahan oleh teman-temannya yang lain. ”Angel, sini sekejap!” Angel berhenti dan terlihat menghampiri temannya.  Janta mengendarai mobilnya menuju rumah. Melirik ke Alexander Christy yang bertengger di tangan kanannya sudah pukul sebelas malam. Ia menelepon perempuan yang ia cintai, namun tidak aktif. Dengan menambah gas, ia melajukan mobilnya dengan kencang.  Rumah yang letaknya di distrik 12, yaitu Balestier/Toa Payoh, salah satu kota HDB tertua di Singapura, Toa Payoh adalah kawasan mandiri dengan banyak fasilitas. Berlokasi sentral, merupakan perkebunan HDB terdekat dengan Orchard Road.  Rumah yang ia tinggali sejak lahir, berada di kota yang banyak fasilitas memberikan kemudahan bagi Janta melakukan aktivitas. Sampai di rumah, ia melihat Chika sedang mengambil minum di dapur.  “Ghista, mana Koh?” Dengan perlahan ia menghabiskan airnya di dalam gelas. Belum sampai habis, ia dikejutkan dengan jawaban sepupunya itu hingga tersedak.  “Nggak sama gue. Gue kira dia lembur sama lo.” Janta berdiri di dekat undakan tangga, lalu berjalan cepat ke luar rumah untuk menuju ke kantor, menemui Ghista.  Chika masih terkejut jika sahabatnya masih berada di kantor saat orang-orang sudah terlelap untuk tidur. Menekan nomor panggilan pada nama Ghista di layar ponselnya. Nomor Ghista yang berada di Indonesia tidak bisa ditelepon, menepuk jidatnya yang selebar lapangan sepak, ia lupa jika sekarang berada di Singapura. Ia menelepon pada nomor Ghista yang berada di Singapura.  “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”  Mematikan ponselnya, ia berharap jika sahabatnya akan baik-baik saja. Seluruh karyawan yang tidak mengonfirmasikan pada penjaga kantor maka akan terkunci di dalamnya. “Ya Tuhan, permudahlah Janta untuk menemui penjaga kantor,” lirihnya.  Sesuai dengan doa yang dipanjatkan Chika, Janta berhasil berbicara dengan penjaga kantor dan kini lelaki jangkung itu berlari menuju kantornya yang berada di lantai tiga.  “Ghista,” teriaknya. “Ghis....”  Menuju ruangan Ghista, ia tidak menemukan siapapun. Janta panik, ia mencari ke setiap ruangan juga tidak menemukan perempuan yang ia cintai. Napasnya terengah-engah berlari dari ruangan satu ke ruangan lainnya, belum juga menemukan gadis pujaan hati. Ia kepikiran untuk mencari ke toilet, karena hanya tempat itu yang belum ia jelajahi untuk mencari perempuannya.  “Ghis.... Ghista,” teriaknya memenuhi seisi ruangan. Terdengar suara air dari kloset, dengan pelan ia mengetuk pintunya. “Ghista.”    “Pak Janta ngapain ke sini?” tanyanya setelah membuka pintu. Perempuan itu terkejut, karena ada lelaki yang masuk ke toilet perempuan.  Dengan gerakan cepat, tangan kanan Janta meraih tangan Ghista, dan tangan kirinya memegang punggung. Ia memeluknya dengan erat. Ghista masih terkejut. Ia tidak membalas pelukan atasannya, hanya diam saat wajahnya berada di d**a bidang lelaki yang mencintainya. Badannya bak atletis dengan lengan besar dan berotot, Ghista juga merasakan perutnya rata, lemak enggan untuk menempel di tubuh lelaki keturunan Cina itu.  “Pak,” panggil Ghista. Ia ingin melepaskan pelukan, namun Janta memaksanya untuk tetap berada di d**a bidang lelaki di depannya. “Jangan pergi, Ghis. Biarkan saya memeluk kamu sebentar aja.” Janta mengusap-usap rambut Ghista, naik turun. “Ghis, jadi perempuan satu-satunya di hati saya! Saya nggak bisa janji banyak hal, tapi saya pastikan jika saya akan bahagiakan kamu.”  Janta melihat wajah Ghista, tangannya terayun menggenggam jemarinya. Perlahan ia bawa dekat dengan bibirnya untuk dicium. Mencium punggung tangannya saja membuat hati Janta merasa berdebar. Ia meletakkan tangan perempuan di depannya ke arah letak jantung. Ghista merasa jika jantung Janta berdebar sangat cepat.  “Gimana, Ghis?”  Ghista melihat ke atas, memandang wajah lelaki yang kini berdiri di depannya, dengan berjinjit, dielusnya perlahan dari pipi menuju rahang atas, lalu ke rahang bawah dan berakhir di dagu. Dikecupnya dengan lembut, seperti mengulum permen kapas yang membuat bibir keduanya tidak mau lepas.  Janta mengambil alih peran yang diawali oleh Ghista, diulumnya bibir mungil itu, perlahan membuat keduanya saling mengeluarkan hasrat terpendam mereka. Tubuh Ghista yang sudah menempel di tembok, oksigen yang dihirup sudah semakin menipis membuat Ghista melepaskan bibir keduanya.    “Kita jalani dulu, aja!” ucap Ghista dengan malu-malu, lalu meninggalkan Janta sendirian di toilet.  Atasan yang kini telah resmi menjadi kekasih Ghista itu menyusul perempuannya, berjalan beriringan menuju ruangan perempuan yang kini telah menjadi kekasihnya.  “Kamu nggak bilang ke penunggu gedung kalo hari ini lembur? Pintu gerbangnya dikunci dari luar tadi. Kamu ditelepon juga nggak aktif hapenya.”  Sambil membereskan mejanya. Ghista memberitahu jika tadi dirinya terlalu fokus pada laporan yang membuatnya pusing tujuh keliling. Kesalahan kalkulasi dalam pencatatan dan laporan keuangan yang sebenarnya ini adalah masalah dasar dalam dalam akuntansi, tetapi membuat eror pada saat rekonsiliasi dan analisis keuangan.  Jangan sebut namanya Theresia Maghista jika ia tidak bisa mengatasi kesalahan mendasar seperti itu. Sebagai orang lulusan Akuntansi, ia telah banyak mempelajari laporan keuangan dengan berbagai macam masalah.    “Lebih baik mencari orang yang benar-benar kompeten dalam akuntansi, kesalahan yang terjadi tadi adalah hal yang paling mendasar sebagai seorang akuntan.” Selesai membereskan mejanya, Ghista keluar dan Janta membuntutinya.  “Siap, Miss Janta.” Penyebutan Miss yang disebutkan oleh kekasihnya itu membuat Ghista tersenyum. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN