Bab 10 – Beli Buah Tangan

1120 Kata
Hari terakhir berada di Singapura membuat seisi rumah sibuk berbelanja. Ghista terlihat tidak bersemangat berbelanja cindera mata untuk keluarganya. Sedangkan Chika, ia terlihat paling heboh membeli barang. Tangan kanan dan kiri penuh dengan jinjingan.  Lelaki jangkung itu sesekali menggandeng tangan kekasihnya kala semua orang tidak melihat, dan asik dengan belanjaan mereka. “Yakin nggak mau beli apa-apa?” Berkali-kali Janta menanyai hal yang sama pada kekasihnya dan dijawab dengan hal yang sama pula. Tidak.  “Jan, ini bagus, nggak?” Mantan kekasih lelaki jangkung itu belum mengetahui jika Janta dengan Ghista sudah menjalin hubungan. Ia masih saja terus menggoda.  Yang ditanya pun diam saja, enggan menjawab. Adiknya dengan Chika lebih memilih sibuk dengan pernak-pernik menggemaskan yang berbentuk Merlion—magnet bergambar ikon singa setengah ikan khas Singapura—sebagai hiasan kulkas, tidak mau ikut campur dengan urusan Angel.  Tanpa menatap Angel, Janta berulang kali menolak tawarannya ketika dipakaikan buah tangan yang terlihat unik menurut dia. Seperti saat melihat topi Snapback yang baru-baru ini sedang tren di kalangan anak-anak hingga dewasa, menurut Angel, ini sangat lucu.  “Lihat, deh. Bagus, tau. Apalagi sama muka babyface kamu, bikin gemes.” Janta berusaha menghindar saat Angel berusaha memakaikan topi ke kepalanya dengan berjinjit yang bertuliskan My Angel, tapi percuma, di sebelahnya ada tumpukan topi yang tertata rapi, ia tidak bisa menghindar ke manapun.  Janta ditarik, diajak melihat pantulan dirinya di depan cermin panjang yang berada di depan toko topi tersebut. Ghista masih terlihat fokus mencari topi untuk kedua adiknya. Topi yang bertuliskan DRUNKER untuk Ghana, buat Ghio ia memilih tulisan Oh My God. Ia masih mencari-cari topi bertuliskan nama tersebut.  Toko oleh-oleh dengan harga paling miring di antara yang lain dan serba ada membuat pelanggan betah berbelanja di Mustafa Centre. Setelah membeli topi, Ghista turun ke lantai 1 diikuti Janta yang masih tertinggal di toko tersebut karena debat dengan Angel, lantaran ia tidak mau dengan topi yang diberi olehnya.  Ia memilih-milih coklat dari berbagai bentuk, ada yang berbentuk singa setengah ikan, ada juga seperti permen. Hanya coklatlah yang menjadi teman ketika sang ayah memukulnya karena coklat bisa membuatnya lebih tenang.  Setelah berbelanja, lelaki jangkung itu mengajak makan di tempat lain. Kawasan Balestier yang dikenal memiliki daya tarik tersendiri dengan ruko Art Deco dan merupakan surga pecinta kuliner yang terkenal, seperti yang Janta inginkan. Salah satu berlokasi di wilayah Toa Payoh karena kuliner yang mereka tawarkan sangat menggiurkan lidah, juga dekat dengan rumah.    Di sinilah mereka berada. Di tempat yang banyak pengunjung karena terkenal dengan kulinerannya. Makanan yang Janta inginkan berada di kedai Bak Kut teh, sop daging pork yang menggugah selera makannya, sangat lezat dan membuatnya nambah jika makan di sini.  “Pesawatnya besok pagi, ‘kan?” tanya Janny pada kakaknya. Mereka sedang menikmati hidangan yang tersaji di meja makan.  “Iya. Lo mau ikut ke Jakarta?” Lelaki jangkung itu menikmati sup dagingnya.  “Ayo, Jan, bareng. Gue juga udah beli tiket buat pulang besok bareng kakak lo.” Angel menyela, ia selalu mengikuti ke manapun Janta pergi.  Ghista dan Chika terlihat asik mengobrol berdua, hingga membuat Janta berdeham untuk menghentikan obrolan mereka. Janta tidak ingin kekasihnya terlalu cuek padanya.  “Chik, nanti arisan keluarga lo dateng, ‘kan?”  Chika yang diajak mengobrol sepupunya dengan tiba-tiba itu memasang muka bengong. “Iya. Biasanya juga selalu dateng.” “Bagus, deh. Kalo ngajak pacar boleh, ‘kan, ya?” tanya Janta lagi.  Angel sudah tersenyum, merasa dirinya yang dianggap pacar oleh Janta. Dulu, Janta selalu bilang jika Angel yang terbaik. Ia sangat mencintai Angel. Dulu. Angel berpikir jika Janta tidak akan semudah itu melupakan kenangan mereka berdua.  Nyatanya, kini Janta sudah memiliki kekasih lain, yang jauh lebih baik dari Angel meskipun secara sosial, perempuan yang selalu mengikuti Janta ke manapun itu lebih tinggi dari Ghista. Status sosial tidak penting bagi Janta, yang utama baginya adalah statusnya dihadapan Sang Pencipta.  “Mau ngajak gue, ya?” tanya Angel kepedean.  “Emang Ci Angel balikan sama Koh Janta?” Janny terkejut, pasalnya, yang ia dengar dari sepupunya, Chika, jika kakaknya itu mencintai perempuan yang duduk di sebelah kanan kakaknya.  “Sebentar lagi,” bisik perempuan yang duduk di sebelahnya. Angel terlalu percaya diri jika ia yang akan diajak ke acara arisan keluarga. “Liat, aja, nanti. Orang itu spesial, Jan. Lo harus pulang ke Jakarta biar tau siapa orangnya.” Meletakkan sendok, Janta menggenggam tangan kiri Ghista yang berada di atas pahanya.  Mereka membahas tentang arisan keluarga yang nanti akan diadakan bulan depan. Keluarga besar kumpul, untuk mempererat tali persaudaraan. Ibu Chika adalah adik dari Ibu Janta dan Janny.  Angel pulang beda pesawat dengan Janta. Ia meminta lelaki jangkung itu untuk menukar tiketnya agar bisa bersama Angel dalam satu pesawat. Janta tidak mau. Ia mengatakan jika bertanggung jawab atas Ghista dan Chika karena mereka ke sini atas pekerjaan.  ***  “Mampir, Nak!” suruh Mada pada Janta ketika mengantar Ghista pulang.  “Iya, tante. Saya langsung pamit, aja.” Setelah berpamitan pada ibunya, Janta mengusap kepala Ghista. “Istirahat, Ghis. Nggak usah ke kantor dulu hari ini.”  “Baik, Pak.”  Lelaki Jangkung itu masuk mobil di sebelah sopir, Chika berada di belakang karena sopir yang menjemput mereka saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Kaca mobil diturunkan, lalu membunyikan klakson dua kali saat mobil mulai melaju.  “Kak Ghista udah pulang? Mana oleh-olehnya, Kak?” tagih Ghio saat Ghista memasuki rumah.  Koper yang ia bawa dari luar langsung dibuka untuk mengambil oleh-oleh untuk adiknya. Topi yang ia janjikan, dan coklat berbentuk merlion.  “Ini buat di kulkas, Bun. Cantik, ‘kan?” Anak perempuan satu-satunya di keluarga Alex itu memperlihatkan tempelan kulkas yang berbentuk singa setengah ikan pada ibu dan adiknya,  “Kakak beli berapa ini?” Ghio mengambil tempelan kulkas yang dipegang kakaknya.  “Ada lima kayaknya, kenapa? Buat temenmu?”  Ghio mengiyakan. “Pamer dikit, Kak. Kalo kakak abis dari Singapura.”  “Nggak usah pamer, gitu. Seseorang terlihat kaya atau tidak itu bukan dari status sosial, Ghi, tapi dari hati.” Ibunya kini bersuara sambil memegang dadanya, di mana letak hatinya berada.  “Zaman sekarang, Bun. Kalo belum terlihat kaya di mata orang, nggak akan terlihat kalo orang itu ada di depannya.” Ghio mengantongi tempelan kulkas berbentuk singa setengah ikan itu untuk pamer pada teman-temannya nanti di kelas.  “Yowis karepmu.” (Yaudah terserah kamu) Mada asli orang Jawa, kadang kala dia akan berbicara menggunakan bahasa Jawa agar Alex tidak mengerti saat ia memarahinya. “Sana istirahat, Ghis! Apa mau makan? Bunda masak cumi cabe ijo sama capcay.”  Setelah Ghio pergi ke kamar, Ghista mengajak ibundanya ke kamar. “Ikut Ghista, Bun.” Perempuan sulung yang menjadi tulang punggung keluarga itu menutup kopernya kembali lalu dibawanya ke kamar.  Setelah mengunci pintu dari dalam kamar, ia duduk di sebelah ibunya yang telah duduk di pinggir ranjang.  “Bun, ini uang untuk belanja sama kebutuhan kita sehari-hari. Jangan sampe ayah tau!” Anak perempuannya memberi uang pada Mada, lalu menghitung uang lagi. “Ini buat biaya kuliah Ghana sama sekolah Ghio, Bun.”  “Ghis, uang sebanyak ini dapet dari mana?”  “Tadi pagi kantor langsung transfer uang selama aku di Singapura, Bun. Jadi langsung tarik tunai pas masih di Bandara. Di sana juga aku menemukan masalah keuangan kantor yang selama ini membuat kantor rugi. Dari pencatatan dan pencocokan laporan nggak sama, makanya aku dapet bonus juga. Mungkin Janta tau kalo kita butuh uang, jadi langsung ditransfer dari kantor.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN