Kehebohan pagi di rumah keluarga Susilo selalu berisi tentang Rosa yang sibuk memasak, Susilo yang bebersih lantai dan halaman depan, juga Kirana yang memandikan dua anak kembarnya yang selalu sulit membiasakan diri pangun pagi.
“Dhika, ayo cepat. Sikat gigi yang benar! Jangan lama-lama! Mamah harus segera berangkat kerja di kantor! Tidak boleh terlambar!” omel Kirana yang sebal melihat Dhika yang selalu bergerak santai, tidak tahu jika ibunya sedang buru-buru.
“Adek! Jangan bermain air terus! Ayo cepat sikat gigi seperti kakak!”
Kirana pun menunduk, membantu Dwika mempercepat gerakan sikat giginya, lalu berganti pada Dhika yang sudah selesai.
“Kumur-kumur yang bersih!”
Kirana memang sengaja membuat anak-anak itu disiplin dengan bangun dan mandi pagi, mengikuti jadwal bangun para orangtuanya. Mereka akan berpakaian, lalu menunggu sarapan yang dibuat oleh Ambu Rosa.
Seperti biasanya, walau Dhika sangat santai dalam melakukan banyak hal, tapi dia selalu selesai lebih cepat daripada adiknya. Kirana pun mengeringkan tubuh Dhika dan melilitkan handuk setelah selesai, lalu membopong bocah itu menuju kamar. Disusul oleh Dwika selanjutnya.
Kirana mengoles minyak kayu putih, pelembab kulit dan minyak wangi pada tubuh anak-anaknya, lalu memakaikan baju kembar berwarna hijau kepada mereka. Gerakan Kirana sangat gesit dan ahli dalam mengontrol dua anak kembar yang tak mau diam itu. Ia sedang diburu waktu dan tidak boleh sampai terlambat ke kantor hari ini.
“Dengarkan Mamah baik-baik, Kakak dan Adek! Jangan merepotkan Ambu Rosa, jangan banyak bertengkar, jangan banyak menangis dan…”
“Jangan banyak jajan!” sambung Dwika.
“Pintar!”
“Pasar adalah tempat yang ramai, jadi kalian tidak boleh keluar toko tanpa Ambu Rosa. Kalian harus tinggal di ruang istirahat karyawan dan bermain di dalam! Mengerti!?”
“Tapi di ruangan itu panas, Mah…” Dwika cemberut
“Ada kipas angin!”
“Dhika, jaga adikmu jangan sampai keluar ruang istirahat toko! Mengerti?”
“Mengerti.” Jawab Dhika yang sedang berusaha memakai celananya sendiri, tapi balita itu kesulitan untuk menariknya.
Kirana pun menyelesaikan pakaian Dwika dengan cepat, lalu beralih pada Dhika yang sedang kesulitan.
“Anak Mamah yang pintar, Kakak harus menjaga Adik di toko Ambu. Lalu jangan lupa mengingatkan Ambu jam minum obat Adik. Siapa tahu banyak pembeli di toko sehingga Ambu lupa. Apa kamu mengerti, Dhika?”
“Mengerti.”
“Terima kasih, sayang.” Kirana mengoleskan bedak wangi pada wajah Dhika dan Dwika. Lalu rangkaian kegiatan berpakaian itu pun selesai.
“Kalian tunggu di sini, sarapan belum jadi.”
Kirana berbalik, lalu segera meraih gagang sapu untuk membersihkan lantai, namun Susilo menahannya.
“Neng Kira mandi saja, sudah mau jam lima.”
“Baik, Kang. Makasih!”
“Ah, tadi kita sudah salat subuh, kan?”
“Sudah, ‘kan berjamaah.”
“Oh, ya, lupa. Sekarang hanya perlu mandi.”
“Iya, cepat mandi, nanti kesiangan!”
Kirana mandi cepat, lalu berpakaian tak kalah cepat. Ia berdandan seadanya karena tak memiliki waktu banyak. Hari ini Kirana memakai rok hitam dan kemeja cream. Penampilan sederhana yang jika dilihat melalui kaca, penampilan ini membuat Kirana terlihat cukup profesional untuk bekerja di gedung tinggi seperti grup Atmajaya. Namun penampilannya ini tak lebih menarik dari front desk alias resepsionis disana. Dia benar-benar tak memiliki pakaian yang cukup bagus untuk bekerja di gedung tinggi.
“Ck! Sudahlah, lagian aku hanya bekerja. Bukan untuk hal lainnya!”
“Neng Kira, lagi apa, sih? Kok lama!? Ayo sarapan…” seru Rosa.
Kira meraih tas kerja, lalu berjalan keluar kamar. Di ruang makan sudah terdapat Dhika, Dwika dan Susilo yang sudah makan terlebih dahulu, sedangkan Rosa menyuapi dua anak kembarnya dengan sabar.
“Ayo cepat sarapan supaya kamu kuat menjalani hari!” ujar Rosa.
“Terima kasih, Teh. Maaf merepotkan…”
“Kamu ini ribut repat repot terus, kayak sama siapa saja.” Rosa menyerahkan piring yang berisi nasi kepada Kirana, “Kamu mau bawa bekal?”
Kirana memperhatikan nasi di mangkuk yang tak seberapa, untuk bekal makan siang Dhika, Dwika dan Susilo saja pasti pas-pasan, apalagi untuk bekal Rosa dan dirinya, pasti kurang. Ia pun menggeleng.
“Tidak teh, nanti disana ada makan siang, kok!” bohong Kirana.
“Benarkah?”
“Iya, ada. Tidak usah memikirkan Kira. Nasinya untuk Kang Susilo, teteh dan anak-anak saja.”
“Ya sudah, kalau gitu sarapan yang banyak. Barangkali masakan di gedung itu tidak seenak masakanku.” Seloroh Rosa sambil tertawa kecil.
Kirana dan Susilo pun ikut tertawa.
“Tidak ada masakan yang lebih enak dari masakan teteh. Teteh memang paling jago masak!” Ujar Susilo.
“Alah, gombal!”
Pagi itu mereka tertawa riang sambil menghabiskan sarapan. Setelah selesai, Kirana dan Susilo bertolak ke gedung Atmajaya. Susilo sempat ngebut karena pada pukul 5.30 pagi jalanan yang masih lengang, dan juga masih banyak hal yang harus dilakukannya, salah satunya mengantar Rosa dan anak-anak ke toko, lalu ia harus sampai di sekolah pukul tujuh tepat. Tak boleh terlambat.
Perjalanan menuju gedung Atmajaya yang bisa menghabiskan waktu satu jam pun ditempuh lebih cepat karena tak ada macet dan masalah ditengah jalan.
Kirana turun dari motor, lalu mencium tangan Susilo sebelum berpamitan.
“Akang, lain kali Kira naik mobil umum saja…” ujar Kira merasa tak enak hati karena harus membuat Susilo repot mengantar jemputnya sejauh ini.
“Ongkosnya bisa dipakai untuk biaya Dwika, dan juga Akang masih sanggup mengantar jemput neng Kira. Jadi tidak usah meributkan hal ini terus.”
“Tetap saja, jarak ini terlalu jauh, Kang. Akang bisa terlambat datang ke sekolah kalau harus mengantar Kira kesini.”
“Tidak apa-apa!”
Kirana menggenggam tangan suaminya, “Terima kasih, Kang. Ma—”
“Jangan minta maaf terus.” Potong Susilo.
Pria itu turun dari motor, kemudian mengeluarkan dompet dari saku celananya. Ia menyerahkan beberapa lembar uang kepada Kirana dan wanita itu langsung menolaknya.
“Untuk pegangan. Tempat ini jauh dari kontrakan. Jangan sampai Neng Kira gak pegang uang sama sekali!”
“Tapi…”
Susilo meraih tangan Kirana dan memaksa tangan itu menerima uang darinya.
“Sudah, jangan banyak menolak. Terima uang ini untuk simpanan Neng Kira…” Susilo membuka dompetnya sekali lagi, “Dan ini adalah kartu nama milik sekolah tempat Akang bekerja, ada nomor telepon resmi di kartu nama ini. Jika terjadi sesuatu disini, atau neng tidak tahan bekerja di sini, Neng bisa telepon Akang melalui nomor tersebut, nanti Akang jemput neng Kira secepatnya…”
Kirana memperhatikan kartu nama dan Susilo bergantian, ia tidak menyangka jika Susilo akan membuat persiapan sedemikian matangnya untuk memastikan Kirana baik-baik saja di tempat bekerja. Kemarin pria itu terlihat sangat khawatir saat mengantar Kirana wawancara ke gedung Atmajaya, namun hari ini ia memiliki persiapan lengkap sehingga bisa mengantar Kirana dengan tenang dan tidak banyak gelisah.
Mungkin Susilo sudah menduga bahwa Kirana akan tanda tangan kontrak dengan Atmajaya, sehingga ia menyiapkan kartu nama sekolahnya sebagai pegangan Kirana jika membutuhkan pertolongannya.
“Ayo masukkan uang dan kartu nama ini ke dompet Neng Kira, jangan melamun terus…”
Kirana tersenyum kecil, wanita itu melakukan perintah Susilo dan mengamankannya di dalam tas. Kirana menatap Susilo sekali lagi, lalu dengan penuh haru Kirana memeluk suaminya sebelum berpisah.
“Terima kasih, Kang.”
Susilo tertegun sejenak, lalu senyum bahagia terbit di bibirnya sambil membalas pelukan Kirana, “Neng adalah Istri Akang, tanggung jawab Akang di dunia dan akhirat. Jadi, tidak perlu sungkan menerima semua yang Akang lakukan dan berikan untuk Neng Kira, dan juga untuk anak-anak.”
Kirana mengangguk di dalam pelukan Susilo, wanita itu selalu terharu pada kebaikan hati pria saleh itu. Setelah cukup puas mengungkapkan rasa terima kasihnya, Kirana pun melepas pelukan suaminya.
“Kira takut jika kehadiran kami hanya merepotkan Akang dan Teteh.”
“Tidak sama sekali. Sudah, Akang pamit dulu, Teteh dan anak-anak pasti menunggu Akang.”
“Iya, Kang. Akang hati-hati di jalan. Jangan ngebut.”
Susilo kembali ke motor dan menyalakan mesinnya. Jadwal paginya sangat padat, setelah mengantar Kirana, Susilo mengantar Rosa dan anak-anak ke pasar, lalu dirinya harus pergi ke sekolah. Beruntung lokasi sekolah Susilo dan pasar itu berdekatan, jadi Susilo bisa datang tepat waktu setelah mengantar Rosa dan anak-anak.
“Muhun, Neng. Akang pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Motor Susilo bertolak kembali ke rumah, Kirana berdiri di trotoar hingga Susilo menghilang dari pandangan. Wanita itu mengusap setetes haru yang lolos dari matanya, dan berusaha menahan perasaan harunya pagi itu.
Kirana menarik nafas, lalu memejamkan mata untuk menenangkan diri. Setelah Susilo pergi, kini ia harus kuat menghadapi hari seorang diri. Selama bertahun-tahun Kirana bergantung pada kehadiran Susilo dan Rosa, selama itu pula Kirana tak pernah menghadapi hidup sendirian.
Apalagi sekarang Kirana harus bekerja di bawah naungan Grup Atmajaya, tempat masa lalunya berada.
“Kamu pasti bisa, Kira. Untuk Dwika dan Dhika…” gumam Kirana.
Setelah merasa cukup yakin, Kirana pun berbalik, ia berjalan menuju pintu lobby utama yang terbuat dari kaca. Pada saat posisinya semakin dekat dengan pintu tersebut, semakin Kirana menyadari jika sosok Akasa sedang berdiri kaku di dalamnya.
Pria itu menatapnya sangat tajam, kedua tangan bersembunyi di saku celana, dan aura yang menguar adalah aura kemurkaan yang disembunyikan.
Siapa yang ingin pria itu bohongi?
Kirana mengenalnya hampir seumur hidup. Kirana bisa mengenali kemarahan pria itu semudah mengenali telapak tangannya sendiri. Hanya saja, Kirana tidak bisa mendeteksi dari mana asal muasal kemarahan itu timbul pagi ini.
Tatapan dan aura gelap Akasa membuat Kirana keringat dingin, ia tidak ingin memulai harinya dengan kemarahan Akasa. Pria itu memang pendiam, tapi jika sudah marah, pria itu sangat menakutkan – persis seperti Dhika, putra Kirana.
Glek!
Kirana pun mencapai pintu utama lobby.
Seorang satpam membukakan pintu untuk Kirana. Satpam itu tampak pucat pasi, sepertinya ia menyadari jika sosok Akasa pagi ini diliputi aura menyeramkan yang bisa meledak murka sewaktu-waktu.
“Selamat datang di Atmajaya Group.” Sahut satpam bernama Kojim.
Kirana mengangguk sopan, lalu masuk ke dalam gedung dan langsung berhadap-hadapan dengan Akasa yang tak henti menatap tajam. Pria itu tak mengatakan apa-apa, namun Kirana tahu jika Akasa sudah melihat kedatangan Kirana sejak awal dan memperhatikan dari kejauhan.
Sudah pasti pria itu melihatnya memeluk Susilo untuk kedua kalinya, bukan?
Ibunda Dhika dan Dwika itu pun mengangguk sopan sekali lagi, khusus untuk putra tunggal Boss Besar Atmajaya.
“Selamat pagi, Aden…” sapa Kirana.
Akasa tak menjawabnya.
Mulut pria bermata hijau itu tertutup rapat, raut wajahnya kaku dan tegang.
Sesungguhnya Kirana sangat takut jika Akasa sudah menampakkan wajah seperti itu, tapi ia tak ingin ambil pusing. Kedatangannya ke gedung ini bukan untuk meladeni emosi Akasa yang entah berasal dari mana, Kirana datang kemari untuk bekerja dan mencari uang.
Saat Kirana hendak melanjutkan langkah, tiba-tiba saja pria itu membuka mulutnya.
“Terlambat.”
“Ya?”
“Sebagai anak baru, kamu datang terlambat!”
“T-Tuan Besar memberitahuku, bahwa jam kantor dimulai pukul tujuh, dan saat ini adalah pukul enam pagi. Aku datang satu jam lebih cepat dari yang seharusnya.”
“Salah. Kamu harus datang pukul lima tiga puluh setiap hari!”
Kedua mata sipit Kirana membola, “Tapi, Aden…”
“Dan jangan pernah memanggil saya dengan sebutan itu. Kita di ibu kota, bukan di perkebunan!”
“Mohon maaf, Tuan Muda. Tapi tidakkah setengah enam terlalu pagi, Sementara jam kantor dimulai pukul tujuh.”
“Saya harus memastikan bahwa kamu adalah karyawan berdedikasi tinggi, tidak cengeng dan lemah seperti Kirana kecil! Jadi mulai besok, datang pukul lima tiga puluh tepat! Dan mulai harimu dengan membersihkan kantor saya!”
“Membersihkan kantor Anda?”
“Ya, sekarang ikuti saya!” *