Pria itu benar-benar mengucapkan yang sesungguhnya saat berkata bahwa Kirana harus membersihkan ruang kerja pribadinya.
Di ruang kerja itu Kirana berdiri kikuk. Matanya beredar memperhatikan kerta yang berserakan di lantai dan juga gelas-gelas kopi yang sepertinya digunakan sepanjang malam untuk begadang.
Tak hanya sampai di sana, Kirana menemuka beberapa helai pakaian yang menumpuk di kursi. Pakaian kotor itu sepertinya adalah pakaian yang digunakan Akasa kemarin.
“Apakah pria itu tidak pulang dan tinggal disini?” batin Kirana bertanya-tanya.
Kemarin Akasa menggunakan kaos polo ini, dan sekarang Akasa menggunakan setelah kemeja biru muda dan celana hitam yang rapi. Pria itu tampak segar sehabis mandi dengan rambut yang disisir ke belakang, wajahnya tampak mengantuk karena begadang sepanjang malam, walau begitu ekspresi letih itu tidak mengurangi ketampanannya sama sekali.
Kirana mengalihkan pandangan ke lain tempat, ia tidak ingin memandang pria yang dikenalnya hampir seumur hidup itu terlalu lama. Kirana menekan perasaannya dalam-dalam dan mulai berlutut di permukaan lantai sambil mengumpulkan kertas coretan design yang gagal itu ke dalam tempat sampah yang bersih.
Kirana memperhatikan setiap coretan design bangunan setengah jadi yang Akasa buang. Pada setiap helai kertas itu terdapat banyak tanda silang yang sepertinya dilakukan dengan penuh emosi. Tanda silang itu dilakukan berkali-kali, tak beraturan dan bahkan coretannya berputar-putar untuk menutup setiap gambar yang dibuatnya. Sebagai mantan teman satu sekolah, satu kelas dan satu bangku selama bertahun-tahun, tentu saja Kirana mengenal setiap garis coretan yang menjadi pertanda bahwa telah meledak kemarahan yang sangat besar dari dalam diri Akasa, dan kemarahan itu disampaikan dengan coretan dan mulut yang tertutup rapat. Kemarahan yang terpendam di dalam dirinya dan tak ada satupun yang bisa mendengarnya.
Sebuah kebiasaan lama yang tidak berubah hingga sekarang!
“Sampai kapan kamu hanya diam dan memandang kertas tak berguna itu?”
Pertanyaan yang tajam itu membuyarkan lamunan Kirana. Ia pun mengangguk hormat dan melanjutkan kegiatannya mengumpulkan kertas. Kirana agak kesulitan selama berlutut dan mengumpulkan kertas di lantai karena rok span selututnya sangat rapat sehingga Kirana harus bergerak pelan-pelan.
Jika sebelumnya Kirana menemukan kertas berisi design bangunan yang gagal dan penuh coretan kemarahan, kini Kirana menemukan kertas-kertas kosong yang berisi tulisan “I HATE YOU!”, banyak sekali kertas yang berisi hanya tulisan semacam itu. Kirana bukan orang bodoh yang tidak mengerti bahasa Inggris, dulu Akasa rajin mengajari Kirana bahasa Internasional ini, jadi Kirana tahu makna dibalik kalimat tersebut.
“Siapa yang membuatmu semarah dan sebenci ini, Kasa?”
Kirana menggeleng heran, lalu memasukkan kertas-kertas itu hingga tuntas. Saat bangun dan mengedarkan mata ke ruangan, Kirana mendapati Akasa yang sedang menatap tajam kepadanya. Ekspresi wajahnya tak berubah, selalu tampak penuh kebencian saat melihat Kirana.
“Apakah kalimat kebencian itu kau tunjukkan untukku? Sebagaimana tatapan bencimu kepadaku? Tapi apa salahku sehingga layak mendapat kebencianmu?” tanya Kirana dalam hati. “Aku telah menyerahkan segalanya untukmu. Segalanya tanpa kecuali. Aku telah mempersembahkan seluruh masa mudaku hanya untukmu. Hanya untuk pria b******k sepertimu! Tapi mengapa kamu sebenci itu kepadaku?”
Bermenit-menit Kirana membiarkan dirinya terpaku menatap wajah benci Akasa yang menghujam jantung hatinnya, bahkan pria itu pun dengan sengaja membiarkan kecanggungan mengudara dan tak mengatakan sepatah kata untuk mengeyahkan Kirana dari hadapannya.
Mereka berdiam diri, sambil memandang satu sama lain, dengan isi pikiran masing-masing. Isi kepala yang tidak bisa Kirana tembus, namun Kirana yakin pria itu mampu menembus isi kepalanya. Ekspresi wajah Kirana sulit berbohong, Kirana adalah kaca yang transparan. Bisa dibaca dan dilihat dengan mudah. Apalagi oleh pria yang menjadi pelindungnya sejak belia.
“Bereskan gelas-gelas kopi itu!” perintah Akasa dingin dan terasa sangat jauh.
Sang Putra Tunggal Atmajaya itu pun berbalik, lalu duduk di kursi kebesarannya. Ia memperhatikan setiap gerak gerik Kirana dengan tajam dan mengerikan.
“Mengapa kamu selalu tampak marah dan membenciku?”
Pertanyaan itu hanya sampai pada benaknya, Kirana tahu ia tidak memiliki hak untuk mempertanyakan hal itu karena pertanyaan sejenis itu hanya akan membuat Akasa murka dan memaki-makinya seperti dulu.
Kirana berjalan menuju meja, dan merapikan tak kurang dari lima cangkir yang berisi ampas-ampas hitam yang dingin. Kirana mengumpulkan cangkir-cangkir itu dalam satu lingkaran berdekatan, lalu membersihkan kulit kacang dan biskuit-biskuit yang berserakan.
Seharusnya ini adalah pekerjaan OB bukan Kirana. Di perusahaan ini Kirana berada di bawah divisi purchasing dimana Kirana memiliki tugas khusus perihal jual beli tanah dan properti di kampung perkebunan mereka.
Jelas-jelas, membersihkan bekas begadang Sang Tuan Muda bukanlah tanggung jawabnya. Namun sebagai karyawan baru yang masih dalam masa training, Kirana tak bisa berbuat banyak selain mengikuti apa yang Tuan Muda perintahkan.
“Aku akan membawa gelas-gelas kopi ini ke pantry, lalu kembali untuk membereskan sisanya, Tuan.”
“Tidak perlu.” Jawab Akasa cepat, “Di pintu itu terdapat ruang pribadi saya. Bersihkan semua itu disana!”
Mata Kirana mengikuti arah telunjuk Akasa yang berpusat pada satu pintu di sudut ruangan. Pada mulanya Kirana berpikir bahwa pintu itu menuju toilet pribadi, tapi ternyata pintu itu berisi ruang pribadi.
“Baik, Tuan Muda.”
Kirana membawa dua cangkir kopi ke pintu tersebut dan menemukan sebuah ruang istirahat yang nyaman untuk Akasa yang suka bekerja keras di perusahaan hingga lupa pulang ke rumah. Terdapat satu ranjang queen size, pantry terbuka dan juga pintu menuju kamar mandi.
Wanita itu bolak balik antara ruang kerja dan ruang pribadi Akasa. Ia mencuci setiap cangkir kopi kotor pada pantry dan meletakkannya di sana.
Saat selesai, Kirana kembali ke ruang kerja untuk merapikan setiap helai pakaian kotor yang berserakan.
“Dimana saya harus meletakkan pakaian kotor ini, Tuan Muda?”
“Bawa pulang dan cuci dirumahmu!”
Kirana mengerjap kaget, wanita itu menatap Akasa tak percaya. Ia seolah mendengar bahwa bulan berbentuk kotak dan bumi berbentuk segitiga.
Apa pria itu gila?
“T—Tapi…”
“Tidakkah kau mendengar saya?”
“Saya yang mencuci pakaian ini?”
“Di rumahmu!”
“Di rumah saya?”
Kirana merasa seperti orang bodoh yang harus mengulang perintah itu dengan terbata-bata. Membawa pakaian kotor Akasa ke rumah saja sudah terasa salah, apalagi jika mencuci dan menjemurnya disana. Semua tetangga yang melihat, bahkan Susilo maupun Rosa pasti menyadari keberadaan baju mewah dan berukuran besar ini di antara baju-baju sederhana mereka.
“Tapi, tuan—”
“Tidakkah kamu mendengar perintah saya!?”
“S—Saya mendengarnya, tapi bagaimana jika suami saya melihat. Dia pasti bingung kenapa saya harus mencuci semua ini di rumah…”
Kirana membatin, “Pasalnya, di antara baju dan jeans bagus ini, terdapat pakaian dalam pula! Sungguh tak senonoh! Bagaimana mungkin dia menyuruh istri orang yang bukan pembantu apalagi pelayannya untuk mencucikan semua ini…”
“Itu bukan urusan saya!”
Akasa berdiri dari kursi, lalu berjalan ke hadapan Kirana. Gerakannya luwes dan santai, pria itu seperti harimau yang sedang memantau calon mangsanya.
Glek!
Kirana mengerjap melihat kedatangan Akasa, ia hendak mundur, namun anehnya kaki Kirana justru membeku seolah terpaku pada lantai tempatnya berdiri.
Kirana tersudut, kaki wanita itu mundur dengan langkah goyah hingga pinggulnya tersudut pada sebuah meja meeting yang berada di tengah ruangan, “T—Tuan Muda, Aku tidak bermaksud menolak perintah Anda, tapi…”
“Tapi?”
Akasa berhenti tepat di depan Kirana yang terjebak di antara meja dan dirinya. Perbedaan tinggi di antara keduanya membuat Akasa menunduk total, sementara Kirana mendongak sempurna. Pada saat itu pula Kirana benar-benar menyadari jika Akasa dewasa memiliki tubuh yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Dadanya bidang, perutnya ramping dan tangan-tangan yang cukup berotot.
“Tapi, rasanya tidak etis jika Aku mencuci pakaian Anda. Apalagi Suamiku tahu bahwa aku bukan pelayan Anda, dia pasti bertanya-tanya kenapa aku harus melakukan semua ini?”
“Lalu?”
“La—Lalu…”
“Jangan diam. Jawab dengan benar…”
“Lalu baiknya pakaian ini dicuci oleh pelayan Anda di rumah agar suamiku tidak marah.”
Akasa menunduk cepat, salah satu tangannya meraih rahang Kirana dan mencengkramnya keras. Pria itu melotot marah dan berucap dingin di depan bibir Kirana.
“Saya tidak peduli. Cuci pakaian itu di rumahmu dan kembalikan kepada saya lusa nanti! Jika tidak, saya akan menghukummu di ruang pribadi yang baru saja kau masuki!!” *