12. Istri Pertama dan Istri Kedua

1252 Kata
“Sama-sama kotor. Kalian sangat pas.” Kirana bersembunyi di balik selimut dengan air mata yang mengalir deras. Ia sesenggukan hingga hampir sulit bernapas. Hinaan Akasa terngiang sepanjang jalan hingga tengah malam menjelang. Malam ini anak-anak sudah tidur dan Kirana masih terjaga dengan lelehan kristal perasaan yang tak henti-hentinya mengalir sejak satu jam yang lalu. Ia mulai lelah, matanya berat dan hatinya dikelilingi oleh jarum-jarum yang menusuk. Sakit rasanya. Perih hatinya. Ia tidak bisa tidur memikirkan ucapan dan tatapan jijik Akasa kepadanya. Seharusnya Kirana tidak perlu memperdulikan ucapan kejam yang Akasa lempar untuknya dan Susilo. Namun penghinaan itu seolah memiliki makna ganda yang tersembunyi dibaliknya, kotor bukan sekedar tentang penampilan Susilo yang dipenuhi oli, bukan sekedar penampilan sederhana Kirana yang tak seindah Amanda. Tapi kotor yang lainnya. Akasa seolah bermaksud mengungkit bahwa Kirana adalah wanita kotor yang tak pantas dinikahi oleh lelaki suci seperti Susilo. Wanita ternoda yang tak utuh. Bunga yang dibuang dengan kejam setelah dihisap semua sarinya. Tapi, apa yang sedang lelaki itu pikirkan? Bukankah dia yang membuatku menjadi kotor dan tak layak? “Bukankah dia yang telah merenggut semua masa mudaku? Membuatku kotor dan tak layak untuk dipinang lelaki baik seperti Susilo?” Tanya itu membuat tangis Kirana semakin membanjir, ia sudah lelah, sangat lelah. Tapi ingatan masa lalu tentang pria itu membuat luka hatinya kembali basah dan bernanah. Belum ada yang bisa menyembuhkan luka hati itu sepenuhnya, walau waktu sudah berlalu sekian tahun lamanya. Kirana menggigit bibir dan membekap mulutnya sendiri agar suara tangisnya tak membangunkan Dwika dan Dhika yang terlelap. Ia pun bangkit dari ranjang, menghapus air mata dan membawa bantal keluar dari kamar. Di luar kamar, Kirana menemukan Susilo yang sedang duduk di ruang tengah. Pria itu duduk di permukaan tikar sambil memandang secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas. Susilo mendongak, tak ada keterkejutan dari ekspresi pria itu saat melihat mata Kirana yang bengkak dan wajah yang lembab. Susilo seolah bisa menebak bahwa Kirana sedang menangis di dalam kamarnya. Pria itu tersenyum lembut. Senyum seorang pria saleh yang tak pernah lepas dari air wudhunya. Susilo tak pernah marah jika tidak diperlukan. Selalu mengambil jalur tenang dan berbicara baik-baik untuk menyelesaikan semua masalah. Bahkan setelah penghinaan yang diterimanya tadi sore, Tak sekalipun Susulo marah karena ucapan Akasa. Pria itu pun tak membahasnya sama sekali, malah fokus membicarakan rencana untuk mengajak Dwika dan Dhika pergi ke pasar malam bersama Rosa. Susilo memang sebaik itu. Ia tahu Kirana membutuhkan waktu sendiri, jadi ia mengajak Rosa dan anak-anak pergi ke pasar malam, meninggalkan Kirana di rumah dengan seluruh kegundahannya. “Tidak bisa tidur?” Bibir Kirana mengerucut, kepalanya menggeleng kecil. “Tidak.” “Kemari, duduk di samping Akang.” Susilo menepuk posisi kosong di sampingnya. Wanita itu pun mengikuti instruksi Susilo dengan menempati posisi di samping pria itu. Kirana bersandar di dinding sambil memeluk bantal yang dibawanya. Kondisi ruang tengah hening selama beberapa saat, sampai akhirnya Susilo menepuk pahanya. Mempersilahkan Kirana untuk berbaring dan menjadikan pahanya sebagai bantal. “Kira tidak mengantuk, kang.” “Tapi pasti capek setelah seharian naik turun gedung tinggi itu. Berbaringlah, rehatkan tubuh di samping Akang…” Susilo benar. Kirana merasa tubuhnya sangat letih setelah semua kecamuk hati dan kegiatan yang dilakukannya di kantor group Atmajaya. Rasa lelah yang berkali-kali lipat dari biasanya namun tak cukup mampu membuatnya terlelap nyenyak. Ibunda Dwika dan Dhika itu pun berbaring miring di permukaan tikar yang keras, lalu menjadikan paha Susilo sebagai bantalnya, sedangkan kedua tangan Kirana memeluk bantal sebagai gulingnya. “Maafin Kira, Kang…” tetes basah kembali mengalir dari sudut mata Kirana. “Gara-gara Kira, Akang dihina seperti tadi…” “Tidak usah dipikirkan. Ucapan seperti itu tak layak mendapat perhatian dari kita. Mari kita abaikan saja…” Susilo membelai kepala Kirana, ibu jarinya mengusap kristal bening dari wajah cantik istri keduanya. “Benar, mari kita abaikan saja…” sambung Rosa yang ternyata baru saja muncul dari dalam kamarnya. Pintu kamar istri pertama Susilo sejak awal terbuka, sebab itu kehadirannya yang tiba-tiba membuat Kirana dan Susilo sempat terkejut. Rosa menatap Kirana khawatir, wanita itu memperhatikan penampilan Kirana lamat-lamat. Desah kesal keluar dari bibir manisnya tatkala menemukan mata Kirana bengkak dan merah. “Pasti berat untukmu menghadapinya hari ini…” Kirana menyimpulkan bahwa Susilo sudah menceritakan semua kejadian sore ini kepada Rosa. Ia pun mengangguk lesu. Rosa dan Susilo selalu perhatian kepadanya. Tak sekalipun mereka meremehkan dan menggampangkan segala perasaan yang berkecamuk di dalam d**a Kirana. Mereka sangat memperhatikan kondisi mental Kirana. “Kemari teh, berbaring di samping Akang…” Susilo menepuk paha kanannya untuk Rosa. Rosa pun melakukan perintah suaminya. Berbaring di sebelah kanan Susilo dan meletakkan kepalanya di paha pria itu. Susilo membelai kepala istri pertama dengan tangan kanannya, dan membelai kepala istri kedua dengan tangan kirinya. Belaian yang sama-sama lembut. Sama-sama penuh kasih dan perhatian yang adil. Kirana tak pernah menyangka jika dirinya akan menjadi istri kedua bagi seorang pria, dan menjadi madu bagi seorang wanita. Ia tak pernah berpikir bahwa dirinya akan menjalani hidup poligami semacam ini. Kirana kecil dan muda selalu membayangkan masa depannya bersama Akasa. Tumbuh dewasa bersama, menikah dan memiliki anak-anak yang lucu seperti Dwika dan Dhika, lalu happy ending selamanya. Kenyataan memang kenyataan. Impian tak selalu terwujud pada kehidupan realita. Mimpi tetap bertahan sebagai mimpi, dan realitas berjalan sebagaimana mestinya. Kenyataannya adalah Kirana menjadi istri kedua, Hidup berbagi suami dengan wanita pertama. Sejauh ini, tak ada masalah berarti yang muncul di rumah tangga mereka, kecuali masalah keuangan yang morat marit karena harus membantu Kirana mengobati Dwika setiap bulannya. Kirana bersyukur tidak ada drama poligami sebagaimana yang sering disaksikannya ditengah masyarakat. Tidak ada kecemburuan berlebih. Tidak perseteruan antara Rosa dan dirinya. Semua berasal dari keadilan Susilo dalam memperlakukan mereka berdua. Tak ada istri yang tidak mendapat perhatian dan kasih sayang. Tidak ada istri yang tidak mendapat kelembutan hatinya. “Jadi, apakah neng akan pergi bekerja lagi hari ini?” tanya Susilo. Kirana mengangguk, “Terpaksa, Kang.” “Tidak usah, neng. Daripada neng sakit hati terus kalau berangkat bekerja! Lebih baik kita berdagang saja seperti biasanya…” timpal Rosa. “Kira pun berpikir demikian, Teh. Kira tidak akan sanggup menghadapi pria itu. Tapi, Gaji yang ditawarkan besar dan bisa memenuhi biaya pengobatan Dwika bulan depan. Sudah gitu…” “Sudah gitu?” “Om Atmajaya ada di ruangan wawancara, Kira tak enak menolak tawaran pekerjaan darinya. Jadi terpaksa, Kira menandatangani dokumen kontrak itu.” “Ck! Teteh bilang apa, kamu tidak perlu kesana. Kita bisa berusaha bersama untuk mengumpulkan biaya pengobatan Dwika. Kamu sih, ngeyel…” “Iya, Teh. Tapi sampai kapan aku menyusahkan teteh dan akang terus… uang kalian selalu habis untuk kami.” “Tidak apa-apa, uang bisa dicari, Kira!” sahut Rosa. “Tapi…” Susilo menengahi kedua istrinya yang bersitegang. Pria itu pun menyela. “Sudah, jangan saling berdebat. Semua sudah terlanjur, sekarang yang kita butuhkan adalah solusi. Bertemu setiap hari dengannya adalah hal yang akan membuatmu teringat pada sakit hatimu. Itu tidak baik, Neng. Emosimu tidak akan stabil saat berjumpa dengannya…” “Iya, lagipula, bukankah neng bilang sendiri kalau pria itu sedang sekolah di luar negeri jadi tidak mungkin ada di Indonesia?” “Pria itu tidak melanjutkan S2 nya karena ingin menikah dengan gadisnya, teh.” Ucapan Kirana berhasil membungkam Rosa dan Susilo. Dua orang itu menatap Kirana dengan tatapan khawatir luar biasa. “Neng…” “Aku tidak baik-baik saja. Tapi aku tidak ingin memikirkan tentang hal itu, toh aku sudah menikah, jadi biarlah dia pun menikah. Aku sudah memiliki anak-anakku dan kalian. Itu sudah cukup membuatku bahagia.” *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN