Sepanjang hari yang terasa selamanya itu Kirana berusaha fokus dengan kegiatan yang dilakukannya. Dimulai dari keliling gedung dan mempelajari insight tentang bisnis Atmajaya, berpura-pura sakit perut, istirahat, keliling gedung lagi, dan bepura-pura lemas lagi hanya untuk menghindar dari Akasa dan Amanda yang masih berada di gedung yang sama dengannya. Beruntung Om Raden adalah orang yang sangat pengertian dan baik, walau terlalu bersemangat mengenalkan Kirana kepada seluruh isi gedung, namun pria itu selalu mengerti jika Kirana memiliki kondisi yang tidak baik, terutama kondisi hatinya. Om Raden mempersilahkan Kirana beristirahat di kantornya dan memberikan Kirana obat-obatan, hingga akhirnya saat siang menjelang sore, Om Raden berkata bahwa kondisi Kirana sudah baik-baik saja dan siap untuk melakukan wawancara.
Disinilah Kirana berada, di ruang wawancara bersama personalia untuk melakukan segala proses tanya jawab, perkenalan pribadi Kirana dan perkenalan perusahaan secara lebih mendalam. Kirana pun mempelajari jobdesk yang akan diembannya pada rencana pembangunan sebuah fasilitas hunian di daerah perbukitan yang akan dibangun oleh Atmajaya Construction.
Kirana akan menjadi staff umum yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli lahan yang mereka butuhkan untuk pembangunan tersebut. Kirana dinilai memiliki potensi besar untuk mengatasi hal tersebut karena dirinya adalah warga asli di perkebunan dan mengenal hampir sebagian besar orang-orang yang ada. Ia pun memiliki kemampuan persuasif untuk membujuk dan menjelaskan kepada masyarakat mengenai proyek tersebut dengan cara yang lebih bersahabat dan mudah diterima.
Wanita itu telah melihat blue print rencana pembangunan yang dibuat oleh Akasa dan terkagum-kagum pada hasil rancangan pria itu. Terdapat beberapa jenis blue print, dimulai dari hunian villa, hotel, seluruh rencana pengembangan dan lain sebagainya. Setiap blue print tersebut selalu memiliki nama Akasa di dalamnya, didukung oleh beberapa arsitek lainnya.
Setiap kali melihat hasil Karya Akasa, kirana akan selalu menggumam kagum dan tidak menyangka jika Akasa benar-benar sudah mencapai impiannya. Sudah menggengam segala hal yang pria itu inginkan dimuka bumi.
Sungguh hal yang sangat menyebalkan bukan?
Pria itu memiliki dan meraih segala yang diinginkannya, sedangkan Kirana kehilangan segala yang dimilikinya.
Pemikiran yang penuh rasa tidak bersyukur itu sempat hadir di dalam benak Kirana selama beberapa kali. Keberadaannya di gedung ini tentu saja menjadi pemicu utama ia merasa hal seperti ini.
Sebelumnya Kirana selalu berusaha bersyukur dengan hidupnya, ia memiliki suami yang menjaganya, madu yang sangat pengertian kepadanya, dan dua anak kembar yang sangat disayanginya. Kirana merasa hidup ini lengkap dan bahagia. Namun kehadiran pria itu membuat Kirana berkali-kali merasa tidak bahagia. Merasa iri. Merasa kecewa pada diri sendiri.
Kecewa karena tidak mampu meraih impian yang dicita-citakannya.
“Astagfirullah…”
Kirana memohon ampun setiap kali rasa tidak bersyukur menguasai dadanya. Wanita itu menelan semua rasa sedihnya agar tidak menguasai kepalanya.
Sulit untuk merasa bersyukur saat dihadapkan dengan kenyataan pahit yang dihadapinya. Dalam enam tahun terakhir Akasa hidup lengkap dan bahagia karena memiliki orangtua, harta dan kekasih yang cantik. Sedangkan Kirana adalah yatim piatu dan tak berharta. Akasa mampu mencapai impiannya, dan Kirana telah kehilangan seluruh impian dan masa depannya.
Hidup sungguh tak adil.
“Sudah selesai membaca semua rencana pembangunan kami?” tanya kepala bagian personalia yang bernama Andika.
“Sudah, Pak.”
“Bagus, artinya Nona Kirana sudah mengerti segala hal yang kami rencanakan dimasa depan. Sekarang adalah waktunya untukmu tanda tangan kontrak kerja. Karena Nona Kirana masih baru pertama kali bekerja sebagai staff, Kami akan mengontrak Nona selama enam bulan. Jika pekerjaan Nona bagus dan Tuan Besar puas dengan hasilnya, kami akan memperpanjang kontrak ini.”
Kirana mengangguk paham, sambil menerima lembar kontrak yang pria itu ulurkan.
“Silahkan baca baik-baik isi kontraknya dan tanda tangani jika Anda setuju.”
“Baik, Pak. Saya akan membacanya terlebih dahulu.”
“Bagus, saya akan keluar sebentar untuk mengurus beberapa surat dan kembali dalam waktu cepat. Jika ada yang ingin ditanyakan, silahkan Nona Kirana menunggu saya kembali, jika semuanya baik-baik saja, silahkan Nona Kirana langsung menandatanganinya. Paham?”
“Paham, Pak.”
Pak Andika pun keluar dengan tergesa-gesa, meninggalkan Kirana seorang diri di dalam ruang wawancara. Kirana terpaku pada berkas kontrak pekerjaannya. Ia bimbang bukan main saat harus dihadapkan dengan keputusan yang harus diambilnya.
Jika Kirana menandatanganinya, maka ia harus menguatkan hati dan mental untuk bekerja di gedung yang sama dengan Akasa. Ia harus siap menghadapi kesedihan dan sakit hati layaknya bertahun-tahun yang lalu. Ya, Kirana harus siap membuat hatinya kebas dan mati rasa untuk kesekian kalinya. Melihat Akasa dan Amanda pagi ini saja membuat Kirana ingin melarikan diri sejauh mungkin, apalagi jika melihat mereka berdua bermesraan setiap harinya, mungkin Kirana akan banyak-banyak membuat alasan agar tidak masuk bekerja.
Selain itu, Bekerja di tempat ini akan menimbulkan resiko kepada kedua anak kembarnya. Keberadaan mereka tidak boleh terendus oleh orang-orang dari keluarga Atmajaya maupun seluruh warga perkebunan seperti Amanda. Si Kembar harus tetap tersembunyi dan aman di bawah naungan Susilo. Dua anak yang menjadi harta paling berharga Kirana itu tidak boleh sampai diketahui keberadaannya.
Tapi jika menimbang jumlah gaji yang akan diterimanya, Kirana menjadi semakin bingung. Gaji ini sangat besar bagi Kirana yang selama ini bekerja serabutan, semua uang-uang ini bisa digunakan untuk pengobatan Dwika dan menabung untuk biaya sekolah Dhika. Ia bisa meringankan beban Susilo dan Rosa yang selama ini mendukung keuangannya dengan menyuplai kebutuhan rumah sakit Dwika dan biaya-biaya lainnya. Tidak mungkin Kirana merepotkan dua orang baik hati itu selamanya, ia harus bisa melepaskan keluarga kecilnya dari kesulitan ini dengan cara mencari uang sebanyak-banyaknya.
Saat sedang bimbang-bimbangnya, sebuah tangan menepuk pundak Kirana hingga membuat wanita itu terperanjat di tempat duduknya.
“Kirana, apa yang kamu lamunkan, nak?”
“Om Raden…” pekik Kirana.
“Kamu fokus sekali sampai tidak menyahut saat Om panggil.”
“Maaf, Om. Aku sedang fokus membaca surat kontrak ini dan terkejut melihat jumlah gaji yang besar itu!”
“Kamu terlalu merendah, gaji itu tidak besar bagi anak gadis juragan Wong! Itu jumlah yang cukup saja!”
“Tetap saja, saya masih belum punya pengalaman pada bidang ini…”
“Kamu memiliki kemampuan berdagang dan persuasif yang baik. Bedanya yang kamu jual saat ini adalah konsep pembangunan dan jual beli lahan. Sesuatu yang lebih besar dari seharusnya. Jadi tidak usah pusing… cepat tanda tangani surat itu, Kirana. Sekarang sudah menjelang sore resepsionis bilang bahwa suamimu menunggu di luar…”
“Benarkah, Om?”
“Ya, barusan Om mendapat telpon dari mereka, katanya Suamimu sudah menunggu. Jadi cepat tanda tangan, tunggu apa lagi!”
Kirana terpaku pada surat yang ada di depannya. Ia masih belum bisa memutuskan, namun desakan Om membuat Kirana tidak enak hati.
“Apa yang membuatmu ragu, Kirana?”
Kirana tersenyum kecil, rasa tidak enak hati menyelimuti dadanya, ia merasa sangat tidak sopan jika harus menolak kontrak tersebut dihadapan Om Atmajaya yang sangat baik kepadanya sepanjang hari ini, “Tidak ada, Om.”
Ia pun menandatanganinya dengan terpaksa.
Baru saja selesai menandatanganinya, muncul suara menyebalkan dari pintu yang mengalihkan perhatian Kirana.
“Kirana, aku dengar suamimu datang menjemput. Bolehkah kami berkenalan dengannya?” tanya Amanda yang berdiri di samping Akasa yang selalu menampakkan ekspresi datar dan tak tertarik kepada apapun yang ada di depannya. *