Menuruni anak tangga seharusnya menjadi hal yang mudah dilakukan bagi Kirana, namun kegiatan itu menjadi lebih sulit saat Akasa dan Amanda berjalan mesra di depannya.
Amanda memeluk tangan Akasa dan menyandarkan kepala di puncak tangan pria itu. Keduanya berjalan dalam mode santai sedangkan Kirana berjalan seorang diri di belakang mereka, karena Om Raden harus menemui tamu calon investor yang berkunjung tiba-tiba.
“Sayang, Aku penasaran sekali tentang suami Kirana. Lelaki beruntung seperti apa yang telah berhasil mendapatkan hati gadis secantik dirinya…” ujar Amanda, “Apakah kamu juga penasaran?”
Dengan suara rendah dan dingin, pria itu pun menjawab, “Sebentar lagi kita menemuinya sesuai keinginanmu.”
“Jadi ini hanya keinginan wanita itu, bukan keinginanmu? Apakah kamu tidak ingin tahu sedikitpun?” tanya Kirana dalam hati. “Tidakkah kamu peduli padaku?”
Diam-diam Kirana menyesal karena sudah menandatangani dokumen kontrak kerja itu. Ia tak siap jika harus melihat pemandangan semacam ini setiap harinya, persis seperti yang terjadi pada akhir masa SMA, dimana Amanda menggantikan posisi Kirana dan berjalan di samping Akasa.
Sebuah pemandangan yang tak hanya menghancurkan hati, namun juga menghancurkan nama Kirana di depan semua kawan-kawan sekolah mereka.
Bagaimana tidak, saat itu seluruh siswa, guru dan bahkan para penjaga sekolah tahu bahwa Kirana dan Akasa adalah sepasang sahabat yang selalu berdua kemanapun mereka pergi. Mereka terkenal kompak dan tak pernah lepas dari satu sama lain, bahkan Akasa selalu menemani Kirana ke toilet dan menunggui gadis itu hingga selesai di luar toilet, begitu pula sebaliknya. Keduanya selalu satu kelas sejak awal hingga akhir. Pulang dan pergi sekolah bersama, satu kelompok belajar, satu meja, dan selalu berdua apapun yang terjadi.
Kedekatan mereka membuat semua orang bergosip bahwa Kirana dan Akasa tidak hanya bersahabat, namun juga berpacaran dan hendak bertunangan. Gosip yang kemudian dipatahkan oleh perubahan mendadak yang terjadi di antara keduanya.
Pada saat memasuki kelas tiga SMA, Seluruh sudut sekolah dipenuhi gosip baru tentang Kirana dan Akasa yang tak lagi berteman akrab, tak lagi menjadi sepasang kekasih yang romantis dan tak pernah pergi berdua kemana-mana. Seluruh siswi yang iri pada kedekatan Kirana dengan pria setampan Akasa tersenyum puas saat melihat perubahan itu, namun juga meringis kecewa saat Akasa justru mendekat pada Amanda.
Tak bisa dipungkiri bahwa saat itu nama Kirana tercoreng di depan semua teman sekolahnya. Ia dianggap sebagai wanita yang terbuang, wanita yang tidak diinginkan dan dilepeh setelah prianya bosan. Posisinya sebagai “sahabat atau pacar Akasa” telah digantikan oleh Amanda yang jauh lebih cantik, anggun dan menarik jika dibandingkan dengan Kirana.
Di mata semua orang, Amanda adalah gadis berbakat yang pantas mendapat pria seperti Akasa. Amanda yang bersuara indah adalah pemimpin ekstrakurikuler paduan suara yang selama ini Kirana ikuti. Setiap kali Akasa menemani Kirana latihan paduan suara hingga sore hari, Amanda selalu berusaha mencari kesempatan untuk mendekati Akasa. Semua orang menyadari upaya Amanda dan tidak menyangka jika ternyata pada akhirnya Amanda berhasil merebut Akasa dari Kirana. Wanita itu mengikat Akasa dan menggandengnya kemanapun ia mau. Mereka mengabaikan Kirana sehingga harus menghadapi segalanya sendirian, bahkan saat Kirana harus menjadi bulan-bulanan gosip semua orang.
Tercoreng sebagai wanita terbuang, tidak lebih cantik dan tidak lebih berbakat daripada Amanda membuat Kirana hancur. Ia menarik diri dari pergaulan. Berhenti bicara kepada semua orang. Berhenti ekstrakurikuler dan bahkan tidak keluar rumah selain hanya untuk sekolah.
Kirana menghabiskan kelas tiga SMA nya dalam diam yang begitu menyakitkan. Wanita itu hanya duduk di sudut kelas sambil memperhatikan bagaimana dirinya menjadi pusat gosip setiap harinya.
Hal yang merusak mentalnya itu terjadi hampir setahun penuh. Akasa telah berhasil merusak Kirana dengan caranya yang tidak biasa, membuat gadis itu trauma dalam berteman dan tak mudah percaya kepada siapapun yang berusaha membangun pertemanan dengan Kirana. Saat itu Kirana berpikir, jika Akasa yang berteman sejak kecil saja mampu menyakitinya seperti ini, maka orang lain tak akan segan untuk melakukan hal yang sama kepadanya.
Kirana tak ingin perasaan tak layak dan terbuang itu kembali ke dalam dirinya. Bertahun-tahun Kirana berusaha untuk menyembuhkan diri dari semua trauma dan perasaan buruk yang Akasa berikan kepadanya. Bertahun-tahun pula Kirana berusaha menekan semua pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban, pertanyaan yang selalu menghantui setiap sendi kehidupan Kirana; Jadi, Setelah semua hal yang Kirana berikan untuk Akasa, Setelah semua hal yang Kirana lakukan bersama Akasa, dan banyaknya hari yang mereka lalui berdua, kenapa Akasa begitu tega meninggalkannya? Membuangnya seolah Kirana adalah sampah yang tak memiliki arti apa-apa?
“Kirana, suamimu yang mana?”
Pertanyaan Amanda membuyarkan lamunan Kirana. Wanita itu mengerjap dan baru sadar jika ternyata mereka sudah sampai di depan lobby utama.
Kirana melihat ke sekitar, ia menemukan beberapa pria di luar pintu utama, dan saat menoleh ke kiri, Kirana pun menemukan Susilo yang sedang jongkok sambil mengecek ban motor tuanya.
Susilo tidak menyadari kehadiran Kirana yang tak jauh darinya.
“Susilo Soedirman…”
Hati Kirana berdenyut oleh rasa bersalah kepada suaminya, ia sempat tidak yakin dan tidak percaya diri saat harus mengenalkan pria itu kepada Akasa dan Amanda.
Kirana merasa Susilo tidak sepadan dengan Akasa yang jauh lebih unggul dari Susilo, baik dari aspek tampang maupun uang. Susilo tidak ada apa-apanya jika dibanding Akasa. Pria itu sangat sederhana dan tidak bisa disamakan dengan Akasa yang memiliki ketampanan yang memukau semua orang yang melihatnya.
Tapi, saat menyaksikan punggung lelah Susilo setelah seharian bekerja, dan sekarang harus berjongkok di depan kantor Kirana sambil mengecek motor tuanya, juga segala upaya Susilo untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecil mereka, sejak saat itu Kirana semakin menyadari bahwa pikirannya salah. Ia telah salah besar dalam menilai segala sesuatunya.
Susilo jauh lebih baik dari Akasa. Pria itulah yang melindunginya selama bertahun-tahun, menaunginya dari angin, panas dan hujan. Melindunginya dari kelaparan. Menjaga Kirana dan anak-anak tanpa pamrih dan keberatan.
Susilo adalah pahlawan Kirana. Pahlawan bagi keluarga kecil mereka. Tak ada yang lebih baik dari Susilo di dunia ini, bahkan Raden Akasa Atmajaya sekalipun.
Susilo adalah suaminya. Segalanya. Lelaki yang seharusnya mendapat cinta dan kasihnya. Orang yang wajib dan layak mendapat seluruh pemujaan hati Kirana. Bukan jenis lelaki tak bertanggung jawab yang melarikan diri, melainkan lelaki yang mengambil seluruh beban di pundak Kirana. Merengkuh dan melimpahi Kirana dengan kasih sayangnya.
Dengan rasa haru, cinta dan terimakasih yang terbit begitu besar, Kirana berlari ke tempat Susilo.
Wanita itu sangat bersemangat, bahkan matanya berkaca-kaca oleh rasa syukur yang memenuhi dadanya.
“Akang!” panggil Kirana dengan suara lembutnya.
Susilo pun menoleh ke belakang, senyum lebar merekah dari bibirnya, tubuh Susilo pun berdiri dan berbalik untuk menyambut Kirana.
“Neng Kira sudah selesai?”
Mata Kirana bergetar melihat penampilan Susilo yang tercoreng oli motor.
“Malaikat inilah yang telah menjagaku selama ini, Malaikat ini pula yang memelukku dalam tangis dan bahagia. Bagaimana mungkin aku beranggapan bahwa malaikat ini tidak lebih baik dari pria yang telah membuangku? Bagaimana mungkin aku menyejajarkan malaikat ini dengan iblis yang tak bertanggung jawab dan melarikan diri dari kenyataan? Kau memang bodoh, Kirana…” rutuk Kirana dalam hati.
Pria itu menyadari tatapan Kirana dan mencoba mengelap oli di wajah, tangan dan pakaiannya. Susilo berpenampilan kacau sekali sore itu, Ia berkeringat deras, pakaiannya basah dan wajahnya lelah oleh semua kesibukan yang dilaluinya. Tapi seberat apapun harinya, pria itu tetap tersenyum ceria, bahkan senyuman itu menular pada Kirana.
“Maaf, tadi motor sempat mogok, jadi akang telat jemput Neng Kira, tapi sekarang motornya sudah baik-baik saja kok, sudah aman, neng…” ujar Susilo sambil mengelap pakaiannya yang juga terkena oli, “Neng jangan khawatir, nanti baju ini Akang cuci sendiri supaya neng Kira tidak repot, pasti susah menghilangkan oli ini…”
Mendengar suara Susilo yang lembut dan penuh pengertian membuat setetes air mata mengalir begitu saja. Hati Kirana yang kedinginan sepanjang hari karena badai musim salju yang dibawa Akasa, kini mulai menghangat berkat kehadiran Susilo.
Rasa syukur meluap sebagaimana air matanya.
Rasa terima kasih tak pernah sebesar saat ini.
“Akang…”
Kirana memeluk Susilo erat-erat, ia sangat bersyukur Tuhan mempertemukannya dengan pria ini. Kirana merasa sangat beruntung memiliki Susilo yang sangat baik kepadanya, terutama kepada anak-anaknya.
“Makasih sudah jemput Kira, Kang.” *