Kirana tahu cepat atau lambat dirinya pasti akan mendengar kabar semacam ini. Kirana pun harus siap menerimanya dengan lapang hati. Namun siapa sangka, bahkan ketika tak ada hubungan apapun antara dirinya dan Akasa, tak ada sedikitpun ikatan hati yang terjalin ditengah mereka selama enam tahun lamanya, namun Kirana masih saja bereaksi seperti gadis remaja yang patah hati.
Dadanya bergemuruh layaknya malam berguntur, matanya bergetar dan panas luar biasa. Kirana tersenyum kaku, berpura-pura terkejut, padahal sebenarnya dia sedang menyesuaikan reaksi wajahnya agar terlihat normal di depan semua orang. Dengan seluruh kemampuan pura-pura bahagia yang sering ditunjukkannya semasa kehilangan Akasa, ia pun tersenyum lebar dan menutup tangan di depan mulut. Berlagak terkejut oleh kabar bahagia yang Amanda bagikan.
“Kalian? Menikah? Benarkah?”
Amanda tersenyum lebar, sangat lebar dan bahagia, “Ya, Kirana. Kami akan menikah. Rencananya tiga bulan setelah pertunangan…”
“Ya Tuhan, saya senang mendengarnya. Semoga kalian bahagia dan semuanya lancar…” Kirana menoleh pada Om Raden, “Om, selamat ya…”
Om Raden merangkul Kirana, tawa senang timbul dari mulutnya, “Terima kasih Kirana, ini memang sedikit mengejutkan, namun kami menerima apapun keputusan mereka. Rupanya bocah bengal ini tak mau melanjutkan S2 nya di Eropa karena kebelet nikah! Ck! Siapa yang menyangka…” seloroh Om Raden sambil menepuk puncak kepala putranya.
“Ayah…” protes Akasa sambil menahan tangan Ayahnya.
Kirana mengangguk sambil terus memamerkan senyum kecilnya. Senyum manis yang berisi kepahitan. Namun Kirana enggan berlama-lama meresapi rasa pahit yang selama ini menemani hari-harinya. Sudah cukup. Sudah banyak pahit yang dirasakannya sejak Amanda muncul, dan ia tak boleh berlama-lama tenggelam di dalamnya.
Kirana menelan ludah, ia menggigit bibir untuk menekan seluruh perasaan di dalam dirinya dan berusaha untuk mengembalikan akal sehat di kepalanya.
“Jangan egois, bukankah kau juga sudah menikah. Biarkan mereka bahagia dan menikah. Lagipula bukankah kau menikah lebih dulu darinya? Biarkan dia melanjutkan hidupnya, dan lepaskanlah segala kepedihan yang ada… untuk sekarang, kau hanya perlu fokus pada keluarga kecilmu, Kirana… kepada Dhika dan Dwika… Kamu harus mencari uang sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan perawatan Dwika, bukankah itu alasan utamamu datang ke tempat ini?” seru Kirana dalam hati.
Kirana menangguk kecil. Akal sehatnya sudah kembali dan kepedihan yang sempat menyeruak berhasil ditekannya dalam-dalam. Kirana tersenyum lega, senyum yang benar-benar tulus dan berbeda dari sebelumnya. Wanita itu menarik tangan Amanda, dan menggenggamnya semangat. Matanya berbinar-binar menatap si cantik jelita.
“Aku benar-benar senang untukmu, Manda. Aku sangat berharap kalian bahagia, sama seperti aku dan suamiku. Kami hidup bahagia setelah menikah. Rumah tangga sederhana yang membuat segalanya terasa lengkap.”
“Benarkah kamu bahagia?”
Deg!
Pertanyaan itu diucapkan dengan nada tenang namun terkesan tajam dan ketus hingga Kirana bisa merasakan ketidaksukaan dalam suaranya. Bahkan ekor mata Kirana pun menemukan bahwa pria itu sedang menatapnya dengan hujaman yang menusuk.
Kirana menelan ludah. Sekuat tenaga ia menahan leher agar tidak menoleh pada pria yang bertanya kepadanya. Kirana enggan melihat pria itu, walau ingin berdamai dengan masa lalu, walau mampu menahan semua gejolak dan rasa rindu, namun ia belum sanggup melihat pria yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya setelah kabar pernikahan itu tersiar.
“Benar, aku bahagia.”
“Benar-benar bahagia?” tekan pria itu.
“Sangat bahagia!”
“Tatap saya, apa kamu benar-benar bahagia dengan priamu yang sekarang?”
Kening Kirana mengkerut, wanita itu menoleh cepat dan berseru, “Ya, aku bahagia!”
“Tatap mata saya!” paksa Akasa.
Kirana mendengus. Lelaki itu tetap pemaksa seperti dulu!
Kirana pun terpaksa melabuhkan pandangannya pada netra hijau Akasa, netra yang sama persis seperti yang dimiliki putrinya.
“Ya, aku sangat amat bahagia dengan kehidupanku yang sekarang. Aku telah memiliki apa yang belum pernah kau miliki, Sebab itu aku mengharapkan hal yang sama kepada kalian; kebahagiaan setelah menikah, kedamaian hati setelah semua perjuangan kalian lalui. Aku harap Aden bahagia dengan keputusan ini…” entah mengapa semakin ujung semakin lemah suara yang keluar dari mulut Kirana, netra wanita itu berkaca-kaca oleh emosi yang kembali menguasai dirinya.
Kirana menarik nafas, lalu menoleh, “Benar, kan, Om? Pernikahan bisa memberi kebahagiaan dan kedamaian hati?”
“Benar, Kirana. Pernikahan adalah penting bagi setiap manusia. Semua orang bisa saling menyalurkan fitrah berkasih sayang di dalam dirinya dengan cara yang baik seperti pernikahan.” Om Raden menunduk, menatap Kirana dalam-dalam, seolah sedang mencari sesuatu di dalam netra wanita itu, namun akhirnya Om Raden tersenyum bijak, pria itu menepuk puncak kepala Kirana dan melanjutkan, “Benar, ada kedamaian dan ketenangan batin di dalam dirimu. Suamimu pasti hebat karena bisa membuatmu merasa aman dan tenang…”
Kirana mengangguk setuju, “Aku menjadi lebih dekat dengan Tuhan ku, lebih mengerti tentang agamaku, dan lebih paham tentang dunia yang selama ini memberati pundakku. Itu semua berkat dirinya. Aku sangat bersyukur mendapat suami yang berhati lembut seperti suamiku. Papa pernah berkata bahwa seorang pria dilihat dari tanggung jawabnya, dan suamiku mampu bertanggung jawab atasku, atas kehidupan kami semua. Dia menemaniku saat senang dan sedih, kaya dan miskin, dia tak pernah meninggalkanku dan tak pernah membuatku menangis bahkan ketika aku kehilangan segalanya. Om, aku sangat bahagia, benar-benar bahagia…”
“Om sangat senang mendengarnya, Kirana. Sekarang kau bukan lagi putri Wong yang manja dan selalu mengekori kemanapun Akasa pergi, bukan lagi gadis kecil cengeng yang akan bersembunyi di dalam pelukan Akasa, namun kau sudah dewasa dan mampu menemukan kebahagiaanmu sendiri. Kakakmu pasti senang mendengar kebahagianmu. Benar, kan, Kasa?”
Om Raden, Amanda dan Kirana menoleh spontan pada Akasa yang sejak tadi diam dengan ekspresi yang gelap. Pemuda itu menatap Kirana dengan tajam dan penuh dendam. Awan hitam seolah sedang menaungi kepalanya. Rahangnya yang tajam berkedut hingga otot-otot wajahnya menyembul keluar. Akasa terlihat sangat menakutkan dengan aura gelap yang muncul tiba-tiba dari dalam dirinya.
“Akasa?”
Saat menyadari jika Sang Ayah sedang bertanya kepadanya, Akasa pun berdeham dan merubah ekspresi wajahnya menjadi netral, bahkan datar tanpa emosi yang berlebihan.
“Selamat atas pernikahanmu. Semoga kau benar-benar bahagia dan bukan hanya berpura-pura.” Jawab Akasa dingin dan terasa jauh.
Pria itu terlihat tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya sehingga membuat Kirana diserbu oleh rasa marah yang menggelegak. Dituduh berpura-pura bahagia adalah hal yang membuat tersinggung, karena memang Kirana sering melakukannya, terutama saat mendengar kabar pernikahan Amanda dan Akasa. Tapi Kirana tidak berbohong sama sekali saat berkata bahwa ia bahagia menikah dengan Susilo Soedirman.
Akasa menatap ayahnya, “Kalau begitu saya permisi, banyak sekali pekerjaan yang harus saya lakukan…”
“Hey, kalian bisa melakukan reuni lebih lama, jangan terburu-buru oleh pekerjaan!” protes Om Raden.
Usulan Om Raden pun ditanggapi dengan sangat cepat oleh Kirana, “Ack! Om! Perutku sakit lagi… Aku… Aku…”
“Ya, Tuhan! Ayo masuk ke dalam saja Kirana…” Ajak Manda, “Di dalam ada kamar mandi…”
“Tidak, aku akan menggunakan toilet di ruang kantor Om saja, kalau begitu aku turun duluan ya, Om, semuanya, daah…” *