Susilo merasa gelisah sepanjang pagi. Ia bahkan tak konsentrasi mengajar kelas hari ini. Entah mengapa, firasatnya tidak enak. Ia seolah bisa merasa sesuatu yang buruk sedang terjadi pada salah satu anggota keluarganya.
Entah Rosa, anak-anak, atau Kirana.
Sebenarnya, Susilo kerap mendapat firasat buruk dan perasaan tidak tenang sejak Kirana bekerja di Atmajaya Group. Mengingat bahwa di sana terdapat pria masa lalu istri keduanya.
Susilo selalu merasa tidak nyaman setiap kali mengantar Kirana ke kantornya. Ia takut Kirana terluka lagi oleh pria masa lalunya.
Susilo ingin sekali menghentikan Kirana agar tidak bekerja disana. Namun Susilo mengerti posisi Kirana saat ini. Istri keduanya terdesak oleh kebutuhan ekonomi untuk membiayai keperluan pengobatan Dwika yang tidak sedikit.
Biaya pengobatan Dwika sangatlah banyak, hingga menghabiskan seluruh tabungan dan warisan kedua orang tua Kirana, hingga hanya tersisa satu warisan yaitu rumah tinggalnya di perkebunan. Kirana yang bimbang enggan menjual rumah itu karena semua kenangan orang tuanya di dalam sana, namun ia membutuhkan biaya yang besar untuk pengobatan Dwika. Sebab itu, bagaimana pun bahaya nya resiko bekerja di Group Atmajaya, tempat di mana masa lalunya berada, Kirana tetap memaksa diri untuk mengais rejeki disana.
Kirana memaksakan diri demi mendapat uang pengobatan putrinya.
Susilo yang gelisah dengan semua pikiran tetang Kirana, yang berada di dalam satu gedung dengan pria bermata hijau itu pun, akhirnya keluar dari kelas. Ia berjalan cepat dan hampir terlihat seperti berlari di lorong sekolah.
Sesampainya di kantor, Susilo segera menelepon nomor kantor pasar dan menghubungi Rosa untuk mengecek apakah kondisi istri pertama dan anak kembar mereka baik-baik saja.
Kondisi pasar jauh lebih berbahaya dari sebuah kantor di pusat kota, sebab itu Susilo memprioritaskan kondisi Rosa dan anak-anaknya terlebih dahulu sebelum mengecek kondisi Kirana.
Kantor pasar memiliki posisi yang cukup dekat dengan kios Rosa hingga jawaban pun datang dengan cepat.
“Ya, Assalamualaikum, Abah?” tanya Rosa.
“Waalaikumsalam, Mbu. Apakah Ambu dan anak-anak baik-baik saja?”
“Ya, kami baik-baik saja. Anak-anak sedang bermain di dalam ruang istirahat kios. Ada Feni yang menjaga mereka.”
Feni adalah salah satu pegawai di toko A Kiong, yang tokonya bersebelahan dengan Rosa.
“Oh, Muhun atuh mun Ambu baik-baik saja.”
“Ada apa, Bah?” tanya Rosa yang menyadari kejanggalan dari suaminya.
“Tidak ada, Mbu. Abah hanya penasaran. Ya sudah, kalau baik-baik saja, Sudah dulu ya, Wassalamualaikum.”
“Ya, Bah. Waalaikumsalam.”
Panggilan pun terputus, Susilo menutup telepon dan menekan nomor telepon resepsionis Grup Atmajaya. Nomor yang didapatnya beberapa hari yang lalu untuk berjaga-jaga siapa tahu Susilo perlu mengecek kondisi Kirana, apalagi Susilo selalu resah memikirkan kondisi istri keduanya yang berada di group Atmajaya.
Panggilan pun dijawab, ternyata seorang satpam menjawab panggilan tersebut dan menjanjikan Susilo bahwa panggilan ini akan dihubungkan ke ruang kerja Kirana.
Susilo pun menunggu dalam ketegangan yang luar biasa. Ia menyeka kening yang berkeringat karena jantung yang berpacu cepat. Susilo mencoba menenangkan diri, menarik ulur nafas dengan kecepatan yang teratur.
“Mohon maaf, kami tidak bisa menghubungi ekstensi kantor Ibu Kirana. Sepertinya beliau sedang sibuk sehingga tak bisa diganggu.”
Susilo mengecek jam dinding menunjukkan pukul 07.30 pagi. Kantor perusahaan Swasta biasanya memiliki jadwal masuk pukul 08.00 atau pukul 09.00 pagi.
Sejak awal Kirana berkata bahwa ia harus menghadapi training pagi sebelum jam kantor dimulai agar tidak mengganggu waktu kerja.
Mungkin wanita itu sudah mulai training.
Tapi tiba-tiba saja Satpam berseru.
“Nah, ini dia trainer pegawai baru muncul. Biar saya tanyakan dulu ya, pak…”
“Ya, tolong tanyakan Kirana kepada beliau ya, Pak.”
Dari kejauhan sebuah suara samar seorang wanita muda terdengar oleh Susilo, “Pak Hafid, apa Bapak tahu dimana Kirana?”
Pertanyaan itu membuat Susilo tegang seketika. Kenapa trainer Kirana bertanya tentang keberadaan Kirana? Bukankah seharusnya Kirana sedang melakukan training bersamanya?
“Loh, Ibu Kirana sudah naik ke atas sejak pagi sekali, Bu Winda. Apakah tidak ada di dalam ruang meeting?”
“Tidak ada. Training sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Semua pegawai baru berkumpul kecuali Kirana. Saya tidak melihatnya dimana-mana…”
“Gusti…” lirih Susilo.
“Waduh! Kemana ya, Ibu Kirana. Saya sendiri yang membukakan pintu untuknya pagi ini. Jadi saya yakin beliau ada di dalam. Apakah Ibu Kirana ada di toilet? Atau bagaimana ya, Bu Winda?” tanya Hafid bingung.
“Nah itu dia, saya tidak tahu sama sekali keberadaannya. Tolong Pak Hafid bantu saya mencarinya karena hari ini adalah training terakhir untuk karyawan baru jadi dia harus ikut penutupan…”
“Baik, bu. Saya akan mencari Ibu Kirana dan memberi tahu ibu jika sudah berhasil menemukannya.”
“Baik, terima kasih, Pak Hafid.”
“Nggih, sami-sami, Bu.” Jawab Pak Hafid kepada Bu Winda.
Dari saluran telepon terdengar lagi, “Darmo! Saya cari Ibu Kirana dulu ya, siapa tahu lagi sakit atau apa, soalnya gak ada di ruang training!”
“Oke, biar ane yang jaga pintu. Ente cari aja sampai ketemu!”
“Sip!” teriak Pak Hafid.
Satpam itu pun kembali ke saluran telepon, “Halo!”
“Iya, Halo! Pak Hafid saya minta tolong carikan keberadaan Kirana ya, saya sangat khawatir kepadanya, ada beberapa pesan yang harus saya sampaikan…” ujar Susilo panik. Pria itu membuat berbagai macam alasan agar Hafid mau membantunya mencari Kirana.
“Ya, Pak Guru. Saya akan bantu bapak untuk mencari Ibu. Jangan khawatir. Beliau pasti aman di gedung ini, kan saya yang jaga…” jawab Hafid yang sudah mengenal Susilo sebelumnya, mereka berkenalan saat Susilo menunggu Kirana selesai bekerja.
“Baik, Pak Hafid. Terima kasih. Nanti saya telepon lagi sepuluh menit ke depan…”
“Baik, Pak Guru.”
Panggilan pun terputus. Susilo mendesah berat. Ia pun menyeka keringat.
Guru SMP itu berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir memikirkan Sang Istri.
Menurut Bu Winda, Kirana tidak masuk ruang training padahal sudah tiga puluh menit berlalu, namun Kirana tak menunjukkan batang hidungnya pagi ini.
Kemana wanita itu?
Perut Susilo melilit oleh ketegangan yang dirasakannya. Firasat buruk semakin menjadi-jadi di dalam dirinya hingga seluruh tubuh Susilo gemetar memikirkan nasib Sang Istri di dalam gedung Atmajaya.
Dalam kepanikan yang melanda, Susilo pun berlari keluar ruang kantor guru dan menyusuri lorong menuju parkiran.
“Eh, mau kemane lu?” tanya Pak Jaka, Guru kelas tiga yang berpas-pasan dengannya.
“Pak Jaka, tolong sampaikan izin saya ke Pak Kepala Sekolah, Saya ada keperluan mendesak di rumah.”
“Ada apa? Kenapa panik seperti itu?”
“Tidak tahu, istri saya tiba-tiba menghilang. Jadi saya harus mencarinya dulu. Tolong sampaikan izin saya, ya, pak?”
“Iye, nanti aye ijinin. Bapak hati-hati di jalan, jangan ngebut ye!”
“Muhun, kalau begitu saya permisi!” *