“Konon, moral selalu tidak sejalan dengan intelektual.”
Kirana menjawab tanpa membalik tubuhnya. Ia meletakkan cangkir terakhir yang sudah di lap dan melipat kain lap itu. Meletakkannya di meja dengan jari-jemarinya yang bergetar ketakutan.
Kirana memejamkan mata sejenak, hidungnya menghirup nafas perlahan demi menenangkan hatinya yang gentar. Kirana tak berani menghadapi orang mabuk, ia selalu takut setiap kali melewati tongkrongan bapak-bapak peminum alkohol di kampungnya. Apalagi sekarang ia harus menghadapi pria yang bahkan dalam kondisi tidak mabuk saja sudah seram, apalagi saat mabuk.
Istri kedua Susilo itu melirik pintu yang tertutup rapat dan ia menyesali kebodohannya saat itu juga. Kirana menyesal karena telah menutup pintu dan tak membiarkannya terbuka demi keamanannya di ruang pribadi Akasa. Ia tak pernah tahu bagaimana nasibnya di ruangan itu, jadi seharusnya Kirana membiarkan pintu kamar terbuka selama ia berada di dalamnya.
Akasa tertawa sinis, “Seorang Kirana bicara moral?”
“Ya, kau tidak salah dengar. Telingamu mendengar perkataanku dengan benar. Seseorang yang kotor sepertiku bicara tentang moral. Tidakkah Anda mempelajarinya di kampus bonafit tempat Anda berkuliah?”
“Dan apakah kamu mempelajarinya setelah semua yang kita lakukan di masa lalu?”
“Ya, aku mempelajarinya dari suamiku. Bahkan setelah semua yang aku lakukan di masa lalu, aku berusaha untuk mempelajarinya dengan baik. Hidup tak berjalan mundur, namun maju. Dulu adalah dulu, dan sekarang adalah sekarang. Aku sudah berubah, Tuan Muda. Aku mengutamakan moral di atas kesenangan pribadiku…”
Kirana tahu, seharusnya ia diam dan cukup menghindar. Meninggalkan tempat ini dengan segera, dan menyelamatkan dirinya dari Akasa, bukannya justru mengocehkan hal-hal yang membuat amarah pria mabuk itu membumbung di angkasa. Namun sayangnya, Akasa selalu mengingatkan Kirana tentang masa lalunya yang kotor dan hitam, hal yang selama ini selalu menjadi momok penyesalan terbesar dalam hidup Kirana, tapi pria yang bernama Akasa itu tak bosan mengungkit betapa menjijikannya Kirana di masa lalu. Membuat Kirana terngiang-ngiang akan segala kekacauan yang mereka lalui saat remaja. Membuat trauma dan penyesalan yang Kirana pendam selama bertahun-tahun muncul dan menghantuinya.
Kirana hidup dengan trauma dan penyesalan itu, dan selalu berusaha menyembuhkannya setiap hari bersama Susilo dan Rosa. Tapi Akasa justru tak bosan mengungkit hal itu di depan Kirana, membuat upaya Kirana terasa sia-sia.
“Kamu selalu bicara bahwa dirimu berubah, bahwa segalanya tak sama. Tapi Saya tidak percaya. Tidak ada satu orangpun yang akan percaya, jika mereka menelaah isi hatimu melalui tatapan mata yang kau berikan kepada saya…”
Kirana mendesah kecil, kepalanya menunduk menatap kedua tangannya yang saling menggenggam.
“Mungkin Anda lupa bahwa kita hidup di masa kini, walau sebanyak apapun memori dan perasaan masa lalu yang masih menghantui. Hari ini adalah valid, kita bisa mengupayakannya, namun masa lalu adalah kenangan yang tak bisa diubah dan dijangkau dengan apapun…”
Kirana menggigit bibir, kenangan masa lalunya begitu suram dan penuh patah hati karena pria yang satu ini, dan sekarang Kirana tidak ingin jika masa kini dan masa depannya rusak oleh orang yang sama.
Ia harus menghindar!
Sudah cukup ia menghabiskan akhir masa SMA dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Dilepeh dan dibuang ketika bosan. Diacuhkan dan dianggap tak ada ketika yang baru datang. Disingkirkan dari seluruh aspek kehidupannya.
Hanya karena satu wanita baru yang menjegal hubungan mereka. Hanya karena pria itu sudah bosan padanya. Hanya karena Kirana tak lebih baik dari semua orang.
Wanita naif, bodoh dan tak punya harga diri, yang selalu mengejar-ngejar yang ia pikir adalah cinta sejati.
Kirana bodoh dan salah.
Akasa bukan pria itu. Susilo adalah pria sejati yang dibutuhkannya.
Melalui Susilo, Kirana belajar menjadi lebih baik. Menjadi lebih hidup dan merasa disayangi, terutama dihargai.
Di mata Susilo, Kirana bukan sampah yang memiliki masa lalu kotor dan hitam, tapi Kirana adalah manusia berharga sama seperti yang lainnya. Susilo memperlakukannya seperti bidadari surga yang cantik, sedangkan Akasa memperlakukannya seperti sampah tak berguna. Seonggok daging yang tak layak dicinta – tak sepadan dengan si cantik Amanda. Padahal dulu mereka pernah seakrab itu, pernah sesayang itu dan sebaik itu. Tapi segalanya tak lagi sama.
“Dan tidak mungkin melupakan semua kenangan itu dengan mudah, bukan? Semua malam panas yang kita lewati? Semua kenangan manis yang kita miliki? Tak mungkin kamu melupakan semua itu dan hidup bahagia dengan suami miskinmu?”
Kirana menggeleng, “Aku tidak lupa. Kenangan memang tak pernah pergi dari kepala. Tetap ada bahkan kini berubah menjadi luka dan trauma yang membekas. Tapi Anda jangan khawatir, aku sudah menggantinya dengan kenangan baru yang lebih bahagia. Jadi, Anda bisa melanjutkan hidup tanpa gangguanku, atau apapun. Anda tetap bisa melanjutkan hidup dan berbahagia dengan masa depan Anda…”
“Tidak lupa, namun membekas dan menjadi luka dan trauma?” gumam Akasa, “Kalau begitu mari kita gubah memory itu…”
“Menggubah memory?”
“Ya, mari kita daur ulang. Jangan biarkan memory dan rasa sakit itu menjadi trauma dan luka. Mari kita buka luka itu dan menciptakan rasa sakit yang baru untuk gadis bodoh sepertimu…”
Ucapan itu berhasil membangkitkan bendera merah di dalam kepala Kirana. Sebuah peringatakn keras yang harus Kirana hindari dengan cepat.
Kirana yang tegang berkata cepat, “Saya masih ada pekerjaan yang menumpuk. Tak cukup waktu untuk menggubah memory sesuai yang Anda harapkan. Permisi…”
Istri Susilo itu pun bergerser ke kanan, lalu berjalan menuju pintu yang tertutup beberapa langkah di hadapannya. Kirana hampir seperti berlari untuk mencapai pintu itu dan ketika berhasil membukanya, Kirana hendak mendesah lega, namun sayangnya hal itu terhambat oleh kehadiran Akasa yang cepat.
Akasa menutup pintu itu keras-keras, tangannya menahan Kirana yang hendak menjauh darinya.
Kirana tak tahu kecepatan macam apa yang Akasa keluarkan. Seingatnya, Akasa masih berada di ranjang, namun kini pria itu berdiri di belakangnya, menekan pintu dan menghalangi tubuh Kirana dengan kedua tangan di kanan dan kiri.
“Mau kemana?” desis Akasa di telinga Kirana. Suara rendah yang mengerikan, membuat Kirana menggigil ketakutan.
“Aku masih banyak pekerjaan!”
Istri Susilo memekik saat Akasa membalik tubuhnya dengan kasar, kini keduanya saling berhadapan.
Kirana bernafas kencang karena takut yang melanda, dan Akasa mendengus keras dengan wajah marah. Keduanya menampakkan ekspresi yang kontras dan sangat berbeda. Yang satu penuh kengerian, yang satu penuh kemurkaan.
“Tuan Muda!” Kirana melirik ngeri saat kedua tangan sang Tuan Muda memerangkapnya di pintu. Ia tampak seperti kucing kecil yang takut dan terdesak oleh macan yang lapar.
“Jika benar kamu lupa, maka saya akan mengingatkanmu tentang siapa dirimu yang dulu…”
“Tidak. Saya tidak mau…”
“Saya akan mengingatkanmu betapa binal dan liarnya dirimu yang dulu!”
“Hmph!!” *