16. Tak Saling Mengenal

1307 Kata
“Kamu meminta saya membunuhmu?” “Ya! Kenapa tidak? Lakukan saja! Bukankah itu keinginanmu sejak dulu? Tuan Muda yang terhormat ingin aku menghilang untuk selamanya, bukan? Aku sudah melakukannya! Aku sudah tidak memohon lagi di kakimu! Lalu kenapa kau masih seperti ini?” Akasa melepas tangan dari leher Kirana, pria itu menarik kerah kemeja Kirana yang rapi, “Lalu kenapa kamu kembali!? Kenapa kamu muncul di depan saya lagi? Ingin mengenang masa lalu? Memamerkan hidupmu yang telah sempurna itu?” Kirana gelagapan, wanita itu panik saat Akasa mencengkram kerah kemejanya, ia menahan tangan Akasa yang besar dan kuat itu agar tidak membuat kemejanya rusak, bisa bahaya jika dilihat oleh semua orang, terutama suaminya. “Aku—” “Kirana… Kirana… Ck! Tak usah mengelak! Siapapun bisa melihat tujuan yang tersembunyi di dalam hatimu itu!” “Aku tidak melakukannya dengan sengaja! Aku tidak memiliki tujuan tersembunyi apapun saat datang kemari!” “Lalu apa tujuanmu? Jawab saya! Apa tujuanmu muncul di depan saya lagi!?” “Aku butuh uang!” “Alasan bodoh! Sesuai dengan kapasitas otakmu!” “Kamu mungkin tidak percaya, tapi aku memang butuh uang! Warisan orangtuaku habis terpakai, jadi aku harus mencari uang untuk melanjutkan hidup! Karena alasan itu aku menerima tawaran dari Om Raden untuk bekerja disini –dengan pikiran bahwa kamu masih di luar negeri dan menyelesaikan masa study mu di sana! Aku tidak tahu bahwa dirimu sudah pulang dan hendak bertunangan dengan gadis itu! Aku benar-benar tidak tahu dan tidak sengaja melakukannya!” “Warisan orangtuamu habis?” Akasa membelalak tak percaya. Pria itu jauh lebih tertarik pada topik ini daripada masalah pertunangannya, “HABIS?!” “Ya, Aku menghabiskannya! Aku menghabiskan semua uang orangtuaku! Dan sekarang aku jatuh miskin! Jadi tolong jangan ganggu aku, tolong, biarkan aku bekerja disini dengan tenang. Aku membutuhkan uang-uang itu!” Akasa menghempas kerah Kirana, pria itu menjulang dan berdiri tegak. Dengan raut kecewa, Akasa berbalik memunggungi Kirana. “Itulah mengapa kita tidak pernah cocok, Kirana! Saya tidak pernah suka wanita bodoh!” Kirana tak membuang waktu, ia pun bangkit lalu turun dari permukaan meja meeting yang luas itu. “Aku juga tidak pernah suka laki-laki yang kelewat pintar. Kita memang tidak layak bersama! Sama sekali tidak layak!” Akasa kembali berbalik menghadap Kirana, pria itu menunjuk Kirana tepat di depan muka, “Ya, sangat tidak layak. Kamu terlalu bodoh! Terlalu liar! Terlalu mata duitan! Jika memang kamu secinta itu pada uang, lalu kenapa kamu menikahi lelaki miskin dan tidak mengincar lelaki kaya?” Nafas Kirana terhempas saat tuduhan itu menusuk seluruh pori-pori di tubuhnya. Entah darimana kesimpulan itu berasal! Entah dari mana semua tuduhan buruk itu terbentuk! Ia bukan gadis semacam itu! Boleh saja pria itu mengatainya bodoh karena Kirana merasa bahwa dirinya memang bodoh karena sudah tergila-gila pada lelaki sepertinya. Boleh saja Akasa mengatainya liar, namun bukankah pria itu yang mengajarinya semasa mereka remaja? Tapi mata duitan? Kirana tak terima dengan tuduhan itu! Ia bukan wanita mata duitan! Kirana dibesarkan oleh orang tua yang berkecukupan. Walau tidak kaya raya seperti Atmajaya, namun saudagar hongkong sekelas ayahnya mampu membelikan Kirana semua kebutuhan kebutuhan hidup dan tidak membuatnya kekurangan suatu apapun! Tapi, bagaimana mungkin, Akasa yang mengenalnya hampir seumur hidup, mampu menuduh Kirana dengan sekeji itu? “Mata duitan, katamu?! Menikahi lelaki kaya, kamu bilang!?” Kirana hampir hilang kesabaran, ia pun melangkah maju, dan hampir mendamprat pria itu dengan pembelaan dirinya. Namun, tiba-tiba saja Kirana merasa lelah. Sangat amat lelah. Sejak dulu, sejak kehadiran wanita itu, mereka memang tak pernah bisa bicara baik-baik. Selalu ada teriakan yang mengisi pertengkaran mereka. Selalu ada kata-kata tak masuk akal yang menghantui hidup Kirana. Dan tidak pernah ada solusi yang menjawab segala masalah. Ditengah rasa lelah yang bertumpuk selama bertahun-tahun lamanya, ibunda Dwika itu tertawa kecil, tawa ironi yang dibarengi dengan lelehan air mata. “Selalu begini… tidakkah kamu lelah?” Kirana menunduk, pundaknya bergetar. Ia telah kalah dan akan selalu kalah menghadapi Akasa. Di mata pria itu tidak ada satu hal baik pun yang Kirana punya. Kirana selalu salah, dan akan terus salah. “Aku lelah… Sangat lelah…” “Lelah atau tidak punya pembelaan!?” tuduh Akasa. Kirana menggigit bibir, ia mendongak dan terdiam menatap Akasa yang tak henti membuat tuduhan. Ia menarik nafas, ia harus menghentikan percakapan menyakitkan ini, “Tuan Muda benar, Aku bodoh, Aku liar, aku mata duitan… semuanya benar. Tidak ada yang salah dari ucapan Anda, Tuan Muda.” Wanita itu menarik pakaian Akasa yang terlitar di atas meja, lalu memeluknya erat, berusaha mencari pegangan yang sangat dibutuhkannya. “Aku butuh uang, Tuan Muda. Aku butuh biaya untuk bertahan hidup di ibu kota, jadi Aku mohon, izinkan aku bekerja disini dengan damai. Aku bersumpah tidak akan pernah mengganggu kehidupan Anda dan kekasih Anda… Aku hanya akan mengurus urusanku sendiri… Aku bersumpah bahwa Aku tidak memiliki tujuan tersembunyi… sekecil apapun itu! Tujuanku disini benar-benar murni, aku hanya mencari penghasilan untuk hidupku…” “Kau tanggung akibatmu sendiri! Jangan memohon kepada saya, karena saya tidak pernah menyuruhmu menikahi pria miskin! Tidak ada yang mengajarimu menikah dengan seorang pemimpi! Kehidupan layak macam apa yang bisa kau harapkan dari seorang guru miskin?” Kirana menggigit bibir lebih keras, ia ingin membalas hinaan Akasa, namun sekali lagi, ia tak memiliki cukup tenaga untuk membalas energi negatif itu. “Bukankah aku adalah wanita kotor? Tidak ada pria waras yang mau menikahiku, bukan? Jadi, satu-satunya pilihanku adalah menikahi lelaki manapun yang mau menerimaku, dan Tuhan menakdirkanku menikah dengan seorang malaikat yang baik hati… lelaki yang sangat menghargaiku, juga menghargai masa laluku. Ia pun selalu melindungiku dari seluruh rasa sakit di dunia, bahkan kelak di akhirat…” Akasa tertawa, tawa yang sangat nyaring dan tak biasa. “Seorang Kirana bicara tentang akhirat?” Kirana tersenyum maklum, dulu dirinya dan Akasa selalu menentang konsep Agama. Mereka adalah orang-orang yang mengagungkan science dan Darwin di atas segalanya. “Ya, aku sudah memeluk agama, aku sudah memeluk Tuhan ku. Aku bukan Kirana yang dulu…” Wajah Akasa berubah kaku, tawanya lenyap tanpa jejak walau hanya sekuku. Pria itu menunduk, “Kemiskinan telah membuatmu tobat, huh?” Wanita itu menggeleng, “Pernikahan dengan Susilo Soedirman telah membuatku tobat. Dia membuka mataku, menyadarkanku bahwa apa yang selama ini kuyakini adalah salah, kamu salah… dan semua yang kita lakukan saat bersama-sama adalah salah. Kebersamaan kita adalah kesalahan. Itulah mengapa kita tak layak…” Akasa hendak membantah Kirana, namun wanita itu segera menghentikannya. “Tuan Muda, apapun yang Anda katakan adalah kebenaran. Namun untuk urusan akhirat, Susilo yang benar. Dia tidak pernah salah untuk yang satu ini. Dan sebelum kita berdebat tentang benar dan salah, atau tentang karakterku yang Anda ragukan, mohon maaf, aku harus mengingatkan Anda bahwa sebentar lagi memasuki jam training untuk karyawan baru seperti diriku.” “Dan kamu pikir saya akan mengizinkanmu?” “Aku sudah menandatangani kontrak, aku sudah mendapat izin dari Om Raden untuk bekerja di Atmajaya. Aku akan bekerja disini sampai kontrakku habis. Jadi, aku mohon, kita bekerja sama dengan baik. Tolong jangan putus hubungan kerja ini hanya karena masa lalu yang sudah terlewat. Masa yang tidak berarti apa-apa bagi hidup kita sekarang.” Kirana menelan ludah susah payah, seraya melanjutkan, “Seperti yang Anda ketahui, aku hidup miskin sekarang. Suamiku hanya guru kontrak sederhana. Karena itu aku benar-benar membutuhkan uang, tolong beri aku kesempatan di perusahaan ini. Aku berjanji, Tuan Muda. Aku berjanji akan bekerja keras untuk perusahaan Anda. Aku berjanji akan memenuhi tanggung jawabku dengan baik. Baju ini pun…” Kirana memperlihatkan pakaian kotor Akasa, “Mencuci baju ini pun aku tak keberatan, membereskan kantor Anda pun aku tak masalah. Asal jangan putus hubungan kerja ini. Mari kita bersikap profesional dan melanjutkan hidup tanpa menoleh ke belakang. Tolong lupakan masa lalu yang tak memiliki arti apa-apa itu, Jika Anda kesulitan melakukannya, dan merasa benci atas kehadiran saya, maka anggap saja kita tak saling mengenal…” *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN