Kirana berjalan takut-takut menuju ruang kerja Akasa. Entah mengapa perasaan semacam ini terus menghantui hari-harinya di Atmajaya.
Wanita itu memeluk plastik yang berisi pakaian Akasa. Pakaian itu sudah disetrikanya dengan rapi semalam dan sekarang Kirana hendak mengembalikan pakaian itu kepada pemiliknya.
Sejak perdebatan terakhir mereka, Kirana sangat jarang bertemu dengan Akasa. Pria itu benar-benar mempraktekan saran yang Kirana berikan. Mereka bertingkah seolah tidak saling mengenal, tidak memiliki masa lalu yang membekas di kenangan. Akasa mendiamkannya seperti dulu. Mengacuhkan, bahkan seolah menganggap Kirana tak pernah ada di sekitarnya.
Selama berhari-hari Kirana menjalankan tugas paginya membersihkan ruang kantor maupun ruang istirahat pribadi pria itu. Merapikan segala kekacauan yang Akasa ciptakan, membawa pulang setiap baju kotor yang tergeletak dimana-mana. Selama itu pula Akasa hanya diam dan tak membuka komunikasi apapun dengannya. Kirana pun tak berusaha membuka percakapan. Ia hanya menjalankan tugas yang pria itu berikan. Bahkan setiap kali mereka berpas-pasan di lorong, Akasa akan tetap lurus dan menganggap Kirana seolah cicak yang mengganggu pemandangan.
Saat sampai di depan pintu kantor Akasa, Kirana menarik nafas sebanyak-banyaknya, lalu menghembus dengan keras, seolah ingin melepaskan beban dari pundaknya yang terasa berat.
Akasa bukan orang yang mudah dihadapi, bahkan dalam kebisuannya kali ini. Sediam apapun pria itu, namun ia selalu mampu membentangkan senar gitar yang tegang di antara mereka. Sekali Kirana berbuat salah, maka senar gitar itu akan putus dan melukai salah satu dari mereka, atau justru melukai keduanya.
Kirana harus bisa berbuat hati-hati di sekitar Akasa jika tidak ingin terluka untuk ke sekian kalinya.
Namun, bagaimana caranya supaya bisa bicara baik-baik dengan putra tunggal Raden Atmajaya itu? Pembicaraan yang tidak melibatkan emosi yang selalu mengacaukan segalanya?
Hari ini adalah hari terakhir Kirana melakukan training sebagai karyawan baru. Mulai besok Kirana akan masuk kantor sesuai dengan jam umum yang dilakukan para karyawan Atmajaya yaitu pukul delapan pagi. Kirana sudah memiliki bekal ilmu yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya di departemen purchasing karena training pagi yang dilakukannya selama beberaa hari bersama departemen HRD dan Purchasing secara bergantian. Mereka sengaja memilih jam training pagi karena tidak ingin pekerjaan pokok harian terganggu oleh training yang harus mereka berikan. Lagipula jika datang lebih awal maka mereka pun bisa pulang lebih awal pula, ditambah lagi Tuan Besar Raden Atmajaya memberi reward khusus bagi pemberi materi training tersebut karena bersedia membagi ilmunya kepada calon karyawan baru. Raden Atmajaya memang sangat terkenal akan kedermawanannya.
Alasan itulah yang membuat Kirana begitu bimbang di depan kantor Akasa. Hari ini Kirana harus memulai pembicaraan dengan pria yang selama ini membisu kepadanya. Kirana harus menjelaskan segalanya dengan hati-hati agar Akasa tidak murka kepadanya. Sejak semalam Kirana berusaha mencari kalimat yang tepat agar Akasa bersedia menghentikan setiap tugas pagi yang dilimpahkannya kepada Kirana –tugas yang seharusnya dikerjakan oleh OB.
Ck!
Tapi sebaik apapun kalimat yang disusun dan direncanakannya, Kirana tahu bahwa semua rangkaian itu akan kacau jika sudah berhadap-hadapan dengan mata hijau yang selalu menatap dingin kepadanya itu.
“Huft! Aku harus bisa…” lirih Kirana.
Kirana menarik nafas berat, kemudian mengetuk pintu.
Tak ada suara jawaban.
Sekali lagi Kirana mengetuk dan tetap tak mendapat sahutan dari dalam.
Akhirnya Kirana pun membuka pintu perlahan-lahan lalu mengintip ke dalam. Rupanya kantor itu kosong, tak ada Akasa yang duduk di balik meja kerja seperti biasanya.
Kirana pun melangkah masuk dan menutup pintu di belakang. Ia menatap ruangan yang sangat kacau di depannya. Tak hanya bekas kopi, kulit kacang panggang, dan juga biskuit-biskuit yang berantakan, namun terdapat botol minuman keras yang sudah tandas isinya.
Pakaian pria itu pun berserakan di antara kertas gambar yang diremas-remas dan dibuang sembarangan. Ruang ini lebih mirip pub malam daripada sebuah kantor seorang arsitek handal.
“Seharusnya dia benar-benar merekrut pembantu pribadi jika terus seperti ini…” gumam Kirana.
Kirana mulai merapikan meja meeting yang ada di tengah ruangan. Meja itu cukup luas dan bisa di huni oleh delapan orang. Disanalah Akasa selalu membentangkan kertas gambar yang berisi proyek-proyeknya, atau terkadang di papan tulis yang berdiri di sudut ruangan, dan seringnya Akasa membentangkan kertas design itu di sebuah paper holder yang besar.
Di sudut yang berbeda terdapat meja kerja Akasa yang berukuran normal. Terdapat beberapa dokumen dan kertas yang juga berantakan, secangkir teh yang sudah kosong dan gelas air putih yang tersisa setengah.
“Ck… ginjalnya pasti memprotes keras. Lihat cangkir-cangkir itu.”
Kirana menatap sedih jika harus menghadapi banyaknya cangkir-cangkir kopi, teh, apalagi hari ini ada sebotol minuman keras kosong yang tergeletak di atas meja. Pria itu pasti sudah menyiksa ginjalnya dengan sedemikian rupa. Terlalu banyak mengkonsumsi minuman semacam itu dan kurang asupan air putih bisa membuat kerja ginjal sangat berat.
Akasa harus menghentikan kebiasaan ini jika tidak ingin mati muda!
Dengan sabar Kirana merapikan meja, lantai dan juga pakaian kotor Akasa. Pria itu tidak memperlakukan kantor ini layaknya seperti kantor, namun seperti rumah yang ditempatinya sepanjang hari. Akasa jarang keluar, kerjaannya hanya mengurung diri di ruang kerja. Entah seberapa banyak beban kerjanya, namun Akasa selalu bekerja hingga larut dan tidak pernah pulang. Selalu menginap dan meninggalkan pakaian kotor disana, dan mendapat asupan pakaian baru setiap pagi dari sopir ayahnya.
Usai membersihkan lantai dari kertas yang berceceran, Kirana menatap meja kerja Akasa yang kosong. Hari ini Kirana membersihkan kantor itu tanpa senar tegang seperti biasanya. Wanita itu merasa ringan karena tak ada tatapan tajam atau sikap acuh yang membuatnya gusar. Kekosongan Akasa membuatnya mampu membereskan pekerjaan dengan lebih cepat dari biasanya.
“Kemana pria itu?” pikir Kirana.
Kirana membawa dua buah cangkir di kanan dan kiri tangannya, lalu melangkah menuju ruang pribadi Akasa.
Saat memasuki ruang pribadi pria itu, Kirana menemukan Akasa sedang berbaring di atas ranjang. Pria itu terpejam dengan begitu lelap dengan pakaian dan sepatu yang masih utuh. Sepertinya pria itu terlalu mabuk hingga tak mampu melepas semua itu.
Kegiatan Kirana yang bolak balik mengambil cangkir dan mencucinya telah membangunkan Akasa dari tidur lelapnya. Pria itu bergeser ke tengah dan duduk bersandar di ranjang. Kedua tangannya menyugar rambut ke belakang dan memijat kepalanya yang pusing bukan kepalang.
Kirana memperhatikan semua gerakan Akasa melalui kaca lemari yang ada di sampingnya. Namun tak berani berbalik menghadap pria itu dan berpura-pura tidak tahu jika Akasa sudah terbangun.
Pundak Kirana yang semula santai, kini berubah tegang. Wajah merah dan perilaku Akasa menunjukkan bahwa efek minuman beralkohol itu belum hilang dari tubuhnya.
Menghadapi Akasa yang biasa saja sulit, apalagi Akasa yang berada di bawah pengaruh alkohol. Pasti jauh lebih menyulitkan!
GLEK!
Kirana menelan ludah saat Akasa mendongak dan menemukan keberadaannya. Wanita itu berhenti mengintip Akasa dari kaca lemari dan mempercepat kegiatan mencuci cangkirnya.
Ia menahan nafas sekuat tenaga, tegang dan takut menguasainya.
Tak mungkin Kirana membicarakan tentang hari terakhir trainingnya kepada pria itu, apalagi membujuknya agar berhenti memperlakukan Kirana sebagai pembantu.
Nyali Kirana menciut secepat angin timur berhembus.
Tak ada pergerakan selama bermenit-menit, tak ada suara yang keluar dari pria yang mabuk itu. Kirana yang penasaran dan sedang membilas cangkir terakhirnya pun mengintip kaca lemari sekali lagi dan menemukan pria itu sedang menatapnya dalam diam.
Kirana terhenyak melihat tatapan pria itu.
Akasa terlihat sedih. Matanya sayu dan ekspresinya tampak terluka. Tak ada topeng dingin dan acuh yang pria itu tampilkan, hanya ada raut wajah yang sesungguhnya, raut yang diam-diam keluar saat Kirana memunggunginya.
Pria itu mengusap wajah frustasi, dari mulutnya keluar desah kecil. Ia tampak layu, pundaknya turun dan wajahnya kuyu. Tak ada pria berkuasa yang menyebalkan seperti biasanya. Tak ada keangkuhan yang selalu menjadi cangkang terluarnya.
Hanya ada Akasa dan wajah sedihnya.
Kirana bertanya-tanya, mungkinkah pria yang konon memiliki kebencian yang besar kepadanya, memiliki penyesalan tersendiri di dalam hatinya?
Sebagaimana penyesalan Kirana?
Tapi, rasanya tidak mungkin.
Bisa jadi pria itu hanya menyesal karena telah membiarkan Kirana bekerja di kantor ini dan mengganggu pandangannya.
Kemungkinan itu jauh lebih mungkin.
Kirana menyelesaikan bilasan cangkir terakhirnya. Lalu mengela cangkir itu satu-satu. Tetap berpura-pura tidak tahu jika Akasa sudah terbangun.
Hingga tiba-tiba saja, pria mabuk itu berdeham, lalu bertanya, “Berapa banyak uang yang yang kamu butuhkan? Saya akan memberikannya dengan cuma-cuma tanpa perlu kau kembalikan…”
Pundak Kirana yang sudah tegang, kini semakin kaku luar biasa.
“Dengan syarat?” tanya Kirana.
“Naik ke atas ranjang dan puaskan tubuh saya.” *