Mulut Kirana seperti ikan di dalam air –membuka dan menutup mencari udara disaat kebingungan mendengar ancaman yang dilayangkan Akasa.
Menghukum di dalam ruang pribadi?
Apa maksud pria itu?
Pria itu sudah gila, bukan!?
Tangan Akasa mencengkram rahang Kirana semakin kencang, wajahnya mendekat sempurna dan matanya menghujam penuh dendam. Pria itu tak berkata apapun, namun ekspresi wajahnya yang selalu tampak datar dan tak bisa ditebak, kali ini raut wajahnya mengatakan segalanya.
Benci dan muak.
Begitulah yang tergambar saat ini, ditambah dengan sorot matanya yang tak kalah transparan pun menjeritkan campuran perasaan yang tiba-tiba muncul ke permukaan.
Mata itu seolah ingin menancapkan perasaannya pada kirana.
Dendam, kecewa dan….
Terluka?
Kilasan luka itu membuat Kirana bingung, bagian mana dari kata-katanya atau perilakunya yang membuat pria itu tampak terluka dan kecewa sekarang? Apa yang membuatnya mendendam dengan begitu kesumatnya?
“Apa kamu mendengar kata-kata saya?” bisik pria itu.
“Ya, aku mendengarnya…”
“Cuci pakaian itu di depan suamimu!”
“Aku akan mencucinya, sekarang tolong lepaskan aku, Tuan…”
Kirana yang tak tahan ditatap sedemikian rupa oleh Akasa, berusaha menoleh ke samping untuk memutus intensitas tatapan keduanya, namun tangan Akasa meremas rahang itu keras-keras hingga Kirana mendesis sakit dan tak berhasil memutus kedekatan yang hampir tak berjarak tersebut.
“S—Sakit…” lirih Kirana. Rahangnya terasa sakit hingga tak mampu mengucapkan kata-kata dengan bebas. “Tolong lepas wajahku…”
Bukannya melepas wajah Kirana, salah satu tangan Akasa yang bebas berpindah dan menjambak rambut Kirana hingga semakin mendongak dan mempermudah pria itu mengendalikan kepala Kirana.
“Ack!” pekik wanita itu.
Mata sipitnya membola semakin lebar saat pria itu menjambak rambutnya hingga akar-akar rambutnya tertarik dan menimbulkan rasa pedas dan sakit luar biasa, tak hanya disana, Akasa pun menguatkan cengkeraman tangannya di rahang Kirana. Sedangkan tubuhnya semakin menekan tubuh Kirana yang sudah terdesak di meja meeting.
Semua perlakuan itu membuat Kirana menggigit bibir spontan demi menahan suara rintih yang hendak keluar karena rasa sakit yang mendera bagian kepalanya.
Dengan kening yang mengernyit bingung, wajah yang merah dan mata yang berkaca-kaca, Kirana membalas tatapan Akasa dengan mata penuh tanya.
“K–Kenapa kamu begitu membenciku…” lirih Kirana setetes air mata mengalir di pipinya. “Apa yang membuatmu sebenci ini padaku?”
Kirana memekik di dalam mulut yang tertutup, wanita itu merasa tubuhnya hampir tumbang dan pinggulnya nyeri luar biasa saat harus menampung bobot tubuh Akasa yang dibebankan di atas tubuhnya sehingga membuat pinggulnya bertumpu pada sudut meja.
Ditengah rasa nyeri itu, Kirana berjinjit untuk meringankan rasa sakit di pinggulnya, dan Akasa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melebarkan kedua kaki Kirana dan mendesaknya hingga pinggul Kirana bertabrakan dengan pinggul Akasa. Pada posisi tersebut, Akasa menekan keras hingga Kirana terangkat dan duduk di atas meja.
Akasa tersenyum miring. Senyum paling sinis ditengah proses tersebut. Sedangkan Kirana hanya bisa bergerak panik saat pinggulnya ditekan sedemikian rupa oleh kekerasan pria itu. Kirana menggeliat, namun tubuhnya benar-benar terjebak.
“Gadis bodoh! Siapa yang tidak benci gadis bodoh sepertimu?” balas Akasa.
Kirana mengerjap, “B—Bodoh?”
“Sangat bodoh!!”
Akasa membenturkan keningnya pada kening Kirana, matanya berkilat oleh sesuatu yang hampir Kirana lupakan selama ini. Sesuatu yang membakar masa muda mereka menjadi penuh api yang sulit dipadamkan!
Api hasrat.
Kirana menggeleng, ia mencoba melepaskan tangan Akasa dari rahang dan rambutnya, juga berusaha menjauhkan wajah mereka berdua yang hampir tak berjarak. Namun Akasa menekannya semakin kuat. Kini hidung Akasa berlabuh di pipi Kirana, dan keningnya melekat erat.
Pria itu tidak hanya menggunakan mata untuk menghujam dan menekan Kirana, namun juga pinggulnya yang mengganjal besar dan keras.
Kirana tergagap, wanita itu mulai ketakutan dan bayangan Susilo muncul dalam benaknya.
Tak sepantasnya wanita bersuami terjebak dalam posisi sedekat dan selekat ini dengan pria lain yang mengisi masa lalunya yang gelap.
Tak sepantasnya wanita yang sedang belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik malah berdempetan dengan tunangan wanita lain seperti ini.
Kirana menutup mata, tak tahan oleh tatapan mengerikan Akasa.
“T—Tuan Muda, tolong jangan begini… Engh!” lenguh kecil terbebas dari mulutnya saat Akasa menekan pinggul pada Kirana.
Mulut Kirana terbuka, ia terengah-engah, dan Akasa selalu berhasil membuat mata mereka terikat pada satu sama lain. Dengan d**a yang mengembang kempis, Kirana mulat berkata dengan terbata-bata.
“Tuan Muda, aku sudah menikah, Anda tidak bisa memperlakukanku seenaknya begini…”
Tawa sinis terbit dari bibir Akasa, bukannya berhenti menekan Kirana hingga membuat mereka berdua terengah-engah, Pria itu malah meneruskannya dengan sengaja.
“Wanita bodoh pantas menikah dengan lelaki bodoh…” desis Akasa sambil menghentak pinggulnya keras-keras pada Kirana. Hentakan yang membuat keduanya melenguh oleh getaran yang tercipta, “Apa kamu menjebak lelaki bodoh mu dengan ini?”
Mata dan mulut Kirana membola spontan.
“Apa maksudmu?”
“Kamu pasti membuat lelaki polos dan bodoh itu tergila-gila dengan ini, bukan?” sekali lagi Akasa menghentak pinggul menunjukkan maksudnya, “Membuatnya ketagihan dan berubah menjadi kerbau dungu yang mau menerimamu dengan terbuka, bukan? Tidak ada lelaki waras yang mau bersama wanita kotor sepertimu!”
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuk dan membunuh Kirana. Ia tak menyangka jika Akasa akan setega itu kepadanya.
Kirana memejamkan matanya yang sudah sangat basah hingga membanjiri pipinya, wanita itu memalingkan wajah, “Jahat…” gumam Kirana. “Kamu sangat jahat. Siapa yang telah membuatku menjadi kotor Jika bukan dirimu!?”
Kirana mendorong pria itu dengan kedua tangannya. Dorongan yang sia-sia karena tubuh Akasa tak goyah sedikit pun dari posisinya. Bahkan pria itu semakin menekan Kirana hingga Kirana hampir terlentang di atas meja.
“Wanita kotor pantas diperlakukan dengan kotor pula!”
“Tidak! Aku tidak mau!” teriak Kirana. “Lepas!”
Sekuat tenaga Kirana menahan dorongan Akasa padanya, bahkan Kirana mulai memukul bahu Akasa yang lebar dengan kedua kepalan kecilnya. Wanita itu menangis tersedu sedan sambil menolak setiap tekanan dan hinaan yang Akasa berikan kepadanya.
Pada satu titik yang membuatnya putus asa, Kirana berhenti memukul dan menahan pria itu. Ia justru terlentang pasrah, matanya pun terpejam basah.
Dari mulutnya, Kirana berbisik lirih, “Kenapa tidak sekalian membunuhku saja?”
Seluruh tubuh Akasa membeku, pria itu menghentikan dorongannya, matanya mencari-cari mata Kirana.
“Bukankah kau begitu membenciku? Lalu kenapa tidak kau bunuh saja aku sejak dulu?”
“Kiraaa!!!” geram Akasa sambil menjambak rambut Kirana. Pria itu melotot marah pada setiap kalimat yang keluar dari bibir wanita itu.
Kirana menarik tangan Akasa dari rahangnya, lalu meletakkan tangan itu di lehernya, “Bunuh aku! Bunuh aku dengan seluruh dendam itu! Habisi nyawaku!” *