11. Sama-Sama Kotor

1886 Kata
Susilo terhenyak manakala tubuh Kirana menghambur ke arah tubuhnya. Wajah pria itu menunduk hanya untuk mendapati tubuh Kirana yang bergetar kecil di dalam pelukannya. Susilo sempat terheran-heran melihat respon Kirana yang tak biasa, namun ia menghalau segala tanya dalam benaknya, dan mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Kirana. “Sama-sama, neng. Sudah tugas akang untuk menjemput neng Kira.” Jawab Susilo sambil membelai puncak kepala Kirana, “Lagipula terlalu bahaya kalau neng pulang sendiri, lokasi ini jauh dari rumah kita…” “Tetap saja, terima kasih, kang. Dari sekolah sampai ke gedung ini pun jaraknya jauh sekali, pasti akang capek… Akang mendorong motor ini saat mogok?” “Iya, sempat akang dorong karena tidak menemukan bengkel sepanjang jalan. Tapi akhirnya akang memperbaiki sendiri motornya dan akhirnya pakaian akang kotor semua. Akang pasti bikin Neng Kira malu?” Diam-diam Kirana menghapus air mata dan melepaskan pelukannya. Wanita beranak dua itu bergerak mundur ke belakang sambil memperhatikan penampilan Susilo dari ujung kaki hingga kepala. Seragam Susilo kotor oleh oli, tangan dan wajahnya pun bernasib sama. Kirana menggeleng, senyum hangat merekah dari bibirnya. Oli pada penampilan Susilo itu tidak membuatnya malu, justru oli itu adalah sebuah bukti betapa Susilo adalah suami yang sangat melindungi. Pria itu tak keberatan menempuh jarak yang membentang demi mengantar jemput sang istri. Tak pernah sekalipun pria itu mengeluh setiap kali harus mengatar Kirana kesana kemari. “Tidak. Kira tidak malu, kang. Kira malah merasa bersalah kalau sampai Akang kecapean karena jemput Kira. Besok akang tidak perlu menjemput lagi ya, Kira bisa pulang sendiri naik kendaraan umum…” Susilo menggeleng tegas, “Tidak. Akang tetap jemput neng Kira. Naik kendaraan umum itu bahaya bagi wanita! Jadi neng Kira tidak boleh pulang sendiri…” “Tidak apa-apa, Kang. Kira bisa sendiri…” “Tidak apa-apa, Neng. Akang kuat jemput neng bolak balik. Jangan khawatir…” balas Susilo keras kepala. Kirana mendesah kecil. Susilo memang selalu seperti itu. Tidak pernah bisa membiarkan istrinya pergi sendiri jika jaraknya terlalu jauh. Ia akan mengawal istri-istrinya kemanapun demi keamanan mereka. Wanita itu memasukkan tangan ke dalam tas kecil yang dibawanya, lalu mengeluarkan sapu tangan bermotif bunga daisy yang cantik dari dalamnya. Bunga daisy adalah bunga kesukaan Kirana, bunga liar yang sederhana namun tak kalah indah jika dibanding dengan bunga lainnya. Bunga itu adalah pemberi semangat sekaligus sumber rasa percaya diri Kirana sejak SMA. Bagi Kirana, Daisy bermakna, walau tak secantik mawar, tapi Daisy membawa keceriaan dan menarik dengan caranya tersendiri. Jadi, walau Kirana tak secantik Amanda, namun Kirana memiliki sisik baik lainnya. Ia tak seburuk yang orang lihat. Ia bukan wanita terbuang. Ia hanya tak ingin bersaing memperebutkan manusia hidup yang bisa membuat keputusan sendiri. “Akang memang selalu begitu…” gumam Kirana. Dengan sapu tangan bunga daisy itu Kirana menghapus oli di wajah Susilo. Ia tidak keberatan jika bunganya basah oleh oli yang bau dan berminyak gelap. Sudah pasti sapu tangan cantiknya takkan bisa kembali seperti semula, sekeras apapun Kirana mencucinya. Tapi, Kirana tidak keberatan. Ini adalah suaminya, dan sudah seharusnya Kirana menyerahkan segalanya bahkan sebelum pria itu meminta. Dan Susilo tak pernah meminta apapun darinya. Pria itu sangat sopan, sangat menghargainya sebagai wanita. Dalam hidup Kirana, tak ada pria sebaik Susilo dan Papah Wong alias Ayahnya. Pemikiran itu hampir membuat Kirana tersedak oleh air mata yang ditahannya. Susilo sudah sebaik ini, tapi kenapa hatinya masih berdarah-darah karena pria di belakang sana? “Padahal aku baik-baik saja…” Kirana berusaha meyakinkan diri. “Walau neng mampu menempuh perjalanan sendiri, tapi akang tetap menjemput neng Kira. Tidak usah merasa tidak enak, bukankah neng adalah istri akang?” “Benar, Kira adalah istri akang.” Jawab Kirana sambil membelai wajah Susilo dengan kedua tangannya, semua oli hampir hilang dari wajah pria itu, namun lengket bekas minyak masih terasa di kulit Susilo. Kirana memperhatikan wajah suaminya baik-baik. Sebenarnya Susilo adalah pria sunda yang tampan. Ketampanan halus yang bersanding dengan kesederhanaaan. Tidak mencolok seperti wajah kebule-bulean Akasa, tapi Susilo mempunyai ketampanan yang membuat wanita merasa malu jika harus mendekati dengan cara yang agresif. Aura Susilo adalah aura kesopanan dan kesalehan. Tiada wanita yang cukup muka untuk menyatakan rasa dihadapan ketawadhuannya. Susilo adalah impian wanita saleh, sedangkan Kirana bukanlah wanita semacam itu. Orangtua dan bibinya terlalu sibuk untuk mengajari agama, sebab itu Kirana mempelajari agama dan Tuhan dari Susilo dan juga Rosa. “Dan istri akang ini lupa kalau harus cium tangan. Ck! Maaf ya, tadi terlalu senang lihat akang datang…” Kirana meraih tangan Susilo yang masih kotor oli, hendak mencium tangan pria itu sebagai bakti seorang istri. Namun Susilo menahannya, pria itu menolak ciuman Kirana. “Tangan akang kotor, tidak usah cium tangan!” Bukannya berhenti, Kirana justru menarik tangan itu ke depan wajahnya, lalu mencium punggung tangan Susilo dengan khidmat. “Bukan masalah walaupun kotor… Akang juga tidak masalah jika aku kotor, bukan?” Pertanyaan itu bermakna ganda, Susilo dan Kirana sama-sama tahu maksud tersembunyi di dalamnya. “Yang penting hati kamu suci. Sudah, ayo kita pulang! Semuanya menunggu di rumah…” “Ayo…” jawab Kirana. “Uhuk!” Suara batuk yang dibuat-buat itu menyadarkan Kirana pada sesuatu yang telah dilupakannya. Wanita itu menoleh ke belakang dan mendapati sepasang kekasih yang sedang memperhatikannya dengan seksama. Sang wanita tersenyum penuh arti, sedangkan Sang pria menatap Kirana penuh dendam. Akasa menatapnya dengan netra yang sangat tajam. Seolah-olah netra itu mampu mengeluarkan pedang yang akan melayang lalu menghunus Kirana hingga tewas tak terselamatkan. Auranya gelap. Matanya kejam. Seluruh kehadirannya menyebarkan kengerian yang membekukan. Mata hijaunya tak bersahabat dan terisi penuh oleh kebencian. Glek! Keberadaan dan tatapan benci pria itu membuat kedua kaki Kirana goyah hingga tubuhnya terhuyung mundur. Kirana kalah telak. Ia tak berdaya melawan pria yang menguarkan aura permusuhan itu. Kirana meraih tangan Susilo dan memeluk tangan itu sambil menyembunyikan sebagian tubuhnya di belakang tubuh Susilo. Wanita itu terlalu takut untuk menghadapi Akasa yang terlihat siap menghancurkan dunia. Menghancurkan Kirana yang menciut kerdil di belakang suaminya. “Kirana, bagaimana mungkin kau melupakan kami!” seru Amanda main-main. “A—Amanda… Aku…” “Ck! Aku tahu suamimu tampan, tapi tak perlu sampai hati melupakan kami yang ingin berkenalan dengannya.” “Maaf, aku teralihkan karena penampilan suamiku yang sedikit berantakan. Ia menempuh perjalanan jauh hanya untuk menjemputku… Jadi, aku… sedikit…” Kirana melirik Amanda dan Akasa bergantian, pria itu benar-benar mengerikan, “Aku sedikit tak enak hati karena dia harus menjemputku sejauh ini…” “Aku mengerti, Kirana. Suamimu manis sekali, persis seperti Kasa yang selalu bersikeras menemani dan mengantar jemput aku… Tidakkah kau ingin mengenalkannya kepada kami?” “O—oh, iya. Akang…” Kirana mendongak kepada suaminya, namun betapa terkejutnya Kirana saat menemukan mata Susilo yang menatap tajam dan penuh kecurigaan pada pria bermata hijau yang berdiri di samping Amanda. Susilo sepertinya menyadari keberadaan sosok bermata hijau itu. “Akang…” Kirana menarik-narik lengan Susilo. “Ya?” tanya Susilo. “Akang, Wanita ini adalah Amanda, dan pria ini adalah Akasa. Mereka teman SMA Kira di kampung perkebunan. Amanda dan Aden, ini adalah suamiku, Susilo Soedirman…” Wanita ramah dan ceria seperti Amanda tentu tak keberatan untuk mengulurkan tangan terlebih dahulu ke depan Susilo. Wanita itu berseru senang sambil melangkah maju, “Kang Susilo, senang berkenalan denganmu! Aku tidak menyangka jika ternyata Kirana sudah menikah denganmu. Selamat atas pernikahan kalian…” Susilo menerima uluran tangan itu, lalu tersenyum beku, senyum yang tak pernah sampai pada matanya, “Terima kasih.” “Kirana, suamimu ternyata tampan seperti kekasihku. Kamu sangat beruntung Kirana. Tak hanya tampan, suamimu juga sangat sayang dan perhatian kepadamu.” “Benar, dia sangat menyayangiku.” Jawab Kirana takut-takut, ia berusaha memaku matanya pada Susilo, mengabaikan Akasa yang masih berdiri kaku dan mengerikan di belakang Amanda. Amanda memeluk tangan Akasa, membawa pria itu melangkah maju sebagaimana dirinya. Akasa tak sempat menolak ketika wanita itu menyeret tubuhnya lebih dekat pada Kirana dan Susilo. “Sayang, kenapa kamu diam saja, ayo kenalan dengan suami Kirana.” Amanda bukannya tidak menyadari tentang ketegangan yang terjadi pada sang kekasih, namun ia justru menarik tangan Akasa dan mengulurkannya kepada Susilo. “Sayang, kamu kenapa sih, kok melamun gini, jangan khawatir sebentar lagi kita pulang… Bunda sudah menunggu…” omel Amanda. Mendengar itu, Kirana pun menggoyang tangan Susilo, memberi kode agar bersikap sopan di depan teman SMA nya. “Kang, Ini teman SMA ku, sekaligus anak Om Raden Atmajaya, orang yang menawariku pekerjaan…” bisik Kirana. Suaranya goyah. Matanya tak sanggup menatap Akasa. Susilo yang pada dasarnya pria baik, akhirnya mengalah dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan pria yang menatapnya dengan permusuhan yang kentara. Dan benar saja, saat tangan Susilo hampir meraih tangan Akasa, pemuda bermata hijau itu menarik tangan tiba-tiba. Menolak jabat tangan yang hendak Susilo berikan kepadanya. Akasa mendesis dengan mata menyipit, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, “Sama-sama kotor. Kalian sangat pas.” “Sayang!” tegur Amanda. Amanda tak menyangka jika hinaan semacam itu akan keluar dari mulut pendiam kekasihnya. Bahkan Kirana pun terperangah tak percaya. Matanya yang sejak tadi menghindari Akasa, kini menoleh cepat dan mencari mata Akasa yang baru saja menghina dirinya dan Susilo dengan sangat terbuka. Apa katanya? Kotor? Hati Kirana berdenyut nyeri. Matanya bersirobok dengan mata suram Akasa. Mereka bertatapan selama beberapa saat yang membekukan udara di sekitar berubah dingin dan membuat mengigil. Dari tatapannya saja, Akasa terlihat sangat benci dan jijik pada Kirana. Seolah-olah Kirana adalah sampah yang membuatnya mual dan ingin muntah. Seluruh kebencian itu membuat Kirana terhenyak, pundaknya turun dan nafasnya terhempas. “Betul, kami memang kotor, Tuan Muda yang terhormat sepertimu tak sepantasnya berdekatan dengan masyarakat miskin seperti kami…” “Bagus kalau kau sadar diri.” Gumam Akasa, lalu berbalik hendak meninggalkan semua orang, hanya saja langkah Sang Tuan Muda terhenti oleh suara Susilo yang menahannya. “Matamu…” mulai Susilo. “Akang!” seru Kirana panik. Ia melotot lebar-lebar kepada suaminya karena telah berani mengungkit masalah mata. Jangan sampai pria itu mengungkit tentang Dwika di hadapan Akasa. Sang Tuan Muda berbalik, kedua alisnya terangkat, menantang Susilo untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. “Matamu mengingatkanku pada seseorang…” Bulir-bulir keringat dingin muncul di pelipis Kirana, perutnya melilit tiba-tiba. Ia menarik lengan Susilo, namun pria itu malah menepis tangannya. “Kang Susilo, Sudah sore…” lirih Kirana tak berdaya. Ia terjebak di dalam pertarungan ego dua orang pria yang saling bermusuhan. “Mata yang sangat hijau seperti batu zamrud. Cerah dan indah. Sangat langka dan tak bisa ditemukan sembarangan…” “Kang Susilo!” tegur Kirana, ia hampir menangis mendengar ucapan suaminya. Kirana sangat takut jika Susilo sampai hati mengatakan sesuatu yang tak boleh dikatakannya. Akasa mengernyit, pria itu berbalik sepenuhnya dan menghadap Susilo penasaran. “Siapa yang memiliki mata seperti saya?” Susilo tersenyum mengejek, senyum lebar yang memiliki kesan misterius hingga membuat Akasa melotot tak suka oleh sikapnya. “Ayahmu.” Timpal Susilo. “Om Raden Atmajaya memiliki mata yang sangat hijau sepertimu…” Pria yang berprofesi sebagai guru sekolah itu merangkul Kirana, lalu menghadiahkan kecupan singkat di ubun-ubun istrinya. “Kami memang kotor, jadi kami harus pulang untuk membersihkan diri secepatnya. Kami pamit Tuan dan Nona Muda.” Susilo mengangguk sopan, lalu berbalik membawa Kirana menuju motor bututnya. Akasa memutar mata dan berbalik sambil mendengus, “Omong kosong!” Langkah kaki Susilo terhenti, pria itu menoleh ke belakang seraya berkata, “Terima kasih sudah muncul dan memperlihatkan mata hijaumu di depanku. Sekarang aku tidak penasaran…” *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN