Pikiran Kirana terasa kosong, ia tak bisa fokus mendengar perkenalan yang disampaikan dua resepsionis yang menolak kehadiran Kirana sebelumnya. Mereka berdua berbicara dengan ramah, dan memohon maaf atas ketidaknyamanan yang Kirana rasakan karena harus menunggu di luar. Kirana hanya mengangguk kecil saat mendengar penjelasan-penjelasan mereka.
“Dia adalah karyawan Atmajaya Construction yang akan mengatasi soal purchasing lahan.” Tutup Om Raden, “Sampaikan pada Personalia tentang apa yang saya katakan barusan.”
“Baik, Tuan Besar. Kami akan memastikan personalia mengetahui hal ini sehingga Nona Kirana bisa menemui mereka dengan segera.”
Tuan besar pun mengangguk puas, kemudian merangkul Kirana untuk berbelok ke lorong kanan yang ada di lobby. Sebelum benar-benar menjauh, Tuan Besar menoleh ke belakang.
“Oh, Ya. Apakah Akasa sudah datang?”
Resepsionis pria menjawab, “Sudah, Tuan Besar. Tuan Muda sudah datang sejak pagi-pagi sekali.”
“Bagus. Sekarang kita bisa menemuinya, Kirana!”
Ajakan itu berhasil membuat Kirana semakin tak bisa fokus dengan apapun, konsentrasinya sudah lenyap entah ke mana dan pikirannya dipenuhi segala hal tentang pria bernama Akasa.
Raden Akasa Atmajaya!
Seperti Ayahnya, Pemuda bernama Akasa itu pun mempunyai mata sehijau batu zamrud yang cemerlang. Warna mata indah dan selalu berhasil menghipnotis setiap orang yang melihatnya. Struktur wajah yang kokoh dan tegas, rambut dark brown dan seperti bocah peranakan Indo-barat pada umumnya, Akasa memiliki kulit yang pucat.
Di dalam kepala Kirana terbayang sosok Akasa –kawan bermain Kirana sejak kecil hingga remaja. Pria itu selalu menjadi sosok kakak untuk Kirana, selalu menjadi malaikat pelindung bagi Kirana yang kesepian. Teman terbaik yang pernah Kirana miliki sepanjang masa pertumbuhannya. Hingga suatu hari, pria itu tiba-tiba diam, tak pernah bicara dan tak pernah bermain lagi dengannya. Perubahan mendadak yang membuat Kirana merasa sangat kehilangan dan bertanya-tanya.
Apa yang membuat Akasa menjauh darinya?
Apa yang membuat pria itu tak mau lagi berbicara dan menemuinya?
Mengapa mereka berakhir seperti dua orang asing yang pernah saling mengenal saja? Bukan sahabat sejak kecil yang selalu menghabiskan waktu bersama?
Hal itu sangat menyakiti perasaan Kirana remaja, rasa sakit yang membuat Kirana kecewa dan tak mampu berbicara secara langsung kepadanya. Kirana hanya bisa diam dan melihat dari jauh setiap kali punggung pria itu menjauh darinya. Bagaimana pria itu berhenti bicara dan bersikap sangat acuh kepadanya.
Rupanya saat itu Sang Juragan muda tengah jatuh cinta pada gadis Sunda paling cantik di kampung perkebunan, gadis paling berbakat dan bersuara indah. Gadis itu adalah Amanda, putri pertama seorang mandor di serikat perkebunan Atmajaya. Amanda yang cantik jelita berhasil mencuri perhatian Tuan Muda, merebut semua waktu dan kasih sayang pria itu dari Kirana. Kecantikannya mampu membuat Sang Tuan Muda melupakan dan membuang Kirana dari sisinya.
Saat itulah Kirana menyadari bahwa yang ia miliki untuk Akasa bukanlah sekedar pertemanan, persahabatan atau hubungan kakak-adik seperti sebelumnya. Ada cinta yang tumbuh di dalam hatinya, ada patah hati dan kecewa yang membuatnya terluka. Ada air mata yang begitu banyak dalam menghadapi kenyataan yang terjadi di antara mereka. Kenyataan bahwa Akasa mencintai wanita lain yang bukan dirinya. Akasa memilih gadis lain dan melupakannya. Membuangnya.
Membayangkan semua kenangan masa remaja hingga awal kuliah itu membuat Kirana kembali teringat bagaimana sakitnya menjadi yang terbuang, bagaimana sakitnya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Bagaimana hancurnya hati dan hidup Kirana hanya karena satu orang b******k yang telah membuatnya jatuh cinta.
Kirana menggeleng kecil, ia berusaha untuk melupakan semua rasa sakit itu dari dalam hatinya dan menghentikan semua kolase kenangan masa lalu yang melintas di dalam kepalanya. Namun Kirana benar-benar tak tahan. Perutnya semakin melilit setiap detiknya. Jantungnya seperti sedang berpacu layaknya genderang perang dan nafasnya sesak seperti habis lari marathon.
Kirana pun menghentikan langkah, membuat Om Raden melakukan hal yang sama dan menoleh kepadanya.
“Ada apa, nak?”
“Om, saya… izin ke toilet ya, saya…” ujar Kirana panik.
Tuan besar memperhatikan keringat dingin yang mengalir dari pelipis Kirana, dan baru menyadari jika wajah gadis dalam rangkulannya berubah pucat dan terlintas kepanikan dalam matanya.
Om Raden meraih dagu Kirana, menjepit dagu itu dan mengecek wajah Kirana secara lamat-lamat.
“Kamu sakit?”
“O—Oh, Iya, Om. Sepertinya saya salah makan deh pagi ini, saya uhm…”
“Ck! Kirana, sejak dulu tidak berubah. Suka makan sembarangan. Ayo, Om tunjukkan toiletnya.” Om Raden membimbing Kirana ke sebuah pintu yang tertutup, “Dengan postur tubuhmu yang lebih kecil seperti sekarang, Om kira kamu berhenti makan sembarangan, Kirana.”
“Saya memang sudah berhenti makan sembarangan, Om. Tapi tidak tahu kenapa perut saya tiba-tiba sakit.”
“Ya sudah, kalau begitu cepat masuk. Om tunggu di dekat resepsionis karena Om harus membuat panggilan.”
“Baik, Om.”
Kirana pun memasuki toilet itu dan langsung bersandar di pintu yang tertutup. Ia memejamkan mata, dan menarik nafas sebanyak-banyaknya.
Enam tahun berlalu…
Dan Kirana berpikir bahwa dirinya sudah cukup kebal dan mampu menghadapi masa lalu. Tapi ternyata pikiran itu adalah sebuah kenaifan gadis bodoh yang sama. Gadis t***l yang mau melakukan kesalahan yang sama –jatuh cinta.
Jatuh cinta adalah kesalahan. Jatuh cinta kepada pria yang salah adalah kebodohan. Jatuh cinta seorang diri selama bertahun-tahun adalah kemalangan.
Kirana adalah kombinasi dari semua itu. Ia tak bisa memungkiri bahwa dirinya belum siap untuk menemui pria itu lagi.
Kirana tidak tahu bagaimana menghadapi pria itu hari ini tanpa menangis dan meratapi patah hati.
Ingin rasanya melarikan diri dari gedung ini, dari pria bermata hijau itu dan dari semua kenyataan yang ada. Tapi bagaimana cara memberitahu Om Raden yang menunggu di lobby? Bagaimana menghadapi kebutuhan hidup yang semakin tinggi?
Hingga pagi ini Kirana selalu berpikir bahwa pria itu belum kembali ke tanah air sehingga Kirana tak keberatan untuk bekerja di Grup Atmajaya. Jika hanya bekerja di bawah nama keluarganya, Kirana sanggup. Sangat sanggup. Tapi jika ada pria itu di dalamnya, maka sudah bisa dipastikan hati Kirana akan kembali babak belur. Ia akan menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang dihadapinya di masa lalu.
Kirana tak sanggup.
Pria yang menghilang dari kehidupan Kirana selama enam tahun lamanya, pria yang paling penting dalam hidup Kirana, pria yang menjadi segala-galanya bagi Kirana.
Pria itu kembali dan Kirana tidak memiliki persiapan sama sekali. Ini bagaikan sebuah mimpi. Pikiran Kirana terasa kosong dan seluruh tubuhnya seolah mati rasa.
Wanita itu mendesah kecil, matanya yang nanar dan berkaca-kaca itu terbuka.
“Pria itu sudah kembali… aku harus segera pergi dari sini…” lirih Kirana. *