Jika ada manusia yang paling persuasif di dunia ini, maka manusia itu bernama Raden Atmajaya. Pria tua itu mampu membujuk setiap rekan bisnis grup Atmajaya agar mau bekerjasama dengannya. Mampu membujuk setiap anak buah, maupun badan pemerintah. Dan kini ia sedang mempraktekan bujukannya pada Kirana yang bersikeras ingin pulang ke rumah dengan alasan sakit perut.
“Kirana, kamu bisa istirahat di kantor Om kalau benar-benar sakit perut dan tak kuat. Di kantor Om ada kamar mandi juga, jadi kamu tidak perlu khawatir mencari kamar mandi saat perutmu sakit. Istirahatlah sebentar di sini, siapa tahu kondisimu membaik, lagipula kalau kamu pulang sekarang tidak baik untukmu Kirana, bagaimana jika kamu sakit perut lagi dalam perjalanan? Maka dari itu, tunggulah disini, Om akan menyuruh sekretaris Om mencari obat untukmu. Jika obatmu tak mempan dan kamu benar-benar butuh istirahat, sopir Om akan mengantarmu pulang. Tapi tidak sekarang, karena sopir Om sedang pergi untuk mengantar pesanan Tante di rumah…”
Penjelasan itu membuat Kirana tak enak hati. Ia datang ke grup Atmajaya berdasarkan undangan dan harapan Om Raden yang sangat besar kepadanya. Tapi ia malah berkelit tiba-tiba dengan alasan konyol seperti sakit perut. Lagipula tidak mungkin Kirana menyampaikan alasan yang sesungguhnya.
Kirana tersenyum kecil, “Kalau begitu saya manut sama Om saja…”
“Anak Wong yang sangat baik…” puji Om Raden sambil menepuk puncak kepala Kirana, “Kalau begitu, Ayo ke atas, Om ada rapat setelah ini…”
Mereka kembali berjalan menelusuri lorong, lalu menaiki tangga yang sangat melelahkan dan akhirnya sampai di tempat tujuan. Di depan ruang kantor Om Raden terdapat seorang sekretaris pria bernama Adimas. Kirana hanya berkenalan singkat dengan pemuda itu karena Om Raden menyuruh Adimas pergi ke apotek untuk mencari obat sakit perut Kirana.
“Kirana, ruangan ini adalah kantor Om, tapi sebelum kita masuk ke ruangan ini, Om akan mengantarmu ke ruang personalia, kamu bisa wawancara dengan mereka ketika kamu sudah siap dan kondisi perutmu baik-baik saja.”
“Baik, Om.”
Om Raden pun membawa Kirana naik satu lantai lagi, tempat dimana ruang personalia berada. Om Raden menjelaskan bahwa dirinya sengaja menempatkan ruang personalia di lantai atas karena setiap pelamar yang hendak wawancara harus melalui banyak anak tangga sebagai ujian pertama sebelum masuk ke Grup Atmajaya. Mereka yang lolos haruslah manusia-manusia dengan fisik dan tekad yang kuat.
“Ruang Personalia ada di ujung…” jelas Om Raden.
Kirana pun mencari keberadaan ruang personalia yang Om Raden maksud, tapi yang Kirana dapat justru matanya terpaku pada ruang kantor dengan pintu terbuka yang ada di samping ruang personalia.
Kirana membeku melihat sosok yang berada di dalam ruang kantor itu. Dari jarak yang cukup jauh dan pintu yang terbuka, Kirana bisa melihat sosok yang tak dilihatnya selama enam tahun lamanya.
Akasa.
Wanita itu menelan ludah, kakinya mulai goyah, namun rangkulan Om Raden yang terus membawanya berjalan membuat Kirana tak memiliki pilihan lain selain terus melangkah.
Semakin Kirana melangkah, semakin keras jantungnya berdetak, semakin lemas seluruh tubuhnya. Perutnya kembali melilit oleh rasa yang tak bisa diungkapkan. Seluruh wajahnya kaku tak bisa menampakkan ekspresi apapun di hadapan semua orang.
Sedangkan mata Kirana tak lepas memperhatikan sosok yang terlihat dari pintu tersebut.
Akasa yang berusia dua puluh tiga tahun tentu berbeda dengan Akasa remaja. Akasa dewasa terlihat jauh lebih tinggi, badannya pun lebih besar daripada Akasa remaja. Walau kurus namun Akasa memiliki pundak yang sangat lebar, pinggang yang ramping, dan rambut yang dibiarkan memanjang hingga setengkuk.
Pria itu terlihat santai dengan hanya mengenakan kaos polo berwarna putih, celana jeans dan sepatu docmart hitam yang sangat pas dengannya. Penampilan khas anak teknik arsitektur yang tidak ingin ribet dengan penampilan. Pria itu sedang menunduk di depan sebuah meja, tangannya sibuk menahan penggaris dan mencoret-coret sesuatu di atas kertas.
Kirana pernah membayangkan pemandangan ini bertahun-tahun lalu saat Akasa mengungkapkan impiannya yang ingin menjadi seorang Arsitek. Saat itu Kirana remaja membayangkan betapa kerennya sosok Akasa yang sedang merancang sebuah gambar bangunan, ternyata imajinasi Kirana tak jauh berbeda dengan kenyataan yang dilihatnya sekarang. Akasa tampak sangat mempesona saat sedang serius merancang desain bangunan, seluruh tubuh pemuda itu seolah disinari cahaya matahari yang membuatnya berkali-kali lipat lebih indah dan bercahaya.
Kirana kehabisan kata-kata jika harus menjelaskan penampilan Akasa dewasa. Wajah seriusnya, kening berkerutnya, dan seluruh tubuhnya berhasil memesona Kirana bahkan setelah enam tahun berlalu lamanya.
Kirana menahan gejolak hatinya sekuat tenaga, hanya dengan sekali lihat saja, Kirana langsung goyah dan luluh oleh penampilan pria itu. Tiada yang berubah dari wajah Akasa, namun segalanya menjadi lebih, lebih dan lebih baik setelah waktu berjalan.
Pria itu semakin indah, semakin gagah…
Namun Kirana…
Gadis itu menunduk dan memperhatikan penampilan sederhananya. Tentu saja ia tak bisa dibandingkan dengan penampilan pria itu. Kirana yang sekarang jauh berbeda dengan Kirana yang dulu. Ia bukan lagi anak gadis seorang saudagar Hongkong yang berdagang keliling Indonesia, sekarang Kirana hanyalah gadis miskin yang tak berharta, tak memiliki kehidupan yang baik dan masa depannya tampak muram. Kirana remaja selalu tampak segar, berpenampilan rapi dan terurus dengan baik oleh harta kedua orang tuanya. Tapi Kirana dewasa justru memiliki penampilan yang berkebalikan, ia kurus, lusuh dan selalu tampak lelah. Tak ada bagus-bagusnya.
Enam tahun terakhir membuat Kirana mengalami perubahan yang sangat berbeda dengan apa yang dialami Akasa. Mereka menempuh dua jalur berbeda yang menghasilkan sosok yang berbeda pula. Si Kaya yang semakin menawan, dan si miskin yang lusuh dan tak menarik.
Hati Kirana seolah diremas oleh perbedaan yang terjadi antara dirinya dan Akasa. Pria itu semakin berkuasa di ibu kota, sedangkan Kirana semakin terhempas di dasar kemiskinan.
“Andai saja aku tidak berbuat bodoh…”
Kirana menggeleng, ia menghapus semua pengandaian yang muncul di dalam kepalanya. Wanita itu menekan seluruh pesona Akasa dan mengembalikan kewarasannya pada titik semula. Ia harus bersyukur, kini ia memiliki keluarga yang sayang kepadanya, anak-anak yang baik dan menggemaskan, dan walau tak senyaman kehidupan putri Saudagar Wong, namun Kirana bahagia. Ia bahagia mencapai titik ini. Ia sangat bangga pada dirinya sendiri karena mampu bertahan melalui semua terjal yang harus dihadapi.
“Kirana, kau pasti mengenali sosok itu, bukan?” seru Om Raden.
Kirana mengerjap, ia hendak menghentikan Om Raden, namun terlambat, karena pria itu sudah memanggil putranya dengan lantang.
“Akasa!” panggilnya.
Tubuh Kirana pun tegang seketika. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Kirana menahan nafas saat mendapati pria itu menoleh ke sumber suara. Tempat dimana dirinya berada.
Gerakan Akasa seolah terjadi dalam slow motion yang begitu menegangkan bagi Kirana. Ia tak menyangka jika beginilah caranya bertemu dengan Akasa setelah enam tahun berlalu tanpa jeda. Pertemuan pertama setelah segalanya hancur di depan mata keduanya. Persahabatan, kekeluargaan dan hubungan tak terdefinisikan yang rusak oleh segala hal yang tak Kirana tahu penyebabnya.
Kirana hampir menangis membayangkan pertemuan terakhirnya dengan Akasa, namun ia hanya bisa menggigit bagian dalam pipi agar bisa menahan seluruh emosi yang bergolak di dalam diri.
Rupanya pria itu sempat terkejut melihat kehadiran Kirana yang berjalan di samping ayahnya. Kirana bisa melihat mata pria itu terpaku sesaat, sebelum akhirnya ia berdiri tegak dan berjalan keluar ruangan.
Kirana hampir mati kaku saat melihat mata pria itu. Mata yang membekukan air dan udara yang ada. Mata yang begitu dingin dan tak memancarkan kehangatan sedikitpun. Wajah Akasa pun tampak datar, tak memiliki ekspresi dan seolah tidak tertarik kepada Kirana. Ia hanya melirik sekilas, lalu matanya lurus pada kehadiran sang ayah.
Saat itu Kirana merasa invisible. Merasa tak terlihat. Kehadirannya benar-benar tak dianggap olehnya. Sikap yang sama semenjak Amanda muncul di antara mereka.
“Ayah…” Sapa Akasa, suaranya rendah dan dingin.
“Akasa, lihat siapa yang Ayah bawa. Teman kecilmu, Kirana!” *