Kirana berdiri di tepi jalan dalam kebingungan, kepalanya menunduk pada sebuah kartu nama yang diberikan oleh Om Raden kepadanya. Kartu ini asli, dan gedung itu pun milik Juragan ningrat pemilik perkebunan di kampung halaman Kirana. Jadi ia tidak berbohong ketika berkata bahwa Om Raden Atmajaya mengundangnya datang untuk bekerja di Atmajaya Konstruksi sebagai broker tanpa proses wawancara sama sekali, apalagi sekedar janji wawancara, lamaran sekalipun tidak diminta darinya. Pekerjaan itu datang atas dasar saling percaya dan mengetahui potensi Kirana di kampung perkebunan mereka.
Tapi, Kirana tidak enak hati jika harus mengotot bahwa dirinya benar dan tidak mengada-ada. Ia pun memilih mundur dari meja resepsionis sambil menunggu kedatangan Om Raden ke kantor.
Kirana melirik ke dalam gedung Atmajaya sekali lagi, ia menemukan dua orang resepsionis itu sedang memperhatikannya dari dalam. Dua orang itu pun tersenyum canggung sebagai bentuk sopan santun, dan Kirana membalasnya dengan senyuman yang sama.
Ia tidak bisa menyalahkan keputusan dua resepsionis tersebut, toh mereka memang melaksanakan pekerjaan sesuai dengan jobdesk nya dan tidak membiarkan sembarang orang yang tidak berkepentingan masuk ke gedung bisnis mereka. Diberi senyum ramah dan diperlakukan dengan sangat sopan saja membuat Kirana bersyukur, apa jadinya jika dua orang itu bersikap sombong dan mengusir Kirana bak tunawisma yang meminta-minta.
Ditengah kebisingan isi kepalanya, Kirana dikejutkan dengan suara yang tiba-tiba memanggilnya. Kirana pun mencari sumber suara tersebut dan menemukan Bos Besar Raden Atmajaya baru saja turun dari kendaraannya.
Kirana tersenyum senang. Matanya berkilat penuh harapan. Akhirnya ia menemukan orang yang menawarinya pekerjaan.
“Kirana!”
“Om Raden!” jawab Kirana sambil berjalan ragu-ragu ke tempat pria itu.
“Apa yang kau lakukan disini? Kenapa tidak menunggu di dalam?” Om Raden menepuk kening, “Oh, Tuhan! Saya lupa memberi tahu Adimas bahwa hari ini saya ada janji temu denganmu, Kirana!” jelas Om Raden Atmajaya dengan suara meriahnya. Pria itu tampak jenaka karena menertawakan dirinya sendiri dengan begitu terbuka, “Maafkan saya, ya? Kalian pasti sangat bingung…”
Penjelasan Tuan Besar membuat Kirana menghembus nafas lega diam-diam, wanita itu mengulum senyum dan menjawab dengan ringan, “Betul, Om. Kami sangat bingung, tapi tidak apa-apa, sekarang kami bisa tenang karena Om sudah datang.”
Tuan Raden mengangguk, lalu merangkul pundak Kirana dan menggiring gadis itu masuk ke lobby perusahaan.
“Jangan khawatir, Om akan memperkenalkanmu kepada seluruh pegawai di gedung ini. Kau adalah calon broker yang akan menyukseskan rencana bisnis Atmajaya Construction di masa depan. Jadi, Om punya harapan yang sangat besar kepadamu, tolong bantu kami dengan menggunakan seluruh koneksi dan kemampuan dagang yang kau miliki, Kirana.”
Sesungguhnya kalimat itu memberikan beban tersendiri bagi Kirana, wanita itu tidak pernah menjadi broker tanah atau bekerja di sebuah perusahaan besar seperti Atmajaya, ia bahkan tidak mengerti bagaimana memulai sebuah negosiasi, Kirana hanyalah pedagang kecil serabutan yang bertahan hidup dari hari ke hari dengan hasil jualannya. Tapi, Ia tak boleh mundur hanya karena ketidaktahuannya, Kirana mengangguk di hadapan Tuan Besar Atmajaya sebagai bentuk persetujuan—sekaligus sebagai bentuk upaya Kirana meyakinkan diri sendiri.
“Kira akan mencobanya, Om. Seperti yang Om katakan sebelumnya, aku sangat mengenal kampung perkebunan kita jadi aku pasti bisa membantu Om.”
“Bagus, Om suka semangatmu ini. Semoga hal positif ini bisa menular kepada yang lainnya, termasuk Akasa!”
Nama itu membuat Kirana membeku seketika, sekujur tubuhnya seolah disiram air dingin yang membuat tubuh Kira menggigil hebat. Mata wanita itu membelalak dan wajahnya tegang tak tertahankan, Kirana mendongak menatap Om Raden Atmajaya dengan ekspresi yang dipenuhi kengerian.
“A—Akasa?”
Om Raden mengangguk, senyum ceria timbul dari wajahnya, “Kau pasti kaget mendengarnya, bukan? Ya, Akasa sudah kembali sejak enam bulan yang lalu. Bocah bengal itu berhasil menyelesaikan study nya dengan cepat! Ck! Sudah kukatakan untuk bertahan di sana dan melanjutkan master degree, atau sekolah lagi saja. Tapi dia malah memaksa pulang.” Jelas Om Raden yang tidak menyadari kebekuan di wajah Kirana, pria itu melanjutkan dengan wajah senang dan bangga membayangkan Putra tunggalnya yang bernama Akasa, “Tapi yah, Om tidak bisa memaksanya terus di Eropa, toh dia sudah berkuliah double degree dan lulus dengan waktu yang relatif cepat. Ya, Kirana, bocah yang hanya tahu acuh dan hidup dalam dunianya sendiri itu berhasil menyelesaikan dua pendidikan sekaligus. Ia meraih gelar dari Teknik Arsitektur dan Bisnis Administrasi. Kau pasti sangat bangga pada teman masa kecilmu itu, Kirana. Kau juga pasti akan sangat kaget melihat sosoknya yang sekarang. Dia sudah bertransformasi menjadi pria dewasa yang mengagumkan dan membanggakan Om dan Tante.”
Om Raden begitu bahagia membayangkan sosok yang sedang dibicarakannya, pria itu tertawa seraya menggeleng kecil, “Bahkan, ketika Om melarangnya pulang dan berkata bahwa dia belum cukup ilmu untuk mengambil seluruh bisnis keluarga kami, bocah itu malah berani mengambil sumpah dengan sangat keras kepala bahwa dirinya akan belajar dan berusaha keras untuk menekuni dunia bisnis ini secara langsung agar bisa menggantikan Om untuk memimpin Atmajaya Group di masa yang akan datang. Ck, anak itu… Bahkan Kirana…” Om Raden menepuk kening, mata pria itu bersinar penuh kebanggaan kepada putranya, “Bahkan ketika ibunya menentang keputusan Akasa yang tidak mau melanjutkan master degree, bocah itu malah menyogok kami dengan sebuah proposal bisnis yang cemerlang. Ya, bisnis yang akan kau jalani bersamanya ini, pembangunan fasilitas besar di kampung perkebunan kita, Yah, siapa yang hendak menolak proposal bisnis terbaik itu, Kirana. Hanya orang bodoh yang mau melakukannya…”
Seolah semua berita itu tak cukup membuat kaget, kalimat terakhir Om Raden Atmajaya layaknya petir yang menyambar jaringan syaraf otak Kirana. Sambaran petir imajiner itu berhasil menghentikan langkah Kirana seketika, dan secara otomatis langkah Om Raden Atamajaya pun terhenti di sampingnya.
“Lihat, kau juga sangat terkejut dengan hal ini! Ck!” ujar Om Raden. “Om dan tante tak kalah kaget dengan perubahannya selama beberapa tahun ini. Dia sangat bertekad untuk bisa menjadi pria dewasa yang mampu dipercaya Ayah dan Ibunya. Om tidak menyangka. Om pikir dia hanya akan sibuk dengan dunianya sambil bersembunyi di ketek neneknya di perkebunan!”
Kirana benar-benar tak tahu bagaimana menjawab seluruh penjelasan seorang ayah yang sedang berbangga hati itu. Ia hanya bisa diam karena tak bisa mengontrol emosi dan ketakutan yang tiba-tiba bergolak di dalam dirinya. Jika saja Om Raden cukup sensitif dan mengerti raut wajah maupun bahasa tubuh seorang wanita, maka pria itu pasti bisa melihat segala emosi yang bangkit dari dalam diri Kirana.
Tapi pria tua itu justru merangkul Kirana dan kembali berjalan masuk dengan begitu bersemangat.
“Ayo, kita cari bocah bengal itu di gedung ini! Dia pasti sedang sibuk membuat design bangunan di suatu tempat!” *