3. Dendam, Benci dan Amarah

2246 Kata
Sebuah motor butut tua yang dibeli dari toko kendaraan bekas itu berhenti di sebuah gedung besar yang terletak di jalan utama pusat kota Jakarta. Di atas motor itu terdapat sepasang suami istri yang berpakaian rapi dan formal. Sang suami memakai seragam guru sedangkan sang istri memakai baju kerja sederhana. Di depan mereka terpampang gedung megah yang menjulang tinggi. Di atas pintu utama dan juga dinding gedung terdapat tulisan “Kantor Pusat Grup Atmajaya”. Terdapat lima lantai yang terdiri dari banyak ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda. Kirana tidak pernah menyangka jika bisnis keluarga Atmajaya semakin besar saat berada di bawah asuhan Om Raden Atmajaya. Kirana menggeleng kecil untuk menghilangkan keterpesonaannya. Ia menarik nafas banyak-banyak agar jantungnya berhenti menggila. Kirana pun melompat turun dari motor, dan berjalan ke samping suaminya. Seperti istri pada umumnya, wanita yang bernama Kirana itu mencium punggung tangan Susilo sebagai bentuk bakti dan hormatnya kepada lelaki yang menjadi suaminya. “Kira kerja dulu, kang. Doakan ya, supaya lancar…” Susilo tidak terlihat seperti suami yang hendak mengantar istrinya pergi bekerja, lelaki itu begitu tegang, cemas dan khawatir saat memperhatikan gedung dan istrinya bergantian. Dari semua kekhawatiran itu, Susilo bersikap seperti suami yang akan melepas istrinya masuk ke kandang singa lapar yang sangat berbahaya, sehingga untuk terakhir kalinya Susilo bertanya kepada Kirana dengan penuh tekanan. “Neng yakin mau bekerja disini?” Kira menghembus nafas berat. “Ini adalah kesempatanku mencari uang tambahan, Kang. Aku gak bisa terus-menerus menyusahkan akang dan teh Rosa.” “Tidak apa-apa. Tidak perlu memaksakan diri seperti ini. Akang dan Teh Rosa tidak keberatan sama sekali.” “Tidak. Aku tetap harus bekerja untuk pengobatan bulan depan. Ini adalah salah satu tempat yang bagus untuk mendapatkan banyak uang…” Susilo justru semakin ragu, “Apa benar hanya karena alasan itu?” Kening Kirana mengernyit, wanita itu mendesah kecil sambil memejamkan mata sejenak, ia tahu bahwa Susilo maupun Rosa mungkin berpikir bahwa alasan Kirana terlalu memaksa. Apalagi mereka telah mengetahui segala hal yang Kirana simpan di dalam kotak rahasianya. Tak ada rahasia di antara mereka bertiga, hanya ada rasa percaya kepada satu sama lainnya. “Dendam, benci dan amarah itu sudah tiada, Kang. Sudah hanyut dimakan waktu. Aku tidak memiliki semua itu dan sudah berdamai dengan hidupku. Yang aku inginkan saat ini adalah hidup damai bersama anak-anak, Kang Sulilo dan Teh Rosa saja. Aku tidak ingin yang lainnya. Percayalah, aku tidak memiliki motif tersembunyi. Tujuanku murni untuk mencari uang saja. Demi Dwika, Demi Dhika! Sebentar lagi mereka sekolah, sedangkan aku belum punya uang untuk itu. Aku…” “Kita bisa mengusahakannya bersama-sama…” Kirana memandang suaminya dengan mata nanar, entah kebaikan macam apa yang telah diperbuatnya hingga mendapat suami dan madu yang baik seperti Susilo dan Rosa. “Aku tahu, kita selalu akan mengusahakannya bersama-sama. Tapi aku akan berusaha lebih keras untuk itu semua, aku akan berjuang lebih keras untuk kita.” “Kirana…” Kirana meraih tangan Susilo dan menggenggamnya erat. “Akang…” “Ya?” “Apakah aku terlihat seperti wanita pendendam yang akan membalas rasa sakitku?” Susilo menggeleng, “Bukan. Neng jauh lebih baik dari itu…” “Sebab itu, tolong jangan pernah meragukan motifku bekerja di tempat ini. Aku sudah berdamai. Aku menjalani hidupku dengan penuh rasa syukur. Bukankah aku sudah memohon kepada kalian bahwa apapun yang terjadi, Dhika dan Dwika adalah selamanya anak kita bertiga, tidak boleh ada yang merebut mereka dari kita, jadi jangan biarkan siapapun mengetahui keberadaan mereka.” “Itulah yang membuat kami bingung, kamu selalu takut jika suatu saat nanti mereka akan merenggut si kembar dari pelukanmu, tapi sekarang kamu justru datang ke tempat berbahaya ini. Keputusanmu terlalu beresiko, Neng…” “Aku hanya akan bekerja tanpa membawa-bawa si kembar di dalamnya. Kang, kumohon percayalah kepadaku… tidak ada dendam, tidak ada tujuan terselubung dari hal ini. Aku hanya ingin mencari uang!” mohon Kirana putus asa. “Aku benar-benar butuh uang, Kang! Aku ingin Dwika hidup! Aku ingin Dhika bersekolah! Aku ingin memperjuangkan masa depan anak-anakku!” Kirana berusaha keras untuk menahan suaranya agar tidak meningkat, dan upayanya itu menghasilkan wajah merah dan mata basah yang emosional. Wanita itu memohon, benar-benar memohon agar Susilo maupun Rosa mau menerima alasannya tanpa berpikir bahwa Kirana memiliki tujuan tersembunyi di tempat ini. Melihat betapa putus asanya Kirana, Susilo pun mengangguk, ia menggenggam tangan Kirana erat-erat. “Akang percaya, Akang hanya khawatir saja, Neng. Akang harap Neng Kira baik-baik saja selama bekerja di sini. Tolong jangan terbawa arus emosi dan mengacaukan segala hal yang kita jaga selama ini.” Kirana menarik nafas lega, kemudian mengangguk. “Aku hanya ingin kita bahagia bersama.” “Akang pun mengharapkan hal yang sama.” Istri kedua Susilo itu pun menunduk sedih, “Lagipula, mungkin lelaki itu tidak ada di gedung ini, pasti sedang melanjutkan S2 di luar negeri, bersenang-senang dan menjalani masa depannya yang gemilang, tidak seperti aku…” Ucapan Kirana berhasil membuat Susilo terdiam. Suasana pun berubah hening oleh pikiran yang melayang di kepala masing-masing. Setelah mendengar kemungkinan itu, Susilo merasa tidak enak hati karena sudah menuduh Kirana banyak hal yang tidak seharusnya. Apalagi Kirana tampak sedih dan murung tiba-tiba. Mungkin keputusan untuk bekerja di gedung ini sudah Kirana pertimbangkan matang-matang. Dan alasan itu bukan untuk sesuatu yang menjadi kekhawatiran Rosa dan Susilo, melainkan murni hanya untuk kedua anak kembarnya. Pastinya keputusan itu tidaklah mudah bagi Kirana. Mengambil keputusan untuk bekerja di bawah nama itu pasti berat baginya. Sangat berat! Susilo melepas tangan Kirana, dan memberi perintah, “Sudah, kalau begitu masuklah. Jangan sampai terlambat di hari pertama bekerja. Nanti sore akang jemput Neng Kira disini, ya!” Ujar Susilo, ia berusaha mengalihkan pembicaraan yang membuat mereka terdiam. “Iya, Kang. Terima kasih banyak. Akang hati-hati nyetir ke sekolah…” “Muhun, kalau gitu Akang pamit ya.” Usai mengucap pisah, motor butut itu pun berlalu meninggalkan Kantor Pusat Grup Atmajaya, meninggalkan Kirana berdiri dalam diam hingga Susilo menghilang dari pandangannya. Sulit sekali meyakinkan Rosa dan Susilo yang terlalu mengkhawatirkannya. Padahal, Kirana sudah bersumpah untuk melanjutkan hidup dengan tenang bersama keluarga barunya. Keluarga yang telah menopang dan mendukungnya selama enam tahun belakangan. Kirana menarik nafas berat sekali lagi untuk menenangkan hatinya yang sempat kacau, ia kembali menata emosi di dalam hati dan menempatkan segala permasalahan di belakang. Oh, Ayolah, Ia tidak boleh terlihat emosi dan kacau di hari pertamanya bekerja! Wanita itu merapikan baju kerja yang kusut karena hempasan angin selama berkendara. Ia pun tersenyum kecil pada dirinya sendiri, sambil berbisik lirih, “Kamu bisa Kirana, kamu bisa. Tujuanmu hanyalah bekerja dan mendapatkan uang untuk si kembar. Bukan lainnya!” Setelah yakin segalanya baik-baik saja, ia berbalik dan melangkah dengan tegas memasuki gedung Kantor Pusat Grup Atmajaya. Kirana Wong yang berusia 23 tahun adalah seorang putri tunggal seorang perantau Hongkong yang menikahi wanita Sunda di sebuah daerah perkebunan teh. Ayah dan ibunya adalah pedagang keliling yang jarang pulang karena keduanya tidak hanya berjualan di dalam kota, namun terkadang harus keluar kota maupun keluar pulau jawa. Mereka berjualan apapun demi kehidupan dan masa depan putri semata wayang mereka, kesibukan mereka membuat Kirana sering dititipkan pada sepupu ibu nya, Ceu Minah yang juga selalu sibuk di perkebunan, hingga akhirnya Kirana tumbuh sebagai anak yang kesepian, kurang perhatian dan kasih sayang dari keluarganya. Sebab itu Kirana menggantungkan hatinya pada sosok yang salah, sosok yang membuatnya melalui banyak rasa sakit yang tak terhingga. Seberapa besar pun rasa sakit yang ia rasakan, Kirana tidak ingin menyalahkan kedua orangtua, maupun Ceu Minah yang selalu sibuk bekerja, hingga membuatnya melakukan kesalahan yang fatal di masa muda. Semua kesalahan berasal dari kebodohannya, dari ketidaktahuannya. Bukan dari orang tua yang selalu berjuang untuk memberikan kehidupan yang layak bagi putrinya. Sebab itu, setelah kedua orang tuanya meninggal, dan Ceu Minah yang pindah mengikuti suaminya ke luar pulau, Kirana berusaha untuk memperbaiki hidupnya seperti semula. Walau tak sama, namun setidaknya Kirana sudah memiliki keluarga baru yang menyayanginya. Keluarga yang menjadi sumber kekuatannya. Jadi, menghadapi masa lalu bukanlah apa-apa jika dilakukan demi masa depan keluarganya. Kirana akan bekerja keras dan mengenyampingkan segala gejolak hatinya agar bisa bersikap profesional sebagaimana mestinya. Kehadiran Kirana di Lobby gedung Kantor Pusat menarik perhatian resepsionis pria dan wanita yang berjaga. Mereka tersenyum sumringah menyapa gadis keturunan Sunda dan Hongkong yang baru saja memasuki gedung Atmajaya. Kirana tidak berpenampilan wah dan glamor, ia hanya menggunakan kemeja putih dan rok hitam formal yang membuatnya terlihat profesional. Walau bukan jenis wanita yang akan membuat orang kagum dan tergila-gila layaknya Rossa – istri Pertama Susilo, namun ia memiliki fitur wajah yang sangat manis, halus dan mudah diingat. Kirana mempunyai mata indah yang jika tersenyum mata itu akan melengkung begitu indah layaknya bulan sabit yang bersinar di tengah malam. Hidung mungil yang lancip pada ujungnya, bibir pink yang sangat pas dengan fitur wajahnya, rambut hitam sebahu dengan poni yang menutup kedua alisnya, dan di tambah lagi postur tubuh wanita dewasa beranak dua yang membuat pria selalu menoleh berkali-kali untuk melihatnya. Memang agak unik! Wajah dan model rambut Kirana membuatnya terlihat seperti remaja tanggung, namun postur tubuhnya menunjukkan bahwa Kirana adalah wanita dewasa. Kirana bukan lagi remaja tanggung bertubuh gempal dan berpipi chubby seperti dulu karena ia telah bertransformasi menjadi wanita dengan lekuk tubuh yang tak pernah gagal membuat para wanita iri kepadanya. Gadis manis dan sexy yang mencuri perhatian. Di dunia ini memang selalu ada gadis unik seperti Kirana, Ia layaknya angin sejuk di musim panas, dan matahari yang menghangatkan musim dingin. Ia bisa menyejukkan hati pria yang melihatnya, namun juga bisa membuat pria itu panas karena menginginkannya. “Selamat datang di Kantor Pusat Grup Atmajaya, Nona. Saya adalah Reni yang akan memandu Anda. Apakah ada yang bisa kami bantu?” Melihat keprofesionalan resepsionis wanita, Kirana menjadi berdebar-debar tak karuan. Tiba-tiba saja Kirana dilanda gugup luar biasa. Tentu saja ini adalah Kantor Pusat Grup Atmajaya, tempat dimana orang-orang profesional dan ahli dalam bidangnya bekerja. Kirana sempat membaca koran yang dibelinya pagi ini, mereka menyebutkan bahwa Grup Atmajaya memiliki berbagai jenis bisnis yang berkembang pesat, salah satunya adalah bisnis dalam bidang konstruksi pembangunan sarana dan prasarana. Pada bisnis itulah Om Raden menawarkan pekerjaan padanya. “S—Saya Kirana Wong. Saya memiliki janji dengan O.. Maksud saya Tuan Raden Atmajaya hari ini.” Reni menjawab, “Nona Kirana Wong dan memiliki janji dengan Tuan Besar Raden Atamajaya, betul?” “B—Betul.” “Kalau begitu izinkan saya untuk menghubungi sekretaris Tuan Besar Raden Atmajaya terlebih dahulu untuk memastikan jadwal pertemuan Anda dengannya.” Dengan sangat profesional, Reni pun menghubungi sekretaris Tuan Besar Raden Atmajaya melalui saluran telepon. Wanita itu sangat tangkas dan efektif, tidak banyak membuang waktu orang di seberang saluran. Ia menjelaskan kedatangan Kirana dan terhenti tiba-tiba. “Sebentar, Nona Kirana, mohon maaf, atas keperluan apa Anda menemui Tuan Besar?” Kirana mengerjap bingung, ia tak tahu harus menjawab apa, dan hingga akhirnya ia berseru cepat, “Ugh, wawancara kerja?” Jawaban itu membuat kedua alis Reni dan teman prianya terangkat tinggi, namun mereka mengendalikan ekspresi dengan cepat dan kembali fokus pada orang yang berada di saluran. Setelah menjelaskan kedatangan Kirana Wong sekali lagi, Reni pun mendapat jawaban, lalu menutup gagang telepon sambil menatap Kirana dengan mata penuh permohonan maaf. “Mohon maaf Nona Kirana Wong, dengan sangat menyesal kami memberitahu Anda, bahwa setelah melakukan pengecekan secara menyeluruh, sayangnya, Sekretaris Tuan Besar Atmajaya tidak menemukan janji pertemuan dengan Anda hari ini, mungkin Anda bisa memastikan kebenaran janji Anda pada hari ini…” “Tapi saya memang benar-benar sudah membuat janji dengannya, tolong pastikan sekali lagi, pasti nama saya ada di jadwal Tuan Besar.” “Mohon maaf Nona, kami sudah memastikan dengan teliti, dan nama Anda tidak ada. Kami menyarankan Anda mungkin Anda salah menyebut nama?” “Salah menyebut nama?” “Maksud kami, jika memang Anda memiliki jadwal wawancara kerja, maka hal itu dilakukan dengan personalia, bukan dengan Bos besar. Boleh kami mendapat informasi, dari mana Anda mendapat info lowongan kerja, pada divisi apa Anda melamar, dan kepada siapa Anda menyerahkan surat lamaran?” Pertanyaan berentet itu membuat Kirana terdiam. Ia tidak mengerti jawaban macam apa yang harus diberikannya. Namun ia pun nekat menjawab. “Saya mendapat info dari Tuan Besar Raden bahwa saya akan menjadi broker penjualan tanah pada Atmajaya Construction, tapi saya belum pernah mengajukan surat lamaran.” Untuk kedua kalinya alis para resepsionis terangkat tinggi-tinggi, kali ini mereka tidak berhasil mengendalikan ekspresi. Dua orang itu saling memandang dalam diam, dengan mata melirik penuh arti, mereka berpikir bahwa Kirana adalah gadis aneh yang hanya membuang-buang waktu saja. Kali ini resepsionis pria berinisiatif menjawab, “Nona, izinkan kami untuk menghubungi bagian personalia terlebih dahulu.” “Silakan.” Pria itu pun menghubungi personalia, menjelaskan situasi Kirana dengan tepat dan cepat lalu menunggu jawaban dari seberang saluran. Lagi-lagi Kirana mendapat tatapan tak enak. “Nona, mungkin Anda telah salah mendapat info. Tidak ada jadwal apapun untuk Anda hari ini. Mohon pastikan kembali bahwa orang yang menawari Anda pekerjaan adalah Tuan Besar Raden Atmajaya yang asli dan bukan penipu yang mengaku-ngaku sebagai beliau. Mohon maaf, hal itu mungkin terjadi, mengingat betapa besar nama beliau di kota ini.” “Tapi aku memang benar-benar mendapatkan informasi ini dari Tuan Besar.” “Apakah Anda memberikan lamaran pekerjaan kepada Tuan Besar?” Kirana menggeleng sedih, “Tidak.” “Apakah Anda mendapat jadwal untuk wawancara dengan personalia?” “Tidak.” “Kalau begitu kami mohon maaf, kami tidak bisa membantu Anda kali ini. Silahkan Anda pastikan terlebih dahulu, dan datang lagi jika sudah mendapatkan jadwal yang pasti. Sampai jumpa di kesempatan selanjutnya!” *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN