2. LELAKI BERMATA HIJAU

1582 Kata
BAB 2. LELAKI BERMATA HIJAU  Kirana menggendong Dwika yang sedang menangis lemah usai melakukan serangkaian pengobatan di rumah sakit besar di ibu Kota. Menurut Dokter yang menangani Dwika, Ginjal putrinya itu bermasalah sejak lahir, hingga anak sekecil Dwika harus melalui observasi mendalam dan pengobatan yang teratur setiap bulannya. Beruntung sekarang mereka tinggal di area gang di belakang rumah sakit, sehingga tidak perlu menempuh perjalanan jauh seperti sebelumnya. “Hey, cengeng! Sudah menangis. Kakak mau baca!” marah Dhika. “Kakak, Adiknya lagi sedih. Dihibur dulu, ya?” Dhika cemberut, lalu meletakkan bukunya di atas kursi taman rumah sakit dan berjalan mendekati ibunya. “Mah…” Dhika menarik-narik ujung pakian Mamahnya. “Lihat Kakak mau ngajak Dwika main. Sudah ya nangisnya, Dwika mau main apa sama kakak?” Kirana menurunkan Dwika dari gendongan, anak itu masih sesenggukan, tapi tangisannya sudah mereda. “Gambar buku kakak…” celetuk Dwika sambil mengusap sisa air mata dengan punggung tangannya. “Tapi buku Dhika…” Dhika hendak memprotes. Anak itu tidak suka jika buku unggasnya diwarnai oleh adiknya, karena pasti nanti kotor dan jelek! “Dhika, mengalah ya, Nak. Nanti Mamah beli lagi yang baru.”  Anak lelaki itu semakin cemberut, tapi kemudian ia menggandeng tangan Dwika menuju bangku taman tempat bukunya berada. Walau setengah hati, Dhika mengeluarkan seperangkat alat mewarnai dari dalam tas ranselnya. Kirana memperhatikan kedua anaknya dari jarak beberapa langkah, wanita itu duduk di tepian kolam air mancur rumah sakit yang sepi sambil membuka-buka isi dompetnya yang sangat tipis. “Duh, cari uang di mana lagi ya untuk berobat bulan depan…” Kirana menutup dompet dan memasukkannya kembali. Biaya pengobatan Dwika sangat mahal, dia sudah menghabiskan banyak tabungan pribadi maupun warisan dari orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan mereka selama ini. Semuanya semakin menipis, yang tersisa adalah rumah peninggalan orang tuanya yang tak mungkin dijual begitu saja. Rumah itu dipenuhi kenangan tentang mereka, pun bekal untuk tempat mereka tinggal di masa depan. Kirana berharap saat Dwika sudah sembuh, mereka bisa kembali ke perkebunan dan tinggal di sana. Walau untuk tinggal di sana memerlukan banyak keberanian dan kenekatan, tapi bagaimanapun juga, itu adalah kampung halamannya, ia tumbuh besar di sana dan keluarganya yang tersisa pun ada di sana. Terserah orang mau bilang apa saat melihat kehadiran anak kembarnya, hal buruk atau pun baik, dia tidak mau ambil pusing. “Kirana!” panggil suara yang berhasil mengembalikan Kirana dari lamunan. “Om Raden?” Kirana membelalak. Perutnya melilit, tiba-tiba merasakan dorongan panik yang tidak biasa. “Tidak pernah berubah, selalu memanggil dengan nama itu.” sahut Om Raden ringan, lelaki itu terlihat sangat senang melihat keberadaan Kirana di taman rumah sakit hingga mendorongnya untuk segera menghampiri dan menyapa teman baik putranya itu. “M –Maksud saya, Om Atmajaya.” Kirana mencium tangan lelaki paruh baya itu dengan sedikit gemetar. “Tidak apa-apa, justru aneh kalau kamu panggil dengan nama itu. Apa kabar, Nak?” “B –B –Baik, Om. Kalau Om bagaimana kabarnya?” “Baik juga, Nak. Kenapa kamu gugup begitu? Tidak seperti biasanya!” Kirana melirik anak-anaknya yang sedang asik mewarnai, Om Raden yang tinggi besar ini berdiri memunggungi dua anak itu sehingga tidak mengetahui keberadaan mereka. Kirana mendesah lega, lalu kembali fokus menatap Om Raden yang tidak pernah dia lihat selama lima tahun belakangan. “Oh, Aku –Aku lagi gak fokus Om. Maaf. Om lagi apa di rumah sakit ini? Apa Om sakit?” “Oh, ada sedikit keperluan di sini. Om sehat, kalau kamu, apa yang kamu lakukan di sini, Nak?” Om Raden mengedarkan pandangan dan saat kepalanya hendak menoleh ke belakang, tempat anak kembar Kirana berada, wanita itu langsung menjawab dengan keras. “Aku sehat, Om! Cuma abis jenguk temen aja! Sekarang sudah selesai kok! Aku mau pulang sehabis ini.” jawab Kirana panik. Tapi wanita itu diam-diam mendengus lega saat Om Raden tidak jadi menoleh ke belakang. Om Raden mengangguk-angguk. “Sekarang kamu tinggal di Jakarta?” “Iya Om, sehabis kuliah saya tinggal di sini.” “Orang tua kamu tidak keberatan?” “Orang tua saya sudah meninggal Om.” “Innalillahi wainnailaihi rajiun.  Om turut berduka cita, ya.” Kirana tersenyum kecil sambil mengangguk. Suasana tiba-tiba berubah canggung, namun Om Raden yang baik dan ramah, kembali bertanya. “Kamu bekerja di mana?” “Belum Om, sekarang jualan aja.” “Sama seperti orang tuamu, ya. Darah wirausahanya kental!” Kirana tertawa, “Om bisa saja, sebenarnya sekarang aku lagi cari kerja karena modalku menipis, belum balik-balik, pasar sepi, ada pun pada ngutang. Jadi aku butuh kerja di tempat orang buat nabung cari modal lagi, Om.” “Kalau begitu, kamu mau kerja di tempat baru Om? Kebetulan ini ada hubungannya dengan kampung perkebunan kita. Om butuh negosiator antara masyarakat perkebunan dan perusahaan, karena kami membutuhkan lahan yang sangat luas untuk pembangunan. Kamu pasti bisa mengurus pekerjaan itu…” “Negosiator? Om mau bangun apa di sana?” “Tempat berlibur, sarana dan prasarana… supaya kampung perkebunan kita lebih maju Kirana.” Kirana berpikir sejenak. Menjadi negosiator di kampung perkebunan tidaklah mudah. Banyak orang yang akan menolak menjual lahan mereka dan mempertahankan kehidupan yang sudah berjalan. “Om pastikan kamu akan mendapat bayaran yang setimpal dengan kesulitannya. Bagaimana, Kirana?” Rasanya ingin menolak, tapi Kirana membutuhkan bayaran yang setimpal itu untuk biaya pengobatan Dwika di bulan selanjutnya. Hasil berjualan bulan ini tidak akan maksimal mengingat pasar yang sedang loyo, tidak mungkin mengandalkan gaji Susilo yang pasti ludes untuk bayar sewa rumah dan makan sehari-hari mereka berlima. “Aku mau Om. Terima kasih atas kesempatannya…” “Deal, ya? Kalau begitu besok kamu datang ke alamat ini.” Om Raden menyerahkan selembar kertas yang menunjukkan alamat di sebuah jalan utama di Jakarta Pusat. Raden Atmajaya. Atmajaya Engineering, Procurement and Construction  “Baik, Om, besok saya mulai kerja.” “Bagus, kalau begitu Om tunggu ya.” “Iya, Om.” Om Raden mengecek pergelangan tangannya, terdapat jam tua antik yang selalu melekat di sana. Kirana masih ingat pernah melihat jam itu di rumah perkebunan dan terkagum-kagum melihat desainnya yang luar biasa elegan. Bukan jam tangan biasa. Pasti jam tangan yang sangat mahal. “Kalau begitu Om permisi dulu, Ada rapat setelah ini.” Kirana tersenyum sambil mengangguk, “Hati-hati di jalan, Om.” “Kamu juga. Sampai jumpa besok, Kirana!” Kirana membalas lambaian Om Raden yang sudah berjalan menjauh. Wanita itu mendesah lega sambil mengelus-elus d**a, ia berlari kecil menghampiri kedua anaknya yang masih asik dengan buku mereka. “Anak-anak ayo cepat, bereskan semuanya. Kita pulang sekarang!” “Kira.” Panggil Susilo yang baru saja sampai. “Kang Susilo, baru sampai?” “Akang lihat lelaki bermata hijau itu.” ucap Susilo lamat-lamat, tak menjawab pertanyaan Kirana dan justru mengatakan hal lain sebagai jawabannya. “Oh…” kirana menggaruk kepala, bingung harus menjawab apa pada sang suami. “Sudah selesai periksanya?” tanya Susilo pada akhirnya. Pria itu merasa Kirana tidak akan menjawab topic itu di depan anak-anak mereka sekarang. “Sudah. Anak-anak, ayo kita pulang.” Susilo menggendong Dhika, dan Kirana menggendong Dwika ke tempat parkiran yang cukup jauh, kasihan anak-anak itu jika harus berjalan ke sana dengan kaki-kaki mungil mereka. Berkali-kali Kirana merapihkan kacamata Dwika yang melorot, menyembunyikan mata hijau itu dari pandangan semua orang. “Mamah, Dwika mau turun.” “Nanti sayang, di rumah sakit sangat ramai, banyak orang berobat, Dwika harus Mamah gendong supaya tidak tersesat.” “Dwika sudah besar.” “Berapa usia Dwika.” “Lima?” Dwika menunjukkan ke lima jarinya. “Bulan depan Lima. Dwika mau kado apa?” “Boneka.” “Kakak Dhika mau kado apa?” tanya Kirana pada putranya yang ada di gendongan Susilo. “Buku.” Jawab Dhika dengan suara yang sangat rendah. “Buku? Ok, Mamah belikan nanti.” “Aku juga mau buku!” sela Dwika. “Iya, Adik juga nanti Mamah belikan.” “Banyak banyak ya Mah.” “Iya, sayang.” Kirana mendudukkan Dwika di antara dirinya dan Susilo, sementara Dhika duduk di depan Susilo sambil berpegangan pada stang motor butut itu. “Maaf ya, Kang. Kira ngerepotin terus…” “Kamu berhutang penjelasan tentang yang barusan…” “Nanti di rumah aku jelaskan semuanya.” “Pegangan semua anak-anak. Sudah siap?” “Sudahhhhhhh!” jawab Dwika keras-keras. “Sudah.” Bisik Dhika. Lalu motor butut itu pun berjalan perlahan membelah jalan utama, dan berbelok memasuki Gang yang semakin siang semakin ramai. Ada yang sedang bermain badminton sambil menonton siaran lomba legenda Susi Susanti, ada abang tukang bakso yang sedang cuci piring, abang penjual cendol yang ngomel-ngomel karena Bu Solehah lupa bayar. Semua keramaian mereka lewati sampai akhirnya mereka tiba di rumah sederhana yang mereka sewa. Dengan terburu-buru, Kirana turun dan membuka kunci pintu, lalu menggendong Dwika dari motor untuk masuk ke dalam rumah secepat kilat. “Tunggu di sini.” Kirana mengingatkan pada Dwika. Lalu wanita itu berlari kembali ke depan, menggandeng Dhika yang sudah turun dari motor. “Akang langsung pergi?” “Saya jemput Teh Rosa dulu. Sudah mau sore.” “Hati-hati, Kang.” “Kunci pintu rumahnya.” “Iya.” “Jangan lupa nanti cerita siapa lelaki bermata hijau itu.” Kirana menelan ludah. “Dia bukan siapa-siapa.” “Tidak apa-apa, Neng Kira.” “Iya, Kang.” ***  HALLO SEMUAAAAAAAA  Akhirnya saya punya kesempatan untuk ngajuin cerita ini di innovel.  Mohon doanya agar cerita ini segera lolos seleksi kontrak dan segala tet3k bengeknya ya. supaya bisa saya lanjut eksekusinya! Salam sayang,  G.       
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN