“Apa kabar?”
Pria itu mengulurkan tangan dengan sangat formal kepada Kirana, senyum di wajahnya tampil sebagai pelengkap sikap basa basi yang ia tunjukkan.
Lagi-lagi jantung dan hati Kirana layaknya diremas oleh tangan invisibel dengan begitu keras. Kirana ingin melenguh sakit, namun ia menahannya sekuat tenaga.
Sikap basa basi dan senyum yang sama dengan yang sering pria itu tunjukkan di akhir masa SMA mereka sungguh tak berubah. Sikap yang membuat Kirana bertanya-tanya, dosa macam apa yang pernah Kirana lakukan kepadanya? Lagipula, bukankah dia yang menjauh karena Amanda? Jadi seharusnya Kirana yang marah, bukan?
Kirana memaksakan seulas senyum tipis, tangannya terulur untuk menjawab uluran tangan Akasa.
Setelah enam tahun, ini adalah pertama kalinya kulit mereka saling bersentuhan. Hanya salaman singkat, namun Kirana bisa merasakan getaran itu. Getaran yang sama dengan yang dulu sering Kirana rasakan setiap kali bersentuhan dengan Akasa.
Getaran yang membuat kuduknya berdiri hebat!
“Oh, Tuhan. Bisakah aku sedikit lebih normal dalam menghadapinya…” keluh Kirana dalam hati.
Dengan sedikit gugup, Kirana menelan ludah lalu menjawab, “Baik, Aden Apa kabar?”
Kirana sengaja menggunakan panggilan Aden seperti yang sering digunakan para buruh perkebunan teh kepada Akasa. Ia merasa begitu asing dengan sosok pria itu hingga membuat Kirana tidak sampai hati untuk memanggilnya dengan nama secara langsung. Ia merasa tidak kenal dan juga tidak sopan jika hanya memanggil nama saja.
Kirana mendapati kerutan kening yang hanya muncul sekilas di wajah Akasa, namun wajahnya kembali lurus dan datar, seolah tak mendengar apa-apa.
“Baik.” Jawab Akasa pada akhirnya.
“Hey, ada apa ini? Kenapa kalian begitu kaku? Kenapa kamu memanggilnya Aden, Kirana. Bukankah Kasa adalah nama kesayanganmu?” cecar Om Raden.
“Eh, Anu, Om… Sudah lama tidak berkomunikasi jadi sedikit bingung. Lagipula Aku akan bekerja disini, jadi lebih baik membiasakan diri dengan kebiasaan formal saja. Aku juga harus berhenti memanggil Om dengan sebutan Om…”
“Ah, tidak perlu repot seperti itu. Lakukan seperti biasanya saja, Kirana…”
“Sayang!”
Suara panggilan yang begitu manis terdengar dari dalam ruangan hingga mengalihkan perhatian semua orang. Tak lama setelahnya, seorang gadis cantik muncul dengan senyum ceria di wajah, kedua tangannya melilit lengan Akasa hingga mereka berdiri tanpa jarak. Gadis itu mendongak, menatap Akasa dengan senyum yang sangat indah, dan Akasa menjawabnya dengan senyum kecil yang manis. Senyum yang jarang diberikannya kepada semua orang.
“Amanda, kau ada disini, nak?” ujar Om Raden.
Acara senyum-senyuman itu terpotong oleh pertanyaan Om Raden, sehingga Amanda pun mengalihkan perhatian pada dua orang yang ada di depannya.
“Iya, Ayah. Manda baru selesai sarapan pagi bersama Kasa…” jawab Amanda. Suaranya begitu ringan dan halus, persis seperti bulu angsa yang melayang di udara. Suara indah yang membuat siapapun merasa nyaman mendengarnya.
“Itu adalah panggilan kesayanganku…” protes Kirana dalam pikirannya. Namun ia hanya diam dan menelan ludah untuk menelan kekecewaan yang menumpuk di tenggorokannya.
Mata Kirana agak gemetar saat harus menyaksikan kemesraan pasangan itu. Kirana menyadari betapa nyaman bahasa tubuh Akasa saat bersama Amanda, bahasa tubuh yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan pada saat Akasa mendapati kehadiran Kirana di kantornya. Bahasa tubuh Akasa tampak tidak nyaman dan tegang saat melihat Kirana.
“Oh, pantas saja Akasa datang pagi-pagi ke kantor, ternyata ada janji sarapan bersama denganmu!” ujar Om Raden, “Oh, ya! Amanda, apa kau ingat pada Kirana? Teman kalian dari kampung perkebunan!”
Pada saat itu pula semua orang mengalihkan perhatian pada Kirana yang berdiri kikuk. Wanita itu pun tersenyum kaku sambil mengulurkan tangan pada Kirana.
“Amanda…”
“Kirana!” seru Amanda.
Keduanya saling bersalaman. Mata Amanda yang biasanya sopan kali ini menelusuri penampilan Kirana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak ada yang terlewat. Walau raut wajahnya tak memberikan ekspresi apapun selain senyum ramah, namun Kirana tahu bahwa wanita itu terkejut melihat penampilan Kirana kali ini. Penampilan yang sungguh berbeda dengan yang terakhir diingatnya.
Pundak Kirana mengkerut ke depan. Rasa tak percaya diri memenuhi seluruh aliran darahnya.
Amanda tampak sangat cantik dengan dress floral yang pas ditubuhnya. Rambutnya tergerai rapi dengan banyak pernak pernik manis yang menghiasinya. Wajahnya pun dihiasi make up yang meningkatkan seluruh kecantikannya.
Wanita itu memancarkan keanggunan yang luar biasa sehingga penampilannya selalu berhasil menjadikannya primadona. Tidak hanya di kampung mereka, namun Kirana yakin bahwa Amanda pun mampu menjadi primadona sekaligus artis terkenal di ibu kota.
Sedangkan Kirana…
Ia jauh berbeda dengan Amanda. Tak ada pesona, tak ada kecantikan yang membutakan mata. Tidak ada pakaian bagus dan mahal. Tidak ada riasan maupun hiasan yang melekat pada tubuhnya. Hanya ada wanita lusuh dengan pakaian sederhana. Wajah layu dan lelah. Rambut mengembang karena hempasan angin selama berkendara. Tubuh dan pakaiannya pun dipenuhi aroma asap kendaraan motor yang tak nyaman dihirup.
Tak ada bagus-bagusnya.
“Kirana, kita berjumpa lagi!” ujar Amanda. Mata wanita itu berhenti menelusuri Kirana dan senyum normal kembali muncul di wajahnya. “Setelah sekian lama… Ah, kapan terakhir kita berjumpa?”
Kirana hendak mengangkat bahu, ia bahkan tidak ingin repot-repot mengingat kali terakhir perjumpaannya dengan Amanda.
“Ah! Aku ingat, saat kelulusan SMA, bukan?”
Demi kesopanan, Kirana pun menjawab, “Benar, saat kelulusan SMA.”
“Senang sekali bertemu denganmu lagi, Kirana!”
Amanda benar-benar definisi gadis impian, selalu ramah dan menyenangkan. Bahkan senyumnya selalu murah hati kepada semua orang. Tidak heran jika banyak pria menginginkannya, bahkan Akasa yang selalu dingin kepada wanita selain Kirana pun bisa jatuh cinta setengah mati kepada wanita ini.
“Pantas saja, wanita ini dicintai banyak orang…” simpul Kirana yang terpesona pada senyuman Amanda. Kirana tidak menyadari bahwa Amanda sedang membelai punggung tangannya dan menemukan sebuah cincin di jari Kirana.
“Kirana, cincin apa ini? Apakah kau?” Amanda menarik salah satu tangan untuk menutup mulutnya yang terkesiap tak percaya, matanya membelalak menatap Kirana.
Kirana tertegun mendengar pertanyaan Amanda, ia tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu secepat ini, apalagi pertanyaan Amanda dilontarkan di depan Akasa.
Dengan ragu Kirana mengangguk, “Benar, aku sudah menikah…” usai mengucapkan itu, Kirana tak berani mengangkat matanya, apalagi melihat pria yang berdiri di samping Amanda. Ia tidak memiliki keberanian untuk menghadapi respon semua orang, terutama pria itu. Kirana terus menunduk dan membelai cincinnya dengan senyum tertahan.
“Kau sudah menikah? Kapan? Kenapa tidak tersiar kabar tentang pernikahanmu di kampung kita?” tanya Amanda.
Om Raden pun tak percaya, “Kau sudah menikah, Kirana?”
“Ya, Om, Aku sudah menikah di ibu kota. Pernikahan sederhana saja, jadi tidak ada kehebohan apa-apa.”
“Tapi tetap saja, sebagai teman SMA, seharusnya kau mengundangku, Kirana!” Amanda pun menoleh pada Om Raden, “Benar, kan, Om? Seharusnya Om dan Kasa pun diundang!”
“Benar, Manda. Aku benar-benar merasa tidak enak karena tidak mengundang siapapun ke pernikahanku. Bahkan Om Raden dan banyak orang lainnya. Aku benar-benar mengadakan pernikahan yang khidmat, hanya keluarga yang datang. Maafkan aku karena tidak mengundang kalian semua…”
Amanda berdecak, gadis itu meraih tangan Kirana, “Ya sudah, tidak apa-apa, yang penting kamu bahagia, maka kami juga bahagia, Kirana. Oh ya, ngomong-ngomong soal pernikahan, nanti kamu wajib hadir ya, bulan depan aku dan Kasa akan bertunangan, lalu menikah. Kamu wajib menjadi pengiring pengantin wanita, okay?” *