BAB 10 : Awal Kekacauan

1873 Kata
Sepanjang perjalanan Tomi terus menerus merintih kesakitan memegang dadanya dengan tersiksa, Mia masih menangis penuh kekhawatiran. Berbeda jauh dengan Yura yang terlihat dingin, gadis itu merasakan kesedihan juga, namun dia enggan menunjukannya. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan orang tuanya, Yura harus terlihat kuat agar mereka semua yakin, jika semuanya akan baik-baik saja. Tangan Yura gemetar memegang handponenya berusaha menghubungi Ziovan yang sejak tadi susah di hubungi. Tomi mulai bisa tenang setelah di tangani dokter dan di beri obat sekitar satu jam yang lalu. Yura duduk termenung di kursi tunggu, Tomi harus di rawat karena serangan jantung. Dan kakaknya benar-benar sangat sibuk dan susah di hubungi. Keresahan Yura semakin mencekik dirinya meski tetap berusaha terlihat baik-baik saja. Air mataYura terjatuh, dengan cepat di menghapusnya, saat tahu ibunya ikut duduk di sampingnya. "Ayahmu mengalami serangan jantung, tekanan darahnya naik, untung tidak stroke" ucap Mia dengan rintihan putus asa. Yura terdiam merasakan sesak di dadanya hingga tidak tahu harus mengucapkan apa. "Belum cukup dengan usaha kita bangkrut, sekarang kita tertipu dengan investasi yang besar-besaran" sambung ibunya lagi. "Maksud ibu?." "Ayah menginvestasikan banyak uang di perusahaan sahabatnya, dan sekarang uangnya dibawa kabur, barusan dia mendapatkan kabar itu dari polisi dan memintanya menjadi saksi." Yura menutup mulutnya air matanya meleleh tak bisa di tahan lagi. "Bagaimana ini?."  Hatinya terasa sesak, seharusnya Yura besikap lebih baik kepada ayahnya disaat dia dalam masa buruknya. Seharusnya Yura tidak egois, dan mementingkan perasaannya yang ingin di hargai. Yura harusnya lebih pengertian, jika ayahnya memang sedang menyimpan begitu banyak beban, yang seharusnya mendapatkan banyak dukungan darinya. "Semuanya sudah hancur" Mia menangis terisak-isak. "Jangan khawatir Yu" dia memeluk Yura dengan erat, "Kau jangan khawatir, belajarlah dengan baik, kita hanya perlu berhemat dan berusaha melewati ini semua, kamu harus sabar nak.. kau harus siap menerima kenyataan hidup yang tidak seperti dulu lagi, aku berjanji semuanya akan segera membaik.” *** Yura terdiam memangku dagunya melihat keluar, di luar hujan deras sekali, di tambah angin yang sangat kencang menggerakan pepohonan dengan kasar. Sesekali dia mengusap dadanya yang terasa tidak nyaman karena kedinginan, jam sudah menunjukan pukul sebelas malam dan dia masih terjaga. Ibunya telah tertidur dan kakaknya yang baru datang langsung menjaga Tomi. Yura melirik teh di depannya yang mulai dingin dan sebungkus roti yang masih utuh, perutnya kosong memberikan sensasi sakit, namun perutnya tidak sesakit apa yang dia rasakan hatinya sekarang. "Sedang apa kau disini?" Tanya Armin yang berdiri di depannya, sambil membawa makanannya, tanpa meminta izin dia duduk di meja yang sama dan menikmati makan malamnya. "Ayahku sakit" Yura mencoba tersenyum, namun tak sampai kematanya. "Kamu terlihat sangat kacau." "Ini memang kacau" Yura membuang tatapannya ke luar. Armin terdiam mematung melihat gadis di hadapannya, dia mendorong makanannya tidak berselera melihat kondisi Yura masih memakai baju seragam, matanya merah karena terlalu banyak menangis. "Makanlah, agar kau juga tidak sakit." Pinta Armin dengan suara merendah lembut. "Aku tidak mau" Yura kembali menatap Armin. "Jika kau sakit, kau akan semakin merepotkan keluargamu, aku tahu kau pasti sangat bersedih tetapi kesedihan tidak bisa untuk di ratapi saja, carilah jalan keluarnya, sekecil apapun celahnya." Yura berfikir jika apa yang di katakan Armin ada benarnya juga. “Makanlah.” Armin mendorong jatah makan malamnya dan mengambil roti Yura. Mata Yura berkaca-kaca melihat kebaikan Armin yang tidak bisa dia hitung lagi. “Makanlah.” Perintahnya sekali lagi. Yura melahap makananannya tanpa jeda, matanya menatap nanar ke arah teh yang masih mengeluarkan asap yang bergelombang.  “Terimakasih.” Kepala Yura tertunduk, menyembunyikan air matanya yang terjatuh membasahi pipinya. Malam semakin gelap dan dingin, jam sudah menunjukan pukul dua belas. Yura masih duduk di tempat yang sama, begitu pula dengan Armin yang masih berusaha menghiburnya. “Kenapa kau masih disini dokter?.” “Aku ingin melihatmu.” “Kenapa?.” Yura menatapnya dengan lembut. “Kau kasihan padaku?.” “Confisius pernah berkata. Kebanggaan kita yang terbesar adalah, bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kita terjatuh.” Yura tersenyum, dia melihat dan mendengarkan kata-kata Armin, sederhana namun berarti. "Pulanglah dan ganti pakaianmu" kata Armin. Yura menggeleng pelan. "Ayo ikut aku" ajak Armin, dan Yura mengangguk patuh mengikutinya sampai ke ruangannya. “Masuklah.” Armin mengambil sesuatu dari loker pribadinya, tanpa di duga pria itu mengambil pakaian dan jaketnya. “Pakailah, kau sangat kedinginan.” "Tidak usah dokter" Yura menggeleng tidak enak hati. "Pakailah, aku ingin kau baik-baik saja." Dengan ragu Yura mengambilnya, kepalanya tertunduk tidak mau menatap. Bahu kecilnya bergetar, Yura mengusap air matanya yang sempat terjatuh. "Terimakasih." Ucap Yura dengan suara serak dan pelan. “Dokter.” Yura mengangkat wajahnya,  melihat tatapan Armin yang selalu berbeda dari tatapan manusia lainnya. “Hati dan jiwaku sangat gelap saat ini. Kau mengucapkan delapan belas kata yang begitu indah di telingaku, dan itu seperti satu bintang yang tengah bersinar terang dalam kegelapan hatiku. Terimakasih.” Armin di buat terbungkam, namun langkah kecilnya mendekati Yura dengan kepastian. Kedua tangan Armin merangkul tubuh kecil itu dan memeluknya. *** Semua buku yang di butuhkan untuk belajar sudah di masukan kedalam tas, Yura bersiap-siap untuk menemani ayahnya lagi. Mia tengah tertidur beristirahat setelah sepanjang malam dia menemani Tomi. Kini giliran Ziovan yang menunggu Tomi setelah dia berisitrahat sejenak. Belum sempat Yura menaiki kendaraannya, Raymen muncul bersama gadis yang berbeda lagi. Yura benar-benar ingin mengatakan sesuatu, namun di urungkan lagi niatnya, karena ada seseorang di sisinya, itu membuat Yura tidak nyaman. "Yu, lihat ini." Raymen memberikan kartu undangan untuk pameran seni. Yura menerimanya dengan seulas senyuman singkat di luar ekspektasi Raymen. Biasanya Yura akan langsung berteriak histeris kesenangan. "Terimakasih." Ucap Yura terasa sangat singkat. "Aku ingin mengajakmu menonton bersama, ini kesempatan bagus. Semua seniman di seluruh dunia akan berkumpul. Kau harus ikut" ajak Raymen bersemangat. "Maaf aku tidak bisa, kalian bisa pergi berdua" jawabYura tidak bersemangat. Mendengar penolakan Yura, gadis cantik yang di bawa Raymen langsung tersenyum mengembang tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Raymen membuang pandangannya ke satu sisi, menahan perasaan kecewanya atas penolakan Yura. "Kita perlu bicara." “Aku terburu-buru Ray.” “Tidak, ini perlu!” Raymen menarik tangan Yura dengan paksa dan membawanya ke halaman rumah. "Kau mau menghindariku lagi? Aku tahu kau marah, aku minta maaf karena dekat dengan anak yang satu sekolah sama denganmu, tapi tidak dengan menghindar seperti ini, aku sangat tidak suka." "Bukan karena itu Raymen. Aku tidak marah, tapi memang aku tidak bisa pergi." Yura membuang nafasnya dengan gusar. "Kenapa?, takut mengganggu kami?. Ayolah Yu, dia juga tidak keberatan." "Aku tidak bisa." "Kenapa sih! Kau berubah lagi" Raymen mulai jengkel karena jawaban bertele-tele Yura. "SUDAH AKU BILANG TIDAK BISA!. Kenapa kau terus menerus memaksaku, untuk menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna!. Ayahku serangan jantung dan di rawat di Rumah sakit. Dan kau masih memikirkan menonton, tanpa bertanya alasanku kenapa!" Yura berteriak frustrasi, Raymen kehilangan kata-katanya. "Aku.. aku tidak tahu Yu, maafkan aku." Wajah Raymen berubah pucat pasi. "Terserah!" Yura melengos pergi, dia benar-benar tidak ingin meluapkan emosinya kepada siapapun. *** Keadaan di rumah sakit tampak masih sepi saat Yura datang, mungkin karena masih pagi juga. Yura memasuki ruangan VIP dimana ayahnya di rawat di sana, masih ada Ziovan dan Meira yang menunggu juga. Mereka terlihat cukup lelah karena harus begadang setelah perjalanan jauh dari Singapur ke Hong Kong. Tomi sudah mulai membaik juga setelah mendapatkan perawatan. Yura memalingkan wajahnya saat ayahnya menengok melihat kedatangannya. Yura kembali harus menahan air matanya saat melihat pemandangan ayahnya yang berlinangan air mata, terlihat lelah dan kesakitan, tubuhnya begitu kurus kering. Selama ini Yura hanya tahu, jika ayahnya sosok yang keras dan kejam, tetapi sekarang ini sangat jungkir balik, begitu patut di kasihani. Yura memilih untuk keluar ruangan dan pergi ke halaman rumah sakit. Sulit baginya untuk bersikap selayaknya seorang anak yang mengkhawatirkan orang tuanya ketika ada Ziovan di samping Tomi. Perlakuan Tomi dan Mia kepada Yura sangat berbeda jauh dengan perlakuan mereka kepada Ziovan. Jelas terasa bagaimana Mia mencintai Ziovan anak kandungnya dan membenci keberadaan Yura yang hanya menjadikan beban keluarganya. Hati Yura selalu sakit bila harus melihat fakta yang memperjelas dirinya jika tidak ada yang mengingikan keberada’anya. Yura  mengenyahkan semua fikiran dan perasaan yang hanya menghancurkan jiwanya. Gadis itu segera membuka tasnya dan di keluarkan beberapa buku pelajaran juga laptopnya, dia berusaha untuk belajar, di tengah-tengah keadaannya yang kurang fokus dan tidak begitu baik, hingga membuatnya malah tertidur dan melupakan belajarnya. Sejenak Yura meluangkan waktunya untuk melihat informasi masuk mengenai semua tabungannya di Swiss. Andai Tomi tidak gengsi, Yura rela memberikan semua uangnya kepadanya, namun Tomi menolaknya hingga menciptakan boomerang panjang di antara Yura dan Mia. Karena Tomi tidak mengambil sepeserpun uang Yura, Mia selalu mengungkit-ngungkit bayaran atas lamanya dia mengasuh Yura. Kepala Yura terjatuh di tumpukan buku, dia tenggelam dalam beban rasa sakit di batinnya. Matanya terpejam mengabaikan semua pelajaran di depan matanya. Yura terbangun setelah tidur hampir setengah jam, dan di dapatinya Raymen yang sejak tadi duduk dan memperhatikannya. Raymen tersenyum sendu, merasa sangat bersalah sekarang, wajah tampannya begitu murung dan bersedih. "Aku minta maaf Yu" ucap Raymen purau. "Tidak ada yang perlu minta maaf," jawab Yura santai, dia kembali menjatuhkan kepalanya ke meja, karena masih mengantuk, "Dengan siapa kau datang?." "Ayah dan ibu" Raymen terdiam sejenak. "Aku turut bersedih mendengarnya, ini pasti sangat berat bagi kalian" ucapnya hati-hati. Yura tidak merespon sama sekali,  tatapannya kosong tidak terbaca. "Yu" Raymen berdiri di hadapannya dan merentangkan kedua tangannya. "Jika kau sedih dan butuh pelukan, peluklah aku, aku akan selalu mendukungmu, walau tidak bisa selalu menjagamu sepanjang waktu." "Aku tidak butuh pelukan." Yura tersenyum sinis. "Aku tahu kau membutuhkannya" Raymen masih berdiri dan di posisi yang sama. Perlahan Yura bangkit dan mendekatinya, matanya berkaca-kaca menahan air matanya yang terjatuh, Yura memeluk Raymen dan membenamkan wajahnya di d**a pria itu. "Terimakasih" ucap Yura terdengar seperti sebuah bisikan. “Jangan berterimakasih, ini gunanya sahabat bukan.” *** "Besan. Sebenarnya aku sangat sungkan mengatakannya di tengah-tengah keadaan kalian yang sedang kurang baik" Elma bergerak dengan anggun, duduk di antara Mia dan Ziovan. Tomi masih terbaring dan tidur setelah meminum obatnya. "Besok malam aku akan mengadakan pesta ulang tahun pernikahan kami." Elma melirik Adrian dengan penuh cinta, "Aku tahu besan tidak bisa datang. Tapi aku ingin Yu datang dan menginap, aku berjanji akan menjaganya dengan baik." "Tentu saja. Bukankah Yura sudah sering menginap di rumah kalian," Mia tertawa pelan. Seketika Elma menyerigai, kembali bertukar pandangan lagi dengan Adrian penuh teka-teki. “Syukurlah jika besan setuju.” *** "Dokter" Yura memanggil Armin yang baru keluar dari ruangan radiologi, Armin menghentikan langkahnya dan tersenyum melihat Yura yang mulai membaik dan ceria lagi. "Sesi konsultasi kita nanti sore." Kata Armin mengingatkan. "Bukan itu" Yura tersenyum menggerakan tangannya ke satu sisi, di ambilnya pakaian Armin dari dalam tasnya. "Aku ingin mengembalikan ini, terimakasih atas bantuanmu kemarin malam." "Ya. Bagaimana kabar ayahmu?." "Besok, mungkin baru bisa pulang, aku senang dia mulai sehat lagi." "Hey nona kenapa berdiri di sana?, lantainya jadi kotor, aku baru mengepel lantainya" seorang petugas pembersih berdecak pinggang, sambil menjinjing ember dan pelan. "Ah... anu" Yura menggaruk tengkuknya. "Tidak ada plang pemberitahuan." "Cepat pergi, sepatumu mengotori lantainya!" Perintahnya dengan keras sambil mengacung-ngacungkan pelan penuh ancaman kepada Yura. Yura berdecak pinggang, dan mengangkat dagunya, "Kenapa Anda membentaku, tapi tidak marah pada dokter ini! Aku tidak salah, salah sendiri kenapa tidak memasang plang pemberitahuan.” Rajuk Yura seperti anak kecil. "Itu benar" tambah Armin sedikit geli, melihat Yura yang bicara menggebu-gebumelawan omelan si petugas. "Dokter kenapa Anda membela bocah ini? Dia mengotori lantainya, kau kan sedang bertugas, jadi aku tidak memarahimu." "Tapi sepatuku bersih." Yura mengangkat sepatunya yang bersih seperti biasa, “Lihatlah ini bersih, Anda tidak adil sekali.” "Kotor!, cepat pergi!" "Oke" Yura menatapnya dingin, namun sebelum dia pergi, gadis itu menghentak hentakan kakinya kelantai dan melompat-lompat, hingga meninggalkan bercak kotor seperti debu. "Apa yang kamu lakukan" desis petugas itu tidak terima. "Oh, bukankah Anda sendiri yang keukeuh bilang lantainya kotor, jadi saya kotori saja lantainya agar Anda benar." Armin terkekeh tidak bisa menahan tawanya, "Maafkan kami, keadaan mental gadis ini kurang baik, permisi" Armin menarik tangan Yura untuk segera menjauh. Raut wajah si petugas yang tadinya beringas, berubah melunak bahkan menjadi kasihan. To Be Continue....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN