BAB 9 : Kerapuhan Ayah

965 Kata
"Kau menghianatiku Anara" "Apa kau keberatan Franklin?" Tanya wanita cantik itu dengan tatapan dinginnya. "Suami mana yang tidak keberatan jika isterinya berselingkuh, hingga berniat untuk melakukan poliandri!" Teriak Franklin murka. Pakaian bangsawan dan tubuh gagahnya berbanding balik dengan ekspresi wajahnya yang di penuhi kesedihan dan air mata yang mulai menggenang. "Akhiri hubungan kalian Anara, aku akan memaafkanmu." "Tidak bisa Franklin" jawab Anara  merasa bersalah, wajah Franklin memucat dengan tangan terkepal kuat mencoba menguatkan diri." Anara mengusap perutnya yang masih rata, "Aku mencintainya juga. Dan aku tengah mengandung anaknya." Ucap wanita itu yang berhasil membuat Franklin menjatuhkan air matanya bersama dengan kehancuran hatinya. Yura mengeliat mulai kedinginan, dia terbangun saat merasakan sentuhan lembut di pipinya. Perlahan Yura membuka matanya, di dapatinya Raymen duduk di pinggiran bathup, menatapnya lembut. Gadis itu menurunkan tubuhnya lebih rendah, menyembunyikan tubuh telajangnya di antara busa-busa. "Aku menunggumu terlalu lama di kamar.  Ternyata kau ketiduran disini" ucap Raymen parau, melihat ke arah gelembung yang menutupi tubuh Yura.  Pipi Raymen langsung merah malu. Yura terlalu lelah belajar dan tidak bisa tidur, karena itu memutuskan untuk berdendam. Raymen terlihat gelisah dan termenung dalam kesedihan, "Sejak kapan kau dekat dengan dokter itu?." Tanyanya dengan tidak sabaran. "Itu tidak penting Ray" "Penting bagiku" “Kenapa sangat penting Ray?.” Raymen membungkam, ia tidak mampu berkata-kata untuk menjawab dan mejelaskan apa yang seharusnya di katakannya. Raymen menggeleng sedih dan tertunduk, pria itu lebih memilih menyimpan semua perkataannya. "Aku selalu menceritakan apapun yang ada pada diriku kepadamu. Kau lebih mengenalku dari pada diriku sendiri. Aku yang seharusnya bertanya, sejak kapan kau dekat dengan Mary?." "Dia tidak penting bagiku." Yura mendengus kesal, dia menggeser posisi duduknya. Tangan Yura menggapai wajah Raymen, mengusap sepanjang garis rahang kokohnya. "Kau sangat berharga dan istimewa, aku selalu berharap yang terbaik untukmu. Tapi, tidak dengan mempermainkan dan menyakiti hati orang lain." Raymen memejamkan matanya, menikmati sentuhan gadis itu. Nafasnya memburu dengan tangan terkepal kuat. Mata hijau segarnya terlihat sendu begitu terbuka, Raymen membungkuk mengecup pipi Yura. "Selesaikan mandimu. Aku tunggu di kamar." Raymen membuang mukanya,  dia pergi keluar dengan cepat. Yura bangkit dari bathup dan mempersihkan diri lebih cepat. Di raihnya jubah mandinya, mengenakannya dan segera keluar. Raymen duduk di kusen jendela dan melihat kearah luar, terlihat jelas ada kekhawatiran yang tersimpan di setiap ekspresi wajahnya saat ini. Namun Yura tidak tahu apa yang sebenarnya Raymen khawatirkan. “Kau terlihat sedih Ray” Yura mendekati lemari pakaiannya dan membuka, mengambil pakaian yang akan di kenakannya. “Kau yang melakukannya Yu” tuduh Raymen tanpa melihat ke belakang, karena dia tahu kini Yura tengah berpakaian. Yura terlalu mempercayai Raymen hingga hal seintim itu pun tidak pernah dia fikirkan meski kini keduanya sudah dewasa. “Aku tidak suka dokter itu menjadi orang pertama yang mendengar keluh kesahmu.”   Yura menggantung jubah mandinya di pinggiran rak, lalu mendekat setelah ia berpakaian. Kini dia mengenakan kaus putih polos dan celana pendek sepaha. “Dia seorang dokter, Ray” jelas Yura seraya mendekat sambil bersedekap. “Aku mempercayainya karena aku yakin dia akan memberikan banyak jalan keluar.” Yura kembali menjauh dan menjatuhkan dirinya ke ranjang, tidur terlentang menatap langit-langit kamar. “Aku mulai lelah Ray. Aku butuh kekuatan, jika aku bercerita padamu. Aku merasa takut.” Raymen turun dari kusen dan ikut berbaring di ranjang, tubuhnya memiring memandangi wajah gadis itu dengan lekat. “Apa yang kau takutkan Yu?” “Aku takut bergantung padamu” jawabnya terdengar menyedihkan meski berucap dengan bibirnya yang tersenyum. “Jika aku bergantung padamu. Maka aku akan selalu menjadi beban untukmu.” “Berhentilah berbicara omong kosong Yu. Aku benci mendengarnya” Yura mendengus geli, matanya terpejam “Aku juga benci mengatakannya. Namun, itu kebenarannya Ray. Sebentar lagi kita akan sama-sama lulus. Dan di saat itu_” “Diamlah” potong Raymen langsung mendekat dan memeluk Yura. “Aku akan selalu bersamamu, jika aku pergi. Aku akan membawamu. Titik!” Omel Raymen mengakhiri perbincangan yang sangat tidak dia suka. “Kau menyebalkan” Yura membalikan tubuh membelakangi Raymen yang tidak melepaskan pelukannya, “Tutup rapat jendelanya jika kau keluar. Jika ada maling, kau orang pertama yang harus bertanggung jawab.” Kata Yura sebelum akhirnya dia tertidur lelap. Raymen diam tanpa menjawab, tubuhnya semakin bergeser dan memeluk Yura. bola matanya yang berwarna hijau segar itu menatap tanpa bosan punggung rapuh gadis itu. Malam semakin gelap.. Angin berhembus semakin dingin.. Raymen mulai bergerak, memangku Yura memindahkannya ke tempat yang membuat Yura semakin tidur nyaman. Raymen menarik selimut menutupi tubuh Yura, tubuhnya sedikit merendah mengusap anak-anak rambut yang menghiasi wajah Yura. “Selamat malam” ucapnya pelan dengan tubuh yang semakin merendah, mengecup kening Yura. Raymen bangkit dan menegakan tubuhnya, dia melangkah perlahan mendorong jendela dan melompat keluar, lalu mendorongnya agar menutup. Sejenak dia berdiri di depan jendela dan memandang Yura sekali lagi bagai sebuat obat yang sangat dia butuhkan untuk menangkan malamnya. *** Yura begitu serius menggores arang di atas kanvas, terkadang dia membuat goresan yang kasar dan bersuara, sehingga membuat percikan kotor di bagian lainnya. Tomi menggeleng-gelengkan kepalanya nampak pusing, dia duduk di sofa ruangan sebelah. "Mati aku, uang menipis hutang ke Bank belum selesai, bagaimana jika aset-aset kita benar-benar di sita?." Yura menengok ayahnya sekilas, dia tahu bahwa Tomi sedang berbicara padanya, "Jalan masih panjang, kita harus berusaha mencari jalan keluarnya dengan kepala dingin" jawab Yura yang masih serius. "Jalan katamu, aku yang mencari uang, tahu apa kau tentang jalan keluar" Tomi menepuk-nepuk keningnya dengan arogan. "Aku yang mencari uang, dan kalian yang menghabiskannya, itulah yang bisa kalian lakukan!." “Dengar ayah, jika ayah bersikap seperti orang yang tengah mengungkit-ngungkit uangnya karena di pakai, jangan menikah dan memiliki anak. Dengan itu uangmu tidak ada yang memakai. Aku sudah menawarkan tabunganku, tapi karena harga dirimu kau menolaknya." Yura berbicara cukup kasar, dengan gusar dia memasuki kamarnya. "Belajar dengan benar dan masuk Universitas yang bagus, awas saja jika kau masuk fakultas seni!." Teriak Tomi di balik pintu, Yura  pura-pura tidak mendengarnya, dia memilih tidur siang dengan nyaman untuk merendam emosinya. Namun kesunyian yang Yura rasakan saat tidur berakhir dengan cepat. Suara Mia yang menangis dan berteriak-teriak memanggilnya, bercampur suara Tomi yang terdengar kesakitan. Yura langsung terjaga dan berlari keluar, dan di dapatinya ayahnya yang terkapar di lantai penuh kesakitan dalam pelukan Mia yang memanggil-manggil namanya dengan tangisan. Yura berlari dengan panik menelpon ambulance.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN