Kegiatan belajar di kelas berjalan selama satu jam. Setelah itu, suasana kembali seperti biasa. Semua orang di bebaskan untuk kembali belajar atau bisa langsung pulang.
Beberapa orang di belakang Yura menjadi gaduh kesetanan, saat melihat Raymen di balik jendela untuk menjemput Yura, dia datang ke kelas seni secara langsung.
Yura tersenyum puas, melihat sahabatnya yang mau di ajak kerja sama dengannya, Raymen tersenyum melambai-lambaikan tangannya ke arah Yura di balik jendela.
"Kakak tolong perkenalkan aku padanya secara langsung, aku mohon" Laura merengek, belum sempat Yura menjawab, sudah banyak sekali orang-orang yang mengerumininya memohon-mohon ingin berkenalan secara langsung denga Raymen.
Dengan terpaksa Yura menyanggupinya. Yura memiliki hutang budi, karena mereka semua yang rela membantunya.
Gadis-gadis itu terlihat begitu bahagia, dengan mata berbinar-binar penuh kekaguman, kepala mendongkak melihat Raymen yang tinggi atletis bak seorang model, wajah tampan, pakaian mahal, dan senyuman ramah yang mendebarkan.
Raymen rela berkenalan dan bercakap-cakap dengan mereka, dia benar-benar bisa di ajak kerja sama. Raymen sangat ahli dalam memuji dan memikat hati wanita, hanya dalam waktu yang singkat, mereka semua semakin meleleh dalam rayuannya.
Yura bersedekap tersenyum begitu puas melihatnya. Sementara, Raymen mendelikan matanya dengan kesal saat pandangannya dengan Yura bertabrakan.
"Yu, siapa dia?" Tanya Sano.
"Dia temanku."
"Oh bukankah dia pacarmu?, tampan sekali, pantas saja semua gadis menyukainya."
"Bukan, dia temanku."
"Yura" Brian muncul di ambang pintu. Yura tersenyum gugup."Terimaksih, kau melakukannya dengan sangat baik, aku sangat bangga padamu." Brian melihat kegaduhan suara gadis-gadis yang tertawa senang sedang mengerumuni Raymen.
"Ah.. tidak masalah" Yura tersipu malu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aku serius" jawabnnya lagi. "Sebagai bentuk rasa terimakasihku, mungkin aku akan mengajakmu makan bersama, sepulang sekolah ini. Ini berbeda dengan tawaran makan malam"
Yura terbengong-bengong merasa kaget, dia benar-benar tidak percaya jika pria yang di sukainya mengajaknya pergi bersama.
Sebuah kesadaran membangunkannya dari keterkejutannya, saat tangan Raymen tersampir di bahunya dengan mesra. Wajah Yura memucat, merasakan sebuah ciuaman singkat Raymen yang mendarat di pipinya.
"Ayo pulang, kita harus less dan kencan" kata Raymen dengan santai.
Yura melotot protes dan berusaha melepaskan diri dari rangkulan Raymen, dia sangat takut Brian semakin salah paham. “Aku mau bicara dengan Brian” desis Yura dengan gigi menekan.
Raymen balas memelototinya, “Kau mau ku adukan pada paman Tomy?”
Setika nyali Yura menciut dengan ancaman Raymen. Cemberutan di bibirnya langsung memudar dengan senyuman yang memaksakan saat menghadap Brian "Maafkan aku, sepertinya tidak bisa.”
Ah sial, dia telah merusak impian yang aku mimpikan selama dua tahun ini. Batin Yura mengamuk.
"Iya, kita bisa pergi di lain waktu." Brian tersenyum memaksakan saat Raymen menatapnya dengan tajam, seakan mengatakan.
Katakan sekali lagi bila kau berani!
"Ayo" Raymen tersenyum miring meremehkan. Dia langsung menyeret bahu Yura, "Si monyet itu sepertinya ingin memanfaatkanmu lagi."
"Apa maksudmu?, dia mengajaku kencan" Yura mendesis kesal, Raymen langsung menjitak kepalanya dengan kesal.
"Dasar, kenapa kau polos sekali sih."
***
Yura mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan Armin. Armin mengangguk dengan ramah dan mempersilahkanya duduk.
“Duduklah.” Perintahnya sambil meneliti penampilan Yura yang terlihat berbeda dari biasanya. Memang hari ini Yura berusaha untuk tampil menarik, dengan dress selutut warna biru dengan motif renda putih, rambutnya di ikat, membuat lehernya terlihat lebih jenjang dan polesan make up, juga lipstick yang membuatnya merasa lebih percaya diri. Tadinya dia akan bertemu dengan Brian, sayangnya usahanya sia-sia, karena Brian ada urusan lain yang membuat pertemuan mereka tidak jadi.
“Terimakasih” Yura duduk dengan gugup.
"Ini bukan jadwal pertemuan kita" Armin menutup buku At- tasrif Liman ‘Arjaza‘an At Ta’lif, yang baru saja di bacanya. Tatapannya masih menilai penampilan Yura.
"Apakah konsultasinya bisa di lanjutkan di bulan depan?."
"Kenapa?."
Yura terdiam mencari kata-kata yang tepat, jarinya saling bertautan, dia tidak bisa berbohong kepadanya. Armin adalah tipe manusia yang tidak bisa di bohongi sama sekali. Yura menarik nafasnya mencari kekuatan. “Aku akan berhenti berkonsultasi untuk sementara waktu.”
“Kenapa? Bukankah kita baru melakukan dua pertemuan saja?.”
“Aku sudah merasa lebih baikan sekarang, terimakasih atas bantuannya dokter” Yura membungkukan badannya memberi hormat.
“Katakan kenapa?, apa karena aku bukan psikiater atau bukan dokter spesialis jantung?.”
Yura kehilangan kata-katanya, dia tidak pernah merasa keberatan dengan masalah itu. Armin sudah melakukan semuanya dengan sangat baik, bahkan dia sudah jarang merasakan episode lagi, hanya dengan menerapkan perintah dari buku panduan yang di buat Armin.
Bukan itu masalahnya. Bukan karena Armin bukan seorang psikiater, bukan pula Karena Armin bukan dokter spesialis jantung. Tapi masalah keuangan keluarganya semakin memburuk. Yura merasa, jika pengobatan dalam berkonsultasinya akan menambah pemborosan keuangannya.
"Aku tidak mampu membayarnya lagi, keluargaku sedang ada dalam masalah kesulitan ekonomi, dan terlilit banyak hutang. Aku berjanji akan kemari lagi jika semuanya sudah membaik, aku benar-benar ingin sembuh." Yura kehilangan kata-katanya untuk menjelaskan lebih banyak lagi.
“Apa kau benar-benar ingin sembuh?”
Yura terdiam cukup lama, “Aku ingin sembuh Dokter. Namun terkadang aku berfikir keras jika sebenarnya bukan hanya jantungku yang sakit, mungkin hatiku juga” lirihnya melihat sekelebat bayangan bagaimana Tomy selalu menghajarnya di beberapa kesempatan.
“Apa yang katakan benar. Anggap saja ini hari terakhirmu berkonsultasi padaku, katakanlah apa yang sebenarnya terjadi agar aku merasa sedikit terhormat dalam menangani pasienku.”
Yura tertunduk dan menggeleng, “Tidak Dokter, aku tidak akan menunjukan kelemahanku kepada siapapun.”
Armin menampakan raut muka yang mulai kesal. "Krisis ekonomi keluargamu akan segera berlalu, jika kau tidak siap.." Kata-kata Armin langsung menggantung saat melihat wajah Yura terangkat. Armin terdiam dan melihat wajahnya dalam kehingan, air mata Yura berlinangan membasahi pipi merahnya.
"Bukan! Bukan karena uang!." Nada suara Yura meninggi penuh tekanan. “Bukan karena uang. Tapi aku sudah lelah dengan semua ini, aku sudah lelah terasingkan dengan semua luka yang aku dapat. Hati dan tubuhku perlahan merusak.”
“Aku lelah di tuntut untuk sempurna, tapi tidak di hargai. Aku hanya ingin membanggakan kedua orang tuaku dan mereka menerimaku jika aku adalah bagian dari mereka." Yura menghapus air matanya dengan cepat. “Aku tidak peduli jatuh miskin. Aku hanya ingin mereka berhenti melampiaskan kekesalannya padaku. saat semuanya ada, uang dan segalanya, mereka selalu melampiaskan kesalahan apapun kepadaku. Dan kini, semua itu hilang. Aku semakin takut.. aku takut apalagi yang akan mereka lampiaskan kepadaku.”
"Aku tahu, mungkin kau menganggap semua ini berlebihan. Tapi hatiku mengatakan tidak, ini buruk. Aku sungguh-sungguh ketakutan. Nafas Yura tersenggal-senggal dan berdiri perlahan dengan tubuh gemetar, gadis itu tertunduk meraih ujung gaunnya dan mengangkatnya sedikit. Dengan kasar dia mengusap permukaan kulitnya untuk menghapus polesan make up yang menyamarkan lebam biru ke ungungan memanjang di sana. “Lihatlah.”
Armin terdiam, namun berdiri dan mengitari meja mendekati Yura.
“Aku berfikir keras jika bukan jantungku yang bermasalah. Namun mentalku.” Isak Yura menghapus air matanya lagi, “Sungguh aku hanya ingin merasa di inginkan. Aku hanya ingin meyakinkan diriku jika aku di inginkan di dunia ini.”
“Lihat aku” Armin meraih dagu Yura dan mengangkatnya, sejenak dia menghapus air mata itu. “Kau tidak perlu pengakuan orang yang tidak peduli padamu. Yang harus kau lakukan, tetaplah berbahagia disisi orang yang selalu ada untukmu. Dengan begitu kau akan merasakan kebahagiaan.”
Tangisan Yura terhenti dengan sisa-sisa sesegukannya, matanya mengerjap. “Benarkah?” tanyanya penuh harap. Karena yang ada di fikirannya saat ini hanya Raymen dan Stefan. Armin mengangguk.
Krukkkk
Yura menyentuh perutnya yang berbunyi. Tiba-tiba dia kembali menangis semakin kencang membuat Armin semakin mendekat dan memeluknya.
“Kenapa kau menangis lagi?” Tanya Armin bingung.
“Aku lapar” isaknya seperti anak kecil. Rasa kasihan Armin yang terbawa suasana berubah menjadi tertawaan geli.
8. At- tafsir Liman ‘Ajaza’an At Ta’lif : Buku pedoman kedokteran, dengan tebal 1500 halaman. Karya
tokoh besar Al-Zahrawi. Seorang pelopor pembedahan modern, dan penemu penyakit Hemofilia.
***
Yura melihat makanan di hadapannya dengan sedikit ogah-ogahan, meski perutnya lapar namun rasa malunya lebih besar dari apapun. Mata dan hidung Yura merah bekas menangis begitu lama dan tak di tahan-tahan lagi. Setidaknya itu membuatnya merasa lebih baikan.
Yura sudah menceritakan masalah pribadinya untuk pertama kalinya kepada orang asing. Seumur hidupnya, hanya keluarga Raymen dan Stefan yang tahu. Yura bingung, mengada dia menjadi semudah itu terbuka pada Armin.
"Makanlah" perintah Armin.
"Iya, terimakasih."
"Ini" Armin memberikan kartu namanya, "Jika kau tidak mampu membayar konsultasi, datanglah kerumahku di hari jumat dan minggu. Jika kau merasa malu anggap saja kau sedang berhutang dan suatu saat nanti akan membayarnya”.
Yura ternganga tidak percaya, “Dokter apa kau tengah bercanda?” Tanya Yura sambil mengawasi keadaan di sekitarnya mencari-cari sesuatu, matanya berninar-binar bahagia, suasana hatinya juga berubah jadi baik.
“Aku tahu. Selain super tampan, kau juga baik, tapi.. ini terlalu berlebihan. Apa kau tengah mengerjaiku?” tanyaYura lagi dengan serius, sontak Armin tertawa merasa terhibur.
“Aku serius. tampan dan baik, seperti itukah aku di matamu?” Tanya Armin menyipitkan matanya menggoda. Yura menutup kedua pipinya yang langsung memerah, dia langsung berdiri dan membungkuk meminta maaf.
“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud bicara lancang, maaf.”
Armin kembali tertawa entah kenapa “Makanlah, dan habiskan.”
"Iya, terimakasih dokter, aku akan meneraktirmu kali ini.”
"Tidak, aku yang akan bayar" jawab Armin cepat, Yura kembali terkejut. "Nanti saat makan bersama lagi, giliranmu yang meneraktir" sambung Armin lagi, Yura tersenyum lagi.
Sekarang Yura terlihat lebih relax, dia mulai memakan makanannya dengan lahap. "Kau lapar ya?" Armin menahan senyuman.
"Tadi aku tidak sarapan, aku ada janji dengan seseorang” jawabnya dengan cemberut.
“Oh.. karena itukah kau berpenampilan secantik ini?.”
“Lupakan saja dokter, aku benar-benar terlihat payah.”
“Benarkah?” Armin menopang dagunya.
"Yu kenapa kau disini?" Tahu-tahu Raymen berdiri di hadapan Yura dan Armin. Raymen terlihat cukup terkejut saat melihat Yura.
"Aku ada urusan penting" suara Yura menggantung saat melihat gadis di sebelah Raymen, dia Mary, gadis yang satu sekolah dengan Yura. Mary sangat popular, sama seperti Raymen. Namun Yura tidak menyangka jika Raymen dapat mendekati Mary juga dalam waktu yang sangat cepat setelah putusnya dia dengan Andin.
"Apa kami boleh bergabung?" Raymen meminta izin dengan sopan kepada Armin. Armin mengangguk dan tersenyum seraya menggeser kursinya lebih dekat dengan Yura "Teruskan saja makannya" perintah Armin.
Raymen dan Mary menyusul memesan makanan. Raymen sama sekali tidak menikmati makanannya, dia mengaduk-ngaduknya tidak berselera. Sejak dia duduk, Raymen tidak melepaskan pandangannya dari Yura dengan tatapan curiga dan menyelidik.
Yura sendiri menatap sinis sahabatnya, yang sudah bisa menarik perhatian Mary dengan cepat, padahal baru beberapa hari Raymen dan Andin putus. Sekarang Yura tahu, gadis cantik yang dimaksud Stef, adalah Mary.
“Aku permisi ke toilet.” Yura beranjak dari duduknya dan segera pergi.
Kekesalannya menggumpal karena kehadiran Raymen, dia tidak habis fikir dengan Raymen. Berani-beraninya dia mengecani gadis yang satu sekolah dengan Yura. Apalagi wanita itu Mary. Tidakkah Raymen berfikir, jika suatu saat nanti dia putus dengan alasan yang sama dan menyangkut Yura, besar kemungkinan Yura akan di benci satu sekolah karena telah merusak hubungan seorang primadona sekolah.
Yura menatap dirinya di cermin sekali lagi, melihat penampilannya yang masih rapi. Dia segera keluar lagi dengan cepat.
“Kenapa kau bersamanya?.” Raymen menyambutnya di depan pintu ketika Yura baru keluar. Gadis itu memutar bola matanya dengan malas, dia menabrak bahu Raymen dan mengabaikannya. “Yu, jawab aku.” Raymen menarik lengannya dan mengurung Yura di dinding dengan kedua tangannya. “Kau dandan secantik ini hanya untuk bertemu dengannya?. Kalian kencan?.” Raymen meraih wajah Yura dan menelitinya dengan seksama.
“Tidak. Aku berniat bertemu pangeranku, tapi tidak jadi.”
“Tapi kenapa dengan dokter itu?.”
“Lalu, kenapa kau bersama Mary?. Kenapa harus bersama gadis yang satu sekolah denganku?.” Yura balik bertanya dan menuntut jawaban.
“Aku hanya kesepian. Jika saja kau ada di sampingku, aku tidak akan pergi dengan orang lain.” Raymen menyipitkan matanya dengan kesal.
“Omong kosong!. Awas saja jika kau membuat masalah.”
“Aku tidak pernah membuat masalah.” Jawab Raymen tidak terima. “Lihatlah lipstickmu ini, kau mau menggoda siapa hah?.” Raymen meraih wajah Yura dan menghapusnya dengan paksa.
“Jangan menghapusnya!, dasar kau ini!.” Yura berusaha memberontak, tapi Raymen tetap menghapusnya.
“Ehem!.” Seorang pegawai restorant berdehem keras. Yura mendorong Raymen dengan kesal dan menjauhkannya, “Maaf, kalian dilarang bermesraan di sini, saya tidak ingin para pelanggan terganggu.”
Raymen dan Yura saling memandang, penuh tuduhan.
Suasana di meja hanya di bumbui percakapan kecil, seperti basa-basi yang hambar sepanjang makan. Raymen terus menatap tajam Yura penuh spekulasi, begitu juga Yura yang melemparkan tanda kekesalannya kepada Raymen.
Hari mulai sore Yura melirik jam di tangannya sekali lagi, "Aku harus pulang."
"Pulang bersamaku" kata Raymen dengan cepat.
"Tidak perlu" jawab Yura.
"Ayo, aku yang mengantar" Armin menghelanya meninggalkan Raymen dan Mary.
Yura mendorong pintu keluar dengan sangat gusar dan kesal, kakinya di hentak-hentak seperti anak kecil.
"Kau cemburu ya?" Tanya Armin tertawa geli.
"Bukan seperti itu, dia akan menyusahkanku lagi nantinya."
To be continue...