Siapa Nama Ibumu?

1133 Kata
Merilyn langsung berdiri begitu mendengar suara mesin mobil di halaman rumahnya. Tepat seperti harapannya, Gabe keluar dari bangku kemudi, kemudian membuka pintu untuk Rachel. Gadis kecilnya keluar dari dalam mobil dengan wajah ceria. "Aku bisa saja melaporkan kamu ke pihak berwajib jika lain kali kamu tidak meminta izin dariku terlebih dahulu," kata Merilyn. "Memangnya kamu akan memberikan saya izin di lain waktu?" "Tentu saja tidak!" jawab Merilyn tegas. Dia tidak mau membuka celah pada Raiden untuk bertemu dengan si kembar. Gabe sangat dekat dengan Raiden. Sehari-hari Gabe selalu bersama dengan Raiden, bahkan di hari libur pun Raiden dan Gabe kerap kali bertemu. Kalau saja tidak pernah menikah dengan Raiden dia sudah beranggapan kalau dua pria itu memiliki hubungan yang spesial. "Saya minta izin kamu untuk dekat dengan mereka, Lyn. Richad dan Rachel membuat saya lebih bersemangat untuk menjalani hari-hari." Gabe tertarik dekat dengan si kembar, ada hal yang tidak bisa dia jelaskan mengenai perasaannya terhadap dua orang anak itu. Gabe ingin melindungi mereka. Terus terang Gabe tidak memiliki perasaan spesial kepada Merilyn. Namun kedua anak Merilyn membuatnya mengingat kembali masa kecilnya. Seperti ada sebuah perasaan yang mendorongnya untuk dekat dengan Richad dan Rachel. "Kedekatan kalian akan membuat Raiden curiga. Aku tidak mau Raiden tahu mengenai anak-anak." Sejujurnya ada sebuah dorongan dalam diri Merilyn untuk memberitahu Raiden tentang mereka yang punya anak. Hanya saja Merilyn takut Raiden membawa anak-anaknya pergi darinya. "Saya bisa menutupinya dengan baik," kata Gabe meyakinkan Merilyn. "Kamu tidak mengerti apa yang aku takutkan." Merilyn ingat bagaimana tenang dan hangatnya pernikahan mereka namun, semuanya tiba-tiba berubah dan dia ditinggalkan seorang diri. Merilyn tidak bisa lagi mempercayai laki-laki manapun, bukan tidak ada yang mendekatinya Merilyn yang membatasi dirinya. "Oke, saya memang tidak mengerti. Tapi, kamu perlu melihat dari sisi anak-anak. Rachel bercerita kalau Richad pernah bertengkar dengan temannya. Alasannya karena anak-anak itu meledek Richad dan Rachel tidak punya Papa." "Maksudmu kamu ingin memberikan figur Papa pada anak-anakku?" Merilyn bertanya dengan nada sinis. "Bukan itu tujuan saya. Saya hanya ingin agar mereka memiliki kerabat lain selain kamu dan pegawai laundry." Merilyn terdiam memikirkan perkataan Gabe. "Bagaimana jika Raiden tahu?" "Saya akan berdiri di depan kamu untuk melindungi kalian," kata Gabe tegas. "Bagaimana aku bisa percaya sama kamu?" Tatapan mata Merilyn menerawang jauh. Hal yang paling dia takutkan adalah berpisah dari anak-anaknya. Dia tidak akan bisa hidup tanpa mereka. "Menurutmu apa yang harus saya lakukan agar kamu percaya sama saya?" Merilyn menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," katanya. "Berikan saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya berada di pihak kamu." Merilyn melihat kesungguhan Gabe. "Hanya satu kesempatan." Gabe mengangguk, dia sangat bersemangat untuk bisa bermain dengan si kembar. "Terima kasih, Merilyn." Gabe akan memanfaatkan kesempatan yang diberikan Merilyn sebaik mungkin. *** Hari ini adalah hari minggu, Gabe datang pagi-pagi sekali untuk menjemput si kembar. Mereka telah membuat janji untuk pergi bersama. Merilyn menjelaskan pada Gabe tentang hal-hal yanng boleh dan tidak boleh si kembar makan. "Oke, saya mengerti." Mereka memang anak-anak Raiden. Makanan yang di sukai mereka tidak jauh berbeda dengan Raiden. "Jam lima sore adalah batas paling lama kembali ke rumah." Gabe mengangguk dan memasukkan perkataan Merilyn ke pengingat di ponselnya. Dia benar-benar mencatat setiap poin penting dari perkataan Merilyn. Tidak satu pun dia lewatkan. "Richad." Richad langsung menoleh begitu namanya disebut oleh sang Mama. "Perhatikan Rachel, jangan membantah apa kata Om Gabe." Richad mengangguk. Sejujurnya dia enggan ikut dengan pria itu tapi karena Rachel terus mengikutinya dan merengek sepanjang hari, dia pun setuju untuk ikut. Merilyn menarik napas panjang, dia merasa berat melepaskan anak-anaknya untuk pertama kalinya tanpa pengawasannya. "Hati-hati di jalan," kata Merilyn. "Iya, kami berangkat dulu." "Dadah, Ma." Rachel melambaikan tangannya semangat. Merilyn berdiri di depan rumahnya hingga mobil yang di kendarai Gabe menghilang dari pandangannya. Sepanjang perjalanan Rachel terus bercerita dengan semangat. Suaranya yang paling banyak terdengar di dalam mobil. Sementara Richad memilih membaca buku dan menyumpal telinganya dengan headphone. "Richad memang sangat suka membaca. Koleksi bukunya lebih banyak daripada koleksi boneka di kamarku." Rachel memberitahu saat dia menangkap Gabe yang sering kali melihat ke arah Richad. "Hebat," puji Gabe. "Richad memang sehebat itu. Dia merupakan murid kesayangan para guru di sekolah." Dengan bangga Rachel bercerita. "Richad juga selalu juara pertama di tingkatan kami." Gabe kembali melirik ke arah Richad. Penerus Hartawijaya memang tidak main-main, pikirnya. "Jangan terus melihat ke belakang, Om. Perhatikan jalanan di depan," ucap Richad tanpa mengalihkan fokusnya dari buku di tangannya. Sepuluh menit setelahnya mereka tiba di hotel tempat Gabe menginap. Rachel menatap heran pada bangunan tersebut. "Bukannya kita akan berenang?" tanya Rachel. "Iya, ini tempatnya." Rachel kembali mengamati bangunan hotel tersebut. "Mana airnya, Om?" Gabe menuntun Rachel turun dari mobil. Dia lalu mengambil tas berisi barang-barang keperluan milik Rachel dan Richad. "Kamu akan lihat nanti," jawab Gabe. "Ayo, Richad pegang tangan Om." Gabe menggandeng tangan Rachel dan Richad di tangan kiri dan kanannya. Richad melihat tangannya yang genggam oleh Gabe. Sedikit senyum terbit di bibirnya karena sejujurnya dia juga membutuhkan figur seorang ayah. Richad pernah memimpikan hal seperti ini. Hanya saja bukan Gabe yang menggenggam tangannya. "Itu tempatnya, Om?" tanya Rachel begitu mereka tiba di bagian belakang hotel tersebut. Hotel bintang lima milik keluarga Hartawijaya memang menyediakan permainan air khusus untuk pengunjung hotel. Gabe mengangguk lalu dia tertawa kecil melihat Rachel yang melompat senang. Suasana kolam renang itu tidak terlalu ramai karena hari masih pagi menjelang siang. Biasanya saat sore area kolam renang akan ramai oleh pengunjung hotel. Gabe dan Rachel sudah siap untuk masuk ke dalam kolam renang sementara Richad masih sibuk dengan bukunya. "Bukankah ini kebetulan?" Raiden tiba-tiba sudah ada di depan mereka. Pria itu sedang berjalan untuk melihat-lihat kolam renang hotel yang berada di bawah pengawasannya. "Hai, Om Rai," sapa Rachel ceria. "Oh hai, Rachel," balas Raiden lalu tatapan Raiden beralih pada Richad yang berada di samping Rachel. "Ini Richad. Dia adik kembarku yang aku ceritakan beberapa waktu lalu itu, Om." Raiden mengamati Richad. Dia akui kalau mereka memang memiliki kemiripan. "Kamu sangat suka membaca buku?" Richad hanya mengangguk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Raiden. Richad bahkan tidak repot-repot untuk mengalihkan tatapannya dari bukunya. "Om punya banyak buku. Kamu bisa mengambilnya kalau tertarik." Richad akhirnya mengangkat wajahnya untuk melihat Raiden. Ingatannya yang tajam memutar saat pertemuan mereka di minimarket. "Oh, kita pernah bertemu di minimarket," ucap Raiden terlebih dahulu. Richad hanya balas mengangguk membenarkan kalau mereka memang pernah bertemu sebelumnya. "Buku apa saja yang Om punya?" tanya Richad lebih tertarik pada buku yang ditawarkan oleh Raiden. "Om punya banyak. Buku seperti apa yang ingin kamu baca?" Richad terlihat berpikir sejenak. "Buku tentang planet. Apa Om punya?" Pembicaraan mereka terus berlanjut. Raiden sadar kalau mereka memiliki banyak kesamaan. Hal tersebut membuatnya penasaran mengenai siapa orang tua anak-anak itu. Lalu dia ingat Gabe pernah mengatakan kalau ayah kedua anak itu adalah pria b******k yang lebih memilih perempuan lain. "Siapa nama Ibumu?" tanya Raiden kemudian. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN