Kamu?

1329 Kata
Pertanyaan Raiden tidak mendapat jawaban dari Richad. Pria kecil itu berlari meninggalkan Raiden karena mendengar suara tangis Rachel. Kakak kembarnya itu terjatuh setelah keluar dari kolam renang. Pinggiran kolam renang terlalu licin untuknya. Rachel terluka di kedua siku tangannya. "Makanya hati-hati!" kata Richad dengan nada suara yang keras seperti membentak. Dia khawatir namun, tidak bisa mengekspresikan nya dengan baik. Dia mendekati Rachel lalu memeriksa siku dan lutut Rachel. "Aku udah hati-hati, tapi emang jalannya yang licin," balas Rachel tidak terima di bentak oleh Richad. Wajahnya yang penuh air mata menatap kesal Richad. "Mana yang sakit?" Kali ini suara Richad lebih lembut. Dia melihat luka lecet di siku Rachel. Baru saja Richad ingin mengambil tasnya Raiden sudah menggendong Rachel dan membawanya pergi. Richad langsung mengikuti pria dewasa itu setelah mengambil tasnya dengan gerakan cepat. "Om, Rachel mau di bawa kemana?" Rachel bertanya sembari menatap wajah Raiden yang mengeras. Wajahnya terlihat seperti menahan amarah di mata Rachel. "Ke Dokter. Luka di tangan kamu butuh perawatan dari Dokter," jawab Raiden. Rachel mengeratkan pelukannya pada leher Raiden. Dia tidak suka di bawa ke dokter karena takut dengan jarum suntik. "Aku tidak mau di suntik," ucap Rachel pelan. Dia pernah sakit dan Merilyn membawanya ke rumah sakit. Saat itu dokter mengatakan kalau dia sakit tifus. "Tidak akan di suntik. Mereka hanya akan membersihkan luka kamu." Raiden membawa Rachel ke klinik hotel milik keluarganya itu. Dokter yang berjaga langsung berdiri begitu melihat siapa yang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu. "Selamat siang, Pak," sapa wanita itu sopan. "Dia terluka saat berada di kolam renang." Raiden mengambil posisi duduk tanpa melepaskan Rachel dari pelukannya. Dokter yang berjaga langsung memeriksa luka di tangan Rachel. Dia kemudian langsung bergerak mengambil peralatannya untuk membersihkan luka di tangan anak itu. "Sshh ..." Rachel mendesis ketika dokter perempuan itu mulai membersihkan lukanya. Raiden mengusap-usap punggung Rachel menenangkan gadis kecil itu. Gabe yang sedari tadi mengikuti dalam diamnya memperhatikan tingkah laku Raiden. Entah kenapa dia merasa kalau Raiden mungkin sudah tahu si kembar adalah anak-anaknya. "Sudah selesai," ucap dokter perempuan itu setelah dia menempelkan plester luka di siku Rachel. Luka di tangan Rachel tidaklah dalam, hanya luka lecet akan tetapi bisa menimbulkan infeksi kalau tidak segera di bersihkan dan diobati. "Terima kasih, Bu Dokter." Rachel berucap ceria dengan memperlihatkan senyum manisnya. "Sama-sama, sayang," balas Dokter itu ramah. "Saya baru tahu kalau Bapak sudah menikah dan punya anak. Mereka sangat mirip dengan Bapak," kata dokter bernama Tari Mayana. Dia melirik anak laki-laki yang berdiri tepat di samping Raiden. "Tapi Om Rai bukan Papa kami," kata Rachel. Dia lalu meminta agar diturunkan dari gendongan Raiden. "Maaf, Pak. Saya pikir mereka anak-anak Bapak," ungkap dokter Tari. Siapa pun akan mengira kalau mereka adalah orang tua dan anak karena memiliki wajah yang hampir serupa. "Tidak apa-apa." Hanya itu yang Raiden katakan, setelahnya dia mengajak Rachel dan Richad keluar dari ruang klinik tersebut. "Masih mau berenang lagi?" tanya Gabe. Dia menyamai langkah kaki kecil Rachel. "Nggak lagi, Om. Mau main di tempat lain saja," jawab Rachel. Gadis kecil itu memperlihatkan lukanya yang sudah tertutup plester. "Tapi 'kan belum puas main airnya." Raiden ikut menimpali. "Lain kali aja main air lagi, kalau sekarang nggak mau. Nanti lukanya kena air, takut perih jadi nggak mau main air lagi." Raiden membiarkan Richad dan Rachel berjalan di depan. Dia berjalan bersisian dengan Gabe. "Pecat semua pegawai yang bertanggung jawab dengan pengelolaan kolam renang." Raiden tidak menerima satu kesalahan pun dari pekerjanya. Kejadian tadi, masihlah insiden kecil namun, cukup fatal jika tamu penting yang mengalaminya. Gabe mengangguk, tanda dia akan melaksanakan perintah Raiden. "Saya akan melakukannya, Pak." "Lakukan sekarang!" Gabe berhenti dan menoleh dengan kening berkerut. Dia tidak mungkin naik ke kantor dan meninggalkan Richad dan Rachel. "Saya akan melakukannya besok, Pak. Hari ini saya masih harus bersama dengan Si kembar." Untuk pertama kalinya selama bekerja dengan Raiden Gabe menunda pekerjaannya. "Aku yang akan menemani mereka. Sekarang lakukan pekerjaan kamu dengan cepat." Raiden menggerakkan tangannya memberi kode agar Gabe bergerak untuk langsung mengerjakan pekerjaannya. "Om Gabe punya kerjaan yang mendesak. Jadi, kalian mainnya sama Om saja, oke?" Richad dan Rachel kompak mengangguk. Richad dan Rachel tidak merasa takut saat bersama Raiden padahal mereka baru kenal. Raiden mengajak Richad dan Rachel bermain di area permainan anak-anak di mall yang lokasinya berdekatan dengan hotel. Hampir setiap permainan Raiden dan Richad beradu sengit. Meskipun selalu Raiden yang menang namun, dia puas mendapat perlawanan dari Richad. Sementara Rachel hanya menonton mereka dengan tenang. Dia sudah mendapatkan apa yang dia mau. Raiden membelikannya banyak boneka dan mainan. Puas bermain hingga sore ketiganya kemudian memutuskan makan di salah satu restoran cepat saji. "Ibu kalian tidak akan marah 'kan kalau makan makanan seperti ini?" Raiden kembali bertanya untuk yang kedua kalinya. Tadi dia bertanya saat akan masuk ke restoran tersebut. Sekarang dia bertanya lagi saat pesanan sudah ada di depan mereka. "Tidak , Om. Kami sering makan ini kalau Mama malas masak dan kalau kami mendapatkan nilai yang bagus." Richad kembali menjelaskan kalau mereka tidak akan mendapatkan masalah meskipun memakan banyak ayam goreng berbalut tepung tersebut. "Om sarankan agar kalian tidak terlalu sering mengonsumsi makanan seperti ini. Olahan makan cepat saji tidak sehat jika dikonsumsi terlalu sering." "Mama juga mengatakan seperti itu," kata Rachel. "Tapi tetap beli juga," tambah Richad lalu keduanya tertawa kecil mengingat sang Mama. Raiden ikut tersenyum melihat si kembar di depannya. Bersama kedua anak itu membuatnya merasa lengkap. Karena itu Raiden tidak keberatan untuk mengeluarkan banyak uang untuk mereka hari ini. Dia bahkan merasa hari kurang panjang untuk tetap bisa bersama kedua anak itu. "Habis ini kita pulang 'kan, Om?" tanya Rachel dengan mulut yang penuh berisi makanan. "Iya," jawab Raiden pendek lalu mengusap mulut Rachel dengan tissue. Raiden yang akan mengantarkan langsung sekaligus dia ingin bertemu dengan orang tua si kembar. Raiden penasaran dari mana anak-anak itu mendapatkan wajah yang mirip dengannya. Raiden memikirkan kalau mungkin saja ibu mereka adalah selingkuhan ayahnya. Sudah menjadi rahasia keluarga mereka kalau Sadeu Hartawijaya memiliki wanita lain. Hanya saja selama dia hidup, dia belum pernah melihat rupa wanita itu. Bahkan ibunya juga belum pernah bertemu langsung dengan wanita itu. Raiden merupakan anak tunggal. Dulu dia memiliki saudara kembar namun, meninggal pada usia sembilan bulan. Sejak saat itu dia tidak lagi memiliki saudara. Dia tumbuh sesuai aturan dari ayahnya. Kehidupannya benar-benar diatur bahkan untuk memiliki kekasih saja ayahnya yang memilihkan. Menikahi Merilyn adalah perlawanan pertama darinya untuk orang tuanya. Hanya saja pernikahan itu tidak berjalan lama, dia memilih meninggalkan Merilyn karena ulah ayahnya. "Om, makanan kami sudah habis," lapor Rachel mengembalikan pikiran Raiden yang berkelana jauh. "Oke. Makanan Om juga sudah habis. Kita langsung pulang sekarang saja." Mereka bertiga keluar dari restoran. Raiden berjalan di belakang si kembar yang bergandengan tangan. Beberapa wanita melirik Raiden dengan mata berbinar. Mereka mengira kalau pria itu adalah duda muda dengan dua orang anak. Tatapan lapar itu diabaikan oleh Raiden, dia sudah terbiasa dengan hal seperti ini. "Ayo masuk." Raiden membuka pintu mobil. Richad mempersilakan Rachel naik lebih dulu baru kemudian dia naik dan duduk di samping kakak kembarnya itu. "Pakai sabuk pengaman," kata Raiden. Lalu si kembar kompak menjalankan perintah Raiden. Sepanjang perjalanan Richad dan Raiden mengobrol. Rachel sendiri telah tidur setelah mobil berjalan selama lima menit. Raiden mengikuti arahan Richad untuk bisa tiba di rumah mereka. "Di sini kita ke arah mana?" tanya Raiden saat mereka berhenti di lampu merah. "Ke kanan, Om. Habis itu nggak jauh lagi kita sudah sampai." Richad memberitahu. Perjalanan mereka sore itu cukup lancar. Raiden memasukkan alamat rumah itu di dalam catatan ponselnya. "Benar ini rumah kalian 'kan?" Richad dan Rachel kompak mengangguk membenarkan kalau rumah di depan mereka itu benar-benar tempat tinggal mereka. "Ayo masuk, Om!" ajak Rachel sembari menggandeng tangan pria itu. Raiden mengangguk lalu mengikuti langkah kedua anak itu. "Mama!" teriak Rachel dengan suara melengkingnya. Richad langsung menutup mulut Rachel karena dia merasakan sakit pada telinganya. "Nggak usah teriak," kata Richad kesal. "Kalian sudah pulang?" suara itu datang dari dalam rumah. Tidak lama kemudian pintu utama rumah itu terbuka. "Kamu? ..." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN