Teresa mengerjap. Merasa ada yang aneh di sini. Elang seolah tidak terima dengan ucapan "orang lain" yang keluar dari bibirnya.
"Kenapa Mas marah? Apa aku nyebutin nama? Apa jangan-jangan kamu memang punya orang lain di luar sana?" sarkasme Tere.
"Ngomong apa sih kamu, Re. Ngaco banget. Orang lain apa yang kamu maksud? Aku nggak tau kenapa kamu kali ini terlihat beda, kamu nggak ceria seperti biasanya. Dari tadi aku datang, kamu terus aja uring-uringan." Elang beranjak membawa ponsel menggenggam erat lalu membawanya keluar kamar meninggalkan Teresa sendiri di kamar dengan sedikit membanting pintu.
"Yang beda itu kamu, Mas, bukan aku." Teresa menghela napas. Ternyata suaminya itu sama sekali tidak mau jujur padanya.
Elang berdiri di balkon lantai dua rumahnya. Menatap langit menghitam di taburi bintang memperindah kerlap kerlip menyapa semesta. Seperti dirinya dengan Teresa, dia langit hitam itu, sedangkan Tere adalah bintang yang membuat berwarna.
Teresa menghiasi hidupnya. Menemani hidup dalam kebahagiaan selama beberapa bulan ini. Dia datang seperti cahaya yang menerangi gelap karena ditinggal Keyla begitu saja.
Sejak tadi ponselnya tidak henti-hentinya berbunyi. Elang hanya menatap layar ponsel dari kejauhan. Menghisap sebatang rokok kemudian menghembuskan berat sambil mendongak ke atas menatap langit membuat asap nikotin itu mengepul, membumbung mengikuti arus udara.
Diam sebentar, lalu kembali berbunyi lagi-lagi. Entah apa yang diinginkan Keyla ini. Belum cukupkah siang tadi begitu banyak drama dan kini dia masih mengganggu dirinya. Elang menghembuskan napas kemudian melempar batang rokok itu ke lantai lalu menginjaknya.
"Hem?" Ia sangat malas mengangkat telepon dari Keyla.
"Lang, tolong, aku lagi di rumah sakit sekarang. Kamu bisa nggak datang buat temani aku. Sendirian buatku takut Lang. Dokter bilang kandunganku lemah jadi harus dirawat beberapa hari di sini, sedangkan aku nggak ada siapa-siapa yang nemenin."
Elang menghela napas. Satu tangan masuk ke dalam kantong ia tampak gelisah. Bingung, apa yang harus dia lakukan.
Di dalam sana Tersesa sedang uring-uringan sejak tadi. Pasti dia akan semakin marah jika Elang meninggalkannya. Menghembuskan napas berulang kali untuk memikirkan.
Hingga ia memutuskan untuk menemani Keyla. Sebab, bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan anak di dalam kandungan itu. Ini semua demi bayi itu, tidak ada maksud lain.
Sebelum meninggalkan rumah, Elang masuk ke dalam kamar. Ketika melihat, ternyata Teresa sudah terlelap. Dengan posisi meringkuk tampa memakai selimut. Pria itu mengayunkan kaki untuk mendekat menarik selimut untuk menutupi Tere sampai ke pundak.
Lalu Elang menciumnya dengn lembut supaya istrinya tidak terbangun.
"Selamat malam, Sayang. Semoga mimpi indah," ucapnya. Melabuhkan bibir di kening untuk mengecup. Lalu meninggalkan pergi menutup pintu secara perlahan.
Teresa membuka mata kemudian menarik napas berat. Dadanya terasa sesak mendapati kenyataan suaminya pergi meninggalkannya tanpa ingin membicarakan apa pun. Ia bergegas bangun dari ranjang lalu berlari ke balkon, melihat ke bawah mobil Elang keluar dari gerbang.
Ia begitu penasaran ingin tahu, ingin ke mana suaminya itu? Dengan masih memakai piyama yang dia kenakan ia mengambil jaket berwarna jeans, memakainya dengan cepat. Lalu pergi dari rumah tanpa memberi tahu bik Ina.
Mengemudikan mobil jazz berwarna putih miliknya yang merupakan hadiah Elang pada hari ulang tahunnya beberapa hari lalu. Ia menyetir sambil memperhatikan mobil yang melintas di depannya.
Secara bertepatan berhenti di perempatan jalan rambu-rambu lalu lintas. Ia melihat mobil Elang, ya, hanya berjarak dua mobil di depannya.
"Kamu bohongi aku terus, Mas. Mau pergi ke mana lagi kamu malam-kayak gini."
Mobil Elang jalan ketika mendapati lampu di hadapannya hijau. Teresa langsung melanjutkan kecepatan mobilnya untuk mengimbangi Elang. Hingga matanya membulat saat mendapati suaminya itu masuk ke dalam rumah sakit RSIA Bunda. Tidak ada alasan lain lagi, kedatangan Elang ke sana pasti ingin bertemu Keyla.
"Secintanya kamu mas, sama kak Keyla. Sampai malam-malam seperti ini pun nggak menghalangi niat kamu."
Jika Keyla sedang hamil anak Elang, maka ia pun serupa. Namun, Elang bersikap tak peduli padanya dan seolah hanya peduli dengan Keyla saja.
"Aku akan memberitahumu, Mas, karena anak ini juga butuh kasih sayang dan perhatianmu. Maka kamu harus tahu tentang kehadirannya."
Teresa memilih memutar balik mobilnya pulang. Sebab, jika masuk ke dalam sana akan membuat dadanya semakin bergemuruh di bakar oleh api kecemburuan. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa karena Keyla adalah cinta Elang yang siap menggantikannya kapan saja.
Di dalam gedung rumah sakit tinggi menjulang itu. Elang memasuki sebuah ruangan kelas VVIP untuk melihat keadaan Keyla.
"Akhirnya kamu datang juga, Lang. Aku kangen banget sama kamu," ucap Keyla begitu bersenang ketika melihat Elang yang berwajah tegas berkulit putih itu berdiri di hadapannya.
"Untung saja aku langsung pergi ke dokter setelah merasakan perutku sakit, Lang. Kalau nggak, aku nggak tau apa yang terjadi pada bayi kita selanjutnya." Keyla menatap Elang nanar.
"Lang, aku nggak bisa tinggal sendirian. Aku takut kalau kejadian seperti tadi keulang lagi."
"Bukannya sudah ada Bik Tarmi yang nemani kamu?" Elang balik bertanya.
"Ya bedalah, Lang. Bik Tarmi cuma bantu beresin rumah, masakin aku, cuci baju. Sedangkan aku butuh sosok di sampingku."
Helaan napas Elang terdengar begitu berat. "Kalau seperti itu kenapa kamu nggak pulang saja ke rumah Papi dan Mami?"
Keyla menoleh dengan cepat. Rambut panjangnya yang tergerai menutupi telinga sehingga membuat suara Elang tak begitu jelas didengar. Tubuhnya yang memakai pakaian khusus rumah sakit berwarna coklat muda itu menatap tidak suka.
"Kalau aku nggak mikirin harga diri mereka dari dulu aku sudah muncul di pernikahan kita, Lang, tanpa kamu menyuruh pun."
"Tapi kamu justru milih mutusin sendiri, Key. Nggak mikirin apa yang terjadi selanjutnya. Sekarang lihat, ada banyak orang yang kamu sakiti. Terutama Tere, dia orang yang paling dirugikan atas semua insiden ini."
Kalau saja Keyla tidak pergi ke luar negeri. Pasti semua akan baik-baik saja, Teresa akan melanjutkan kuliah bermain dengan teman-temannya. Menghabiskan masa mudanya dengan bahagia. Tapi kini gara-gara Keyla, gadis itu harus menjadi seorang istri yang Elang batasi setiap gerakannya.
"Aku juga nggak mau seperti ini sebenarnya, Lang. Aku juga sayang sama dia, walaupun dia bukan adik kandungku. Tapi ... mau gimana lagi, kondisiku nggak memungkinkan buat pulang pas hari pernikahan kita. Apa boleh buat kalau aku minta tolong buat Teresa gantiin aku. Lagian ini semua demi keluarga kita, aku dan semua. Satu orang berkorban demi orang banyak nggak masalah, kan?"
Keyla benar-benar tidak memiliki rasa kasihan pada Teresa sedikit pun. Dengan mudahnya menganggap Teresa seperti seorang pahlawan yang tidak memiliki perasaan.
"Maka dari itu, sekarang kamu ceraiin dia. Aku yakin dia pasti setuju kok ... lagian, dari awal dia juga sudah janji sama aku, kalau nggak akan cinta sama kamu."
Elang diam. Membalik tubuhnya membelakangi Keyla dengan kedua tangan berkacak pinggang pandangannya lurus.
"Elang, pikirin ini baik-baik. Demi kita, aku yakin, kamu juga masih cinta kan, sama aku? Kita akan bahagia karena anak ini, Lang."
Seenak itu Keyla membicarakan kebahagiaan mereka. Ia tidak tahu bahwa cinta untuknya sudah tidak ada lagi, walau sedikit pun. Cinta Elang hanya milik Teresa. Gadis polos yang belum banyak mengenal dunia luar, lucu selalu membuatnya ingin berbuat jahil.
"Nggak bisa, Key, nggak semudah itu. Kan sudah kubilang, aku nggak bakalan nyeraikan Tere sampai kapan pun."
"Ya nggak bisa gitu, dong. Oke, kalau kamu nggak mau ceraikan dia, seenggaknya kamu nikahin aku, bisa, kan?"
"Gila kamu, Key."
"Aku akan lebih gila kalau kamu nggak nurutin aku."
"Mau ngancem?" Elang menghadap Keyla. Dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana. Tatapannya tajam seperti sebilah pisau.
"Aku nggak ngancam, aku cuma mengajukan penawaran. Aku tidak masalah kalau kamu masih kekeh nggak mau ceraikan Tere, tapi aku minta kamu buat nikahi aku."
"Kamu sudah gila, Key. Dan aku nggak mungkin nurutin permintaanmu. Konyol."
"Kamu memang nggak mau, tapi bayi ini akan membuat keadaan kamu mau nerima aku."
Elang tidak mengerti harus membuat Keyla mengerti dengan cara apa. Keyla bersikukuh untuk meminta dirinya menceraikan Teresa. Sedangkan, semua itu tidak akan terjadi. Elang begitu mencintai Teresa hidupnya sudah terasa lengkap selama beberapa bulan ini. Bagaimana bisa ia meninggalkan hanya untuk Keyla. Yang jelas-jelas tidak ada lagi di hatinya.
Elang menuggu dari kejauhan saat dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan untuk memeriksa Keyla.
"Bayi Anda begitu kuat untuk bertahan. Anda harus bangga, Pak. Diusia lima bulan dia melewati berkali-kali kejadian, yang hampir merenggut nyawanya. Kandungan bu Keyla begitu lemah, sampai sekarang dia harus dibatasi setiap gerakannya. Dia harus bedrest sampai benar-benar kandungannya kuat."
Elang hanya diam. Menatap Keyla yang sedang berbaring dengan kedua tangan bertopang di perut.
"Sampai apa ada batas, sampai kapan dia terus seperti ini, Dok?" tanya Elang.
"Semua tergantung kesehatan bu Keyla. Jika dia akan berhati-hati menjaga setiap geraknya tentu nggak akan lama masa ini akan dilalui."
"Saya akan menjaganya, Dok. Mastikan kalau anak yang dikandung baik-baik saja." Elang tersenyum samar ketika mengucapkan terima kasih.
Dokter dan diikuti perawat meninggalkan ruangan. Setelah banyak memberi wejangan.
"Kenapa skenario mu sudah tersusun rapi?" tanya Elang.
"Apa?" tanya Keyla berpura-pura tidak mengerti.
"Ini semua rencanamu, kan? Kasian sekali kamu ini. Demi mendapatkan keinginanmu harus mencelakakan bayimu."
Keyla tidak menjawab, bibirnya bergerak-gerak tapi lidahnya seolah keluh. "Aku nggak ngelakuin apa pun, kenapa kamu ngomong seperti itu?"
"Kamu boleh melakukan apa pun, tapi satu yang harus kamu ingat, bahwa aku nggak akan ninggalin Tere hanya demi kamu."
Setelah berucap Elang mengayunkan kaki pergi meninggalkan ruangan Keyla.
"Lang, kamu mau ke mana? Lang! Dengerin aku dulu ...." Teresa berteriak. Tapi sama sekali tidak dipedulikan Elang.
-TBC-