Jujur

1501 Kata
Sudah berkali-kali Teresa bolak-balik dari ranjang ke dalam kamar mandi. Perutnya terasa mual tak berkesudahan, badannya lemas tak berdaya. Memasuki trimester kedua kandungannya mulai rewel. Membuatnya kehilangan selera makan terus saja muntah-muntah belakangan ini. Bik Ina selalu khawatir padanya, tapi dia sengaja menyembunyikan kehamilannya dari semua orang. Dengan mengatakan dia tidak keluar kamar karena tidak berselera. Setiap Bik Ina mengantarkan makanan, Teresa selalu menerima akan tetapi ia tidak pernah memakan. Sedangkan Elang tidak memiliki kepekaan terhadapnya sama sekali. Ia berubah akhir-akhir ini, bahkan jarang untuk menelepon seperti dulu. Sudah terlihat jelas, lelaki itu berubah apa sebabnya. Tentu adalah Keyla. Dia tidak sehangat dulu, dia bicara jika hanya ada yang penting saja. Bahkan, dengan alasan keluar kota Elang jarang pulang. Bahkan sampai berhari-hari baru menampakkan batang hidungnya. Seperti halnya kini, dua hari lamanya Elang tidak pulang, tanpa kabar. Teresa sudah menyiapkan seluruh kesabaran nya, sebab dia tahu, Elang tidak keluar kota, melainkan ke apartemen Keyla. Malam ini Teresa sengaja memasak mie instan karena ia sangat ingin memakannya. Pukul sebelas malam, bik Ina sudah terlelap tidur sehingga tidak mengetahui kalau nyonya rumahnya sedang memasak di dapur. Membawa semangkuk mie instan kuah, Teresa sudah tidak sabar ingin memakannya. Ia duduk di kursi makan, seleranya menjadi tergugah setelah melihat mie yang masih panas mengepulkan asap itu. Memegang sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Teresa membuka mulutnya untuk memasukkan makanan. Namun, belum juga makanan itu sampai, ia mendengar suara mobil memasuki garasi. Itu pasti Elang tebaknya. Mendadak seleranya menghilang. "Re? Kamu masih di sini? Belum tidur?" tanya Elang. Ketika akan menaiki tangga melihat Teresa duduk di meja makan. "Ini sudah malam, ngapain kamu di sana?" tanyanya lagi. Teresa mengerucutkan bibirnya kemudian mendorong mangkuknya menjauh. Ia beranjak tanpa mencium tangan Elang, ia melewati begitu saja naik ke atas tangga duluan. Dengan wajah lelah dan hitam di sekeliling matanya. Elang hanya menggeleng, akhir-akhir ini Teresa memang sering uring-uringan tanpa sebab. Ini pasti karena dua hari ini ditinggalkan ke luar kota tanpa kabar. Dengan langkah gontai Elang menaiki tangga menyusul istrinya ke kamar. "Belum tidur?" Elang tidak berhenti-hentinya bertanya pada Teresa dengan nada lembut. Akan tetapi, istrinya itu tidak ingin merespon. Justru bermain ponsel membelakanginya. Helaan napas Elang terdengar berat, dalam posisi miring mencondongkan tubuhnya di belakang Teresa ia terlihat kacau. "Kalau ada masalah tolong bicarakan, jangan seperti ini. Dengan diam, masalah apa pun nggak akan selesai." Karena tidak ada jawaban, ia beranjak meninggalkan Teresa ke kamar mandi. Teresa membalik tubuhnya ketika Elang menghilang dari balik kamar mandi. Bagaimana bisa ia mengatakan, sedangkan setiap ingin bicara, Elang selalu mengabaikannya. Masih mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Pertanda Elang masih membersihkan tubuhnya. Melihat ponsel Elang yang terletak di atas nakas, mendorong rasa ingin tahu untuk tau apa di dalamnya. Ia masih mengingat password suaminya. Teresa menekan tombol sama seperti tanggal pernikahan mereka. Perempuan itu memeriksa pesan pesan masuk dan juga foto. Namun, tidak ada apa-apa di sana. "Mas Elang nyebunyikan semua dengan aman." Teresa tersentak langsung meletakkan ponsel ke tempat semula. Setelah Elang keluar dari dalam kamar mandi. Sejenak ia tertegun melihat suaminya yang hanya memakai handuk berwarna putih dililit di pinggang. Sedangkan bagian perut tercetak enam. Kebiasaan rajin olahraga benar-benar membuat tubuh Elang perfeksionis. Tidak. Jangan sekarang. Kamu sedang marah Tere. Teresa mengerjap, menyadarkan pikirannya yang hampir hanyut dalam buaian Elang. Ia menelan saliva ketat sebelum bicara. Melihat suaminya sedang memakai kaos berwarna hitam meloloskan melewati kepala. "Maaf dua hari ini aku nggak ngabarin kamu. Karena di kota itu sedang ada hujan badai, sampai nggak ada sinyal lampu pun padam." Elang duduk di samping Teresa bersandar di head board. Teresa hanya tersenyum getir samar. Kecil sekali sehingga semut pun tak bisa melihat. "Kamu tau nggak? Aku khawatir banget sama kamu, karena nggak bisa nelepon. Sampai-sampai aku hampir putus asa." "Oh ya?" Bukankah kamu lebih bahagia bersama Kak Keyla dua hari ini. Elang merengkuh kepala Teresa membawa dalam dekapan. Tapi dengan cepat istrinya itu menolak. Mengangkat kepala lagi dengan posisi tegak. Sontak membuat Elang merasa ada yang aneh dengan Teresa. "Maaf mas, lagi gerah," ucap Teresa sambil tersenyum paksa. "Aku nggak tau, kamu terus saja begini. Aku seolah nggak kenal kamu lagi, Re. Bahkan kupeluk pun kamu nolak." "Masalah aku nggak menghubungi, itu kan sudah dijelaskan. Kalau di sana nggak ada jaringan. Tolong ngertiin aku sedikit aja, Re." "Ngertiin, ya?" Teresa mengangguk angguk mengerti dengan tatapan lurus ke depan. Detik berikutnya menoleh pada Elang, dengan senyuman yang sangat sulit diartikan. "Jadi selama beberapa hari ini, aku di rumah sendiri selalu kamu tinggal, itu nggak ngertiin kamu, Mas? Apa aku memilih diam di rumah seharian karena kamu ngelarang aku buat kerja, itu juga nggak ngertiin kamu?" Dinding pertahanan kesabaran Teresa akhirnya runtuh saat Elang terus saja mengoyak. "Bukan seperti itu, Re. Aku cuma nggak ingin lihat kamu marah. Rasanya nggak enak sama sekali," balas Elang. Duduk di tepi ranjang membelakangi Teresa yang menatap tidak suka. "Aku nggak mungkin marah kalau nggak ada sebabnya, Mas." "Kamu selalu cari sebab buat kamu marah, Re. Apa kamu sadar, sikap kamu akhir-akhir ini membuat hubungan kita renggang." Elang tidak pernah merasakan masakan Tere, tidak pernah lagi merasa disambut ketika pulang kerja. Dan, tiap kali Elang mengajak berhubungan badan, Teresa selalu nolak dengan berbagai macam alasan. "Ya udah kita pisah aja, Mas. Kalau udah nggak cocok ngapain harus hidup bareng." Hati Teresa begitu pedih ketika mengucapkan itu. Matanya berkaca-kaca satu kedipan saja akan menumpahkan semua yang menggenang. Perkataan Teresa langsung membuat Elang menoleh. Menatap lekat matanya manajam. "Kamu bilang apa tadi, Re? Aku nggak salah dengar, kan?" "Pisah?" tanyanya ulang. Kemudian mengusap wajahnya putus asa. "Oke, oke ... kalau tau kamu masih muda, usia dua puluh satu tahun belum pikiran dewasa, tapi ... harusnya kamu tahu, bahwa apa yang kamu ucapkan barusan adalah dosa." "Aku nggak mau di antara kita terus ada kebohongan, Mas. Aku ingin hidup tenang." Mengusap air matanya yang mengalir melewati pipi mulusnya. Elang mengerutkan alis bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan istrinya itu. Ia benar-benar tidak bisa melihat Tere menangis, sungguh dadanya merasakan sesak karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba ia mengerjap. Mengingat sesuatu, ya, Keyla. Ini tentang Keyla? Apa Teresa sudah tahu semua. Bagaimana mungkin, Keyla sudah berjanji padanya tidak akan memberi tahu siapa pun tentang keberadaannya. "Re, kamu sebenarnya kenapa? Bisa ceritakan semua sama aku? Please ... jangan nangis seperti ini, Re. Aku benar-benar nggak bisa lihat kamu seperti ini." Bahu Teresa terguncang seperti halnya hatinya saat ini. Dalam posisi miring membelakangi Elang ia terus saja mengeluarkan air mata. Benar kata pepatah, mulutmu adalah harimaumu. Ia tidak menahan diri sehingga kata-kata minta berpisah keluar begitu saja dari bibirnya. Elang adalah lelaki yang sangat dicintainya, tempat berulang ternyaman. Elang memberikan kasih sayang yang tidak pernah dia dapatkan dari siapa pun, termasuk keluarga sendiri. Teresa merasakan kulit hangat menyentuh permukaan bahunya. Elang merengkuhnya dari belakang, deru napasnya menerpa rambut. Semakin membuat Teresa tidak tahan diri untuk menangis. Ia tidak bisa membayangkan kalau perpisahan akan benar-benar terjadi. "Aku nggak tau, apa yang terjadi sama kamu, Re. Tapi percayalah, apa pun prasangka atau pikiran mengenai diriku jika kamu berpikir aku membohongimu itu semua demi kebaikanmu, Re. Percayalah." Teresa bergerak untuk mengganti posisi menjadi menghadap ke atas. Dengan posisi Elang di atas wajahnya. Ia mencangkup kedua pipi yang ditumbuhi bulu-bulu halus setelah bercukur itu. Kemudian menatap lekat lurus seolah saling mematri. Secara perlahan sambil menatap wajah Tere yang terus saja meneteskan air mata. Jari-jemarinya Elang mengusap cairan bening yang membuat hatinya seperti tersayat itu. "Kenapa kamu nggak jujur sama aku, Mas. Kenapa kamu nyakitin aku--" memalingkan wajah sebab tak kuasa melihat wajah Elang membuatnya teringat akan kenyataan. Kenyataan bahwa ia harus merelakan lelaki ini untuk diberikan pada pemilik sebenarnya. Air muka Elang berubah ketika itu. Ia menatap wajah Teresa lekat-lekat seolah barang berharga tak ternilai harganya. "Kamu tau semua?" Elang bertanya kembali. Kemudian dengan cepat membuang muka. Seketika kelebatan amarah melintas dari matanya. Satu dugaan yang mengarah pada satu orang. "Keyla yang memberi tahumu?" Tere menggeleng. "Siapa pun itu nggak terlalu penting. Yang penting aku kecewa di sini, kenapa nggak jujur kalau kak Keyla sudah kembali. Kenapa, Mas?" "Karena kehadiran Keyla akan bawa dampak nggak baik buat hubungan kita. Buat apa aku harus memberitahumu, aku sudah menduga pasti akhirnya akan seperti ini. Kamu pasti merasa ingin mundur, karena tugasmu menggantikan Keyla sudah selesai di sini. Tapi kamu harus tau, walau Keyla kembali pun aku nggak mungkin ninggalin kamu." Napas Elang menderu dipertemukan kulit. "Apa anak yang di dalam kandungan Kak Keyla itu adalah anakmu?" Pertanyaan yang keluar seolah menyengat hati. Belum juga Elang menjawab air matanya sudah mengalir. "Iya." "Dia anakku," imbuh Elang kemudian. "Dan semua itu terjadi sebelum beberapa hari sebelum pernikahan, Re. Maafkan aku." "Nggak ada yang perlu dimaafkan, Mas. Kalian saling cinta, urusan dosa itu urusan kalian berdua." "Dulu memang kami saling cinta, Re. Tapi sekarang aku nggak sama sekali, mungkin ini terdengar lebay, atau alay, yang jelas, sekarang aku cinta banget sama kamu." Elang mengecup lembut pipi Teresa. Kemudian mengusap air matanya. "Kamu harus bertahan demi kita." "Maaf, aku nggak bisa, Mas." - TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN