Biarlah

1620 Kata
“Kalau missal kamu jadi janda ya nggak pa pa, Re. lagian kamu juga masih muda, berbakat, dan masih banyak kelebihan lainya.” Kinan menyodorkan satu buah cangkir berisikan teh panas. Langsung diterima Teresa. Kemudian duduk di kursi sebelah. “Aku yakin nih ya, pasti masih banyak cowok-cowok di luaran sana yang mau sama kamu. Udah tenang aja, nggak usah khawatir kayak gitu. Aku yakin juga Elang bakalan mempertahanin, karena dia cinta banget sama kamu." Hidung Teresa memerah sebab menangis sejak tadi tidak berhenti. Sekarang perempuan itu menegakkan kepala menatap langit yang menggelep di taburi bintang-bintang. Ia rasa, karena tidak ada gunannya menangis. Dia akan menujukkan pada semua orang bahwa dia adalah wanita kuat, tidak mudah ditindas begitu saja. “Lebih baik kamu pulang, Re. apa mau nginap di sini?” tanya Kinan menatap Teresa yang sedang duduk di sampingnya. “Nggak, Nan. Aku mau pulang aja, tanks ya, atas masukkannya. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tau harus ke mana.” "Kalau ada apa-apa kamu ke sini aja. Aku siap kok jadi teman curhatmu, walau sehari semalam mau ngobrol ayuk aja." Teresa bangkit dari kursi, mengambil tas selempangnya ia merapikan wajah di depan cermin yang menempel di dinding berwarna putih yang hampir terkelupas-lupas. "Aku pulang dulu, Nan. Sekali lagi makasih ya atas hiburannya. Suara kamu tadi bener-bener menghibur." Kinan mengangguk. “Ini udah malam, biar kuantar aja. Aku takut kalau ada apa-apa di jalan sama kamu.” lalu menyambar kunci motor yang menggantung di dekat cermin. Ia tidak mungkin membiarkan teman baiknya itu pulang sendirian malam seperti ini. Teresa hanya menghela napas. Mau tak mau dia menerima tawaran Kinan. Sebab belum juga menggeleng tangannya sudah di tarik keluar. Di atas motor mengenakan helm bogo di kepala. Teresa menikmati sejuknya udara malam menerpa wajahnya. Gadis itu sesekali memejamkan mata ketika rambut panjang Kinan yang panjang tertiup angin masuk ke dalam matanya. “Re, kamu ingat nggak? Kalau kita bolos sekolah sering main ke sana. Cuma browsing browsing nggak jelas.” Dengan wajah tersapu angin Teresa melihat ke samping melihat sebuah toko yang ditunjuk. Dulu tempat itu adalah sebuah warnet, tapi kini berubah menjadi toko yang menjual berbagai pokok kebutuhan. “Banyak yang berubah dalam lima tahun ya, Nan. Rumah-rumah itu dulu kecil, sekarang jadi besar. Pohon-pohon di pinggir sana juga udah ilang, diangkut penunggunya kali ya.” "Jangankan bangunan yang berubah, hati aja banyak berubah dalam lima tahun ini." Suara Kinan menggetar karena melajukan motor terlalu tinggi. Tiba-tiba mengingatkan Teresa pada bayi yang ada dalam kandungannya. Dielusnya pelan lalu kepalanya tegak lagi. "Bisa nggak nyetir motornya gak usah kenceng-kenceng kayak gini, Nan? Aku takut," ucapnya merapatkan switer yang dipinjami Kinan. "Ah, kamu biasa aja napa. Bukannya dari dulu aku kayak gini kalau nyetir?" "Lagian, kayak orang hamil aja. Udahlah santai aja, kalau takut pegangan yang kenceng ...." "Astaga ... Kinan!" Kinan membuat Teresa tersentak tangan kanannya memutar gas. Hingga motor malaju begitu kencang. Jarak yang seharusnya ditempuh dengan kecepatan sedang dalam waktu tiga puluh menit. Justru Kinan hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja sampai tepat di depan rumah Teresa. "Rumahmu sepi, Re. Suamimu belum pulang emang?" Kinan celingukan dari atas motor memerhatikan rumah Teresa berpagar hitam tinggi tampak lenggang hanya ada satu mobil. "Kamu yakin mau masuk, Re? Nggak mau nginep di rumahku aja?" Dengan cepat Teresa menggelengkan kepala. "Aku harus masuk, Nan. Lagian nggak bagus kan kalau istri nggak pulang tanpa sepengetahuan suami. Mas Elang mungkin nyariin," jawabnya. "Tapi ... sampai sekarang belum pulang tuh. Ya udah aku balik dulu, sampai jumpa lagi dikemudian hari." Kinan menekan tombol starter menghidupkan mesin. Teresa melepaskan helm dari kepalanya lalu memberikan pada Kinan. Sambil tersenyum ia melambaikan tangan di depan pagar, sampai Kinan menghilang dari hadapannya. Senyum itu kian lama semakin memudar tatkala melihat ke dalam gerbang rumah. Ntah, walaupun ia sudah mencoba melupakan apa yang baru saja dia lihat, nyatanya tak pernah bisa. Masihkah ia bisa bertahan di rumah ini, setelah tahu pemilik rumah sebenarnya telah datang. Ini bukan salah Keyla, sebab, sejak awal dia memiliki kesepakatan bahwa tidak boleh mencintai Elang. Ini semua salahnya sendiri karena mendapat perlakuan lembut dari suaminya membuat hatinya luluh hingga menghasilkan anak yang kini dalam kandungannya. "Ya ampun, Neng ... dari mana aja? Nggak biasanya ibu pulang malam seperti ini," ucap Bik Ina--wanita yang bekerja mengurus rumah Teresa dan Elang. Teresa hanya tersenyum samar di depan pagar. Sambil menunggu bik Ina selesai membuka kunci pagar. "Makasih, Bik," ucapnya setelah pintu terbuka. "Mas Elang belum pulang, Bik?" "Belum Neng, pak Elang tadi saya telepon, tanya Neng ada di rumah atau nggak. Ya Bibi jawab saja belum, lagian neng mah, pergi nggak bilang-bilang. Bibi kan jadi khawatir." "Terus, mas Elang bilang apa pas tau aku nggak ada di rumah?" tanya Teresa. Ia penasaran apa reaksi suaminya itu. Apa dia khawatir ataukah tidak? "Pak Elang marah sama Bibi, Nang. Dia bilang bibi nggak bisa jagain neng." Wanita berpakaian rok panjang memakai kaos dengan rambut di kuncir ke belakang panjang itu menunduk. "Aku kan bukan anak kecil, Bik. Ya nggak masalah kalau sekali-kali aku pergi main, lagian aku cuma ke kos Kinan kok. Nggak ke mana-mana. Masuk yuk, udah malam." Teresa menggandeng tangan Bik Ina mereka berdua masuk. Ketika sampai di depan pintu mereka dibuat terkejut dengan suara klakson mobil. Segera menoleh ternyata itu adalah mobil ferrari berwarna putih yang dikemudikan Elang. Bik Ina langsung membuka gerbang besi yang baru saja digembok. Sedangkan Teresa mematung menatap wajah Elang yang masih di dalam mobil. Menatapnya tajam. "Apa juga baru pulang?" tanya Elang saat mereka berdua berada di kamar. Teresa membuka lemari mencari pakaian akan dikenakan untuk tidur. Entah kenapa, dia begitu enggan untuk menjawab pertanyaan Elang. Rasanya bibirnya seperti dijahit begitu berat untuk terbuka. Elang yang sedang meletakkan handphone dan jam tangan ke atas nakas mengerutkan dahi. Memiringkan wajah melihat Teresa. "Kenapa nggak jawab? Kamu dari mana aja? Bukannya kamu ke dokter buat medical cek up?" Luar biasa sekali Elang, setelah membohongi Tere kini bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Baiklah, Teresa akan melihat sampai mana batas suaminya itu berbohong. Ia akan mengikuti alurnya, akankah Elang jujur padanya dengan sendirinya atau dia akan terus menyembunyikan kebenaran Keyla. Teresa tersentak saat ingin bebalik, Elang memeluknya dari belakang. Seperti biasa yang dilakukan setiap hari setelah pulang dari kantor. Mencium pundak, menghirup aroma tubuh Teresa dalam-dalam seolah tidak ingin melepaskan. Dengan cepat Teresa menepis. "Maaf, Mas, aku belum mandi. Jadi nggak enak baunya." "Walau pun kamu nggak mandi, kamu tetap aja harum, Re. Aku suka." Justru semakin erat melingkarkan kedua tangannya di perut Teresa. "Andai aja, kamu nggak diam-diam bohongi aku, Mas. Hari ini pasti akan jadi hari paling bahagia buat kita berdua." Teresa menunduk memegang tangan Elang yang bertaut di perutnya melepaskan kemudian lalu membalik badan. "Sebenarnya kamu dari mana, Re? Dan hasil pemeriksaan dokter gimana? Semua baik-baik saja, kan?" Elang memegang kedua bahu Teresa sambil menunduk menatap satu garis mata yang masih terlihat sembab itu. Dan kini, Elang baru menyadari, astaga... dari mana saja kau Elang! Kekhawatiran lelaki memudar setelah melihat Teresa tersenyum. Walau terpaksa walau di dalamnya terasa sakit. "Re, kamu habis nangis? Kenapa? Apa pemeriksaan dokter ada yang bermasalah?" Elang terlihat panik dengan dahi mengkerut. Matanya tak lepas terus saja menatap Teresa. "Kamu enak banget bilang kayak gitu, Mas. Tapi kamu nggak pernah nyadar, kalau kamu sudah buat hatiku sakit banget." Teresa menarik kedua sudutnya untuk tersenyum. "Aku nggak kenapa-kenapa. Ini cuma banyakkan makan sambal di kos Kinan tadi." Padahal ia belum makan sama sekali sejak siang. Setelah sarapan bersama Elang pagi hari. "Jadi kamu nggak pulang ke rumah pergi ke kos Kinan?" Elang menghelan napas lega. "Lain kali, kalau mau pergi kabarin aku dulu. Jadi kan aku nggak khawatir sama kamu, tau nggak? Gara-gara mikirin kamu, meeting tadi berantakan." "Maaf." Teresa hanya bisa berkata itu. Dia tahu, Elang bohong, dia tidak meeting tapi bersama Keyla. "Baiklah, aku maafin. Tapi lain kali jangan diulangi lagi, kamu mau aku jewer, hem?" Teresa menggeleng. Elang mencubit ujung hidungnya. "Mandi sana, kamu bau," ucapnya. Lalu mengibaskan tangan berjalan melewati Teresa. Teresa memperhatikan Elang yang langsung mengambil ponselnya dari atas nakas. Seolah-olah adalah belahan jiwanya, tentu saja membuat Teresa curiga pasti suaminya itu sedang membalas pesan dari Kayla. Bahkan, setelah tiga puluh menit Terasa keluar dari kamar mandi pun, Elang masih di atas sofa bersandar sambil sibuk dengan ponselnya. Teresa memilih untuk diam dan mengabaikan. Mengeringkan rambut lalu menyisir dengan rapi. Sudah memakai piyama celana pendek sepaha berwarna merah hati. Ia sudah terlihat begitu fresh. Naik ke tempat tidur sambil duduk bersandar di head board membaca majalah wanita yang lagi tadi ia beli. "Re, dokter bilang kondisimu baik-baik saja, kan?" tanya Elang. Membuat Teresa menatap di sela-sela membacanya. Kemudian mengangguk. "Berati kita bisa lanjutkan bulan madu ke Paris?" Teresa menggeleng lalu melanjutkan membaca lagi. "Kenapa?" Menegakkan kepala menutup majala, matanya menatap Elang. "Aku lagi nggak pengen ke mana pun." Lagi pula lebih baik dia mementingkan bayi dalam kandungannya dari pada Elang. Terlepas dari itu, kondisi Teresa sebenarnya sedang mengalami morning sickness dia merasakan kadang-kadang mual kadang pusing tiba-tiba datang dengan sendirinya. Ditambah mengetahui semua ini. Membuat Teresa benar-benar down. Tersenyum adalah salah satu cara untuk menyembunyikan kekecewaannya. "Ya nggak gitu, Re. Bukanya kita sudah sepakat awal. Bahkan kamu kemarin-kemarin sangat antusias. Tapi sekarang seperti ini?" Elang yang masih memakai kemeja dilipat sampai siku itu menatap Teresa untuk bertanya. "Pokoknya, aku nggak mau pergi ke mana pun. Titik! Kalau kamu masih mau pergi, ya silakan, aku nggak masalah. Mau ngajak orang lain pun nggak masalah. Termasuk Kak kayla." Elang terus saja memerhatikan Teresa berbicara. Ia merasa begitu berbeda dengan hati-hati sebelumnya. Istrinya terlihat bagitu banyak diam, tapi sekali bicara mencetus. "Kamu ini ngomong apa sih, Re. Kalau nggak mau pergi ya udah aku bakal minta Anton batalin. Nggak usah bawa-bawa orang lain." - TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN