Retak

1609 Kata
Lagi, lagi dan lagi. Elang terus saja mengulang-ulang perbuatannya. Meskipun mengatakan dia mencintai Teresa itu tidak membuktikan apa pun. Nyatanya, setelah mereka bicara cukup tenang saling mendekap di peraduan. Lagi, Elang harus meninggalkan dirinya begitu saja, tanpa menunggu dirinya tertidur. Elang memaksakan Teresa untuk mengerti keadaan. Dengan cara berbagi suami yang terus saja menemui Keyla karena khawatir terjadi apa-apa pada bayinya yang dia bilang lemah. Ketika bangun tidur, Teresa mendapati sisi tempat tidurnya kosong. Bahkan tanda-tanda Elang pulan pun tak ada. Rupanya, lelaki itu lebih suka tidur di apartemen Keyla dari pada dirinya yang jelas-jelas juga membutuhkan perhatian. Semalam Elang dan dirinya membicarakan masalah ini. Suaminya itu bilang tidak akan menceraikan Tere. Tapi bagaimana mungkin, dia juga tidak ingin meninggalkan Keyla. Bahkan selalu menjadikan anak itu sebagai alasan untuk saling bertemu. Memuakkan. Tere tidak bodoh. Tidak akan tinggal diam. Ia akan mengatasi ini semua. Malam tadi, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan lamanya. Keyla menelepon Teresa. Seharusnya moments itu menjadi momen yang mengharukan sebab kakak adik dipertemukan melalui sambungan telepon. Namun, semua itu tidak berlaku bagi mereka berdua. Hati Teresa seperti daun kering yang telah diremas Keyla begitu kuat sehingga membuat hancur berkeping-keping menjadi potongan kecil kemudian terbang bersama embusan angin. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Keyla bagaikan perasan jeruk yang menetes lukanya. “Dek, makasih ya, kamu sudah ijinkan Elang buat ke rumah kakak. Dan maaf juga selama bebera bulan ini baru hubungi kamu, sebenarnya aku kangen sama kalian semua, tapi … Elang selalu memintaku untuk nggak kasih tau di mana tempatku.” Teresa menghela napas berat seberat pikirannya kini. Seharusnya ia bahagia sebab selama beberapa bulan ini ia terus saja memikirkan Keyla. Mengkhawatirkan keberadaannya. Tetapi apalah daya, Keyla kembali dalam keadaan seperti ini. Papi mereka pasti akan murka jika mengetahui yang sebenarnya bahwa Keyla hamil anak di luar nikah. “Apa Mami sama Papi tau, tentang kedatanganmu, Kak?” “Untuk saat ini belum, tapi … setelah ini mungkin secara berlahan aku akan menemui mereka. Walau bagaimana pun aku sedang hamil, Re. aku butuh teman yang menjaga bukan hanya pembantu.” Sesak teramat yang dia rasakan, Teresa memegang dadanya. Bayangan Elang sedang bersama kakaknya itu membuat nyeri sampai ke ulu hati. Terlebih lagi pada saat Keyla mengalihkan panggilan ke video langsung menghadapkan wajah satu sama lain. “Aku kangen banget sama kamu, Re. nggak tau gimana lagi caraku untuk ngucapkan terima kasih sama kamu. Kebaikanmu yang mau menjadi pengantin penggantiku sangat luar biasa. Kamu bertahan sama Elang selama lima bulan ini, bahkan kamu menjaganya dengan baik. Sekali lagi terima kasih, Re.” Teresa bergeming menghadap lurus ke balkon. Hingga tatapanya lurus ke arah kamera. Ia mencari-cari sesosok Elang di belakang Keyla. Tapi tidak ada di sana. "Sekarang di mana mas Elangnya, Kak?" Ia ingin melihat ekspresi lelaki itu. Masih bisakah dia memasang wajah tegak di hadapannya. Tapi, seperti kerupuk tersiram air, Elang sama sekali tidak menampakkan diri. "Kamu cari dia? Elang sedang di kamar mandi membersihkan dirinya," balas Keyla santai sambil memainkan kuku-kukunya. Teresa tertegun. Mereka berdua sedang menikmati malam yang hangat di apartemen. Sedangkan dia? Di sini menahan semua kesakitan ini. Bahkan bayi dalam kandungannya tidak bisa diajak kompromi. Terus saja mual-mual sehingga membuatnya tidak bisa tidur. “Kita udahan dulu teleponannya ya, Re. kalau kelamaan aku takut kalau Elang kebangun, nanti dia bisa marah. Kamu tau sendiri kan, kalau dia marah? Apa saja bisa dijadikan sasaran.” Terdengar dari seberang sana Keyla cekikikkan begitu bahagia. Perempuan berambut sepundak memakai piyaman pendek itu masih menggenggam ponselnya di atas balkon. Melihat ke bawah. Jika ia melompat ke sana, apa akan membuat orang-orang yang kini mengabaikkannya peduli padanya? Sampai kapan ia harus hidup seperti ini, hanya sekedar figuran yang dipakai jika dibutuhkan. Tak dilihat jika mereka sudah bahagia. Semalam telah dia lalui dengan kegelisahan. Ia terus saja memikirkan hal-hal yang telah dilakukan Elang dengan Keyla. Bagaimana pun mereka, dulu pernah saling mencintai. Bahkan saat ini memiliki buah hati yang kini tengah dikandung Keyla. Meskipun mencoba memejamkan mata hasilnya sama saja. Ia terus saja terbangun saat bayangan kebersamaan suami dan kakaknya kembali berkelebat. Pagi hari telah tiba. Sinar mentari menelusup ke dalam celah-celah gorden putih yang menembus kamarnya. Teresa sudah segar setelah mandi. Berpakaian celana pendek sampai paha dan bagian atas menggunakan kaos rumah berwarna putih tampak ke besaran. Teresa menghampiri Bik Ina di dapur yang sedang memasak untuk dirinya. Ia memperhatikan wanita yang sudah lima bulan ini dia kenal , menjadi teman untuk menuangkan semua keluh kesah. Bik Ina menganggap Teresa sebagai anak kandungnya sendiri. Teresa tidak tahu harus bicara apa selama di rumah ini jika tidak ada bik Ina. Dengan perhatian-perhatian kecil sudah nembuat kedekatan mereka tercipta. “Lagi masak apa, Bik?” “Eh, copot … copot ….” Teresa tertawa ketika melihat asisten rumah tangga yang terkejut seketika membuang pisau ke sembarang tempat lalu mengangkat kedua tangan di atas kepala seperti seoramg criminal sedang digrebek. “Ya Allah, Neng … ngagetin saya saja. Untung jantung saya kuat, kalau nggak mungkin sekarang sudah jatuh ke mana larinya.” Teresa terkikik mendengar kata-kata Bik Ina yang begitu lucu baginya. “Lagian, Bibik serius begitu. Lagi mikirin apa? Jangan-jangan mang Joko ya? Cie … cie … ayo ngaku.” Wajah bik Ina bersemu merah sambil menunduk. “Eneng ini ngomong apa sih? Kalau didengar Joko kan jadi enggak enak.” Menutupi mulutnya sendiri mengulum senyum. “Bibi mau masak apa?” tanya Teresa berdiri di samping bik Ina mengintip ke dalam panci ingin tau. Sambil mengaduk-aduk masakan dalam panci di atas kompor bik Ina menjawab, “Ini bibik mau bikin cap cai kesukaan Pak Elang, dari dulu dia nggak pernah bosan sama masakan satu ini.” Teresa mengangguk-angguk mengerti. Memang dia sudah mengetahui makanan apa yang menjadi kesukaan suaminya itu. “Selain capcai masakan apa lagi yang disukai mas Elang, Bik?” tanyanya. Melihat lurus ke dalam panci kemudian menatap bik Ina. “Pak Elang juga suka gudeg, tapi dia biasanya jarang mau kalau Bibi buatkan. Dia sukanya buatan Nyonya, sama Neng Keyla.” Seketika bik Ina menoleh menyadari kesalahannya saat bicara akan membuat Teresa merasa sakit hati. “Maaf, Neng, saya nggak bermaksud … maksud saya—“ Teresa tersenyum walau dalam hatinya sakit begitu teramat. Menarik kedua sudut bibirnya menempelkan telapak tangan ke pundak Bik Ina. "Nggak pa pa kok, nggak usah cemas gitu ….” Lagi pula Teresa sudah biasa seperti ini. Biasa dibandingkan biasa tidak dianggap. Ia biasa menerima semua kesakitan yang menjalar ke lubuk hatinya. Meskipun begitu, senyuman adalah satu-satunya cara untuk menyembunyikan sakit itu. “Bik, Bibi bangun dari pagi tadi, kan? Apa Bibi lihat Mas Elang pulang, mungkin kembali lagi?” Sambil merasakan masakan buatanya dengan sendok sayur. Bik Ina mebcicipi dengan cara menuang sedikit kuah capcai ke telapak tangannya lalu mengecap, menikmati rasanya yang sudah pas di lidah. “Semenjak tadi pagi saya belum melihat pak Elang pulang sama sekali. Mungkin dia sedang sibuk di kantor, jadi belum sempat pulang, Neng.” Bik Ina tersenyum mencoba menghibur Teresa supaya tidak sedih. “Bik, aku mau tanya sesuatu sama bibik. Tapi aku mohon jujurlah, aku nggak mau kamu jawab dengan kebohongan.” Teresa mematikan kompor karena ia ingin bicara serius pada bik Ina. “Bicara apa, Neng?” tanya bik Ina sambil mengerutkan alis. Saat Teresa menggandeng berjalan ke meja makan. Mereka berdua sama sama duduk berhadapan. Terlihat bik Ina sedang menunduk sambil meremas jari-jarinya sendiri. Tere yakin, pasti ada yang disembunyikan. “Ada apa, Neng?” tanyanya. “Bik, selama mas Elang dan kak Keyla berpacaran … apa kakakku sering nginep di sini?” tanya Teresa seolah mengintimindasi mata lebarnya menyipit. “Sa-saya nggak tau, Neng.” Teresa membuang napas kasar sambil bersidekap melipat kedua tangan ke depan dadaa ia menoleh beberapa saat kemudian menatap bik Ina lagi. Ternyata begitu sulit bertanya pada wanita di hadapannya. Itu semua karena Elang sudah berpesan sebelumnya bahwa, melarang bik Ina bercerita apa pun tentang Keyla pada Teresa apa pun yang terjadi. “Bik, hubunganku dengan Teresa sudah cukup baik, jadi … aku minta padamu. Jika Tere tanya apa pun tentang masa laluku, termasuk tentang Keyla jangan memberi tahunya. Aku nggak mau dia meresa sedih kalau mengungkit masa lalu yang nggak ada habisnya. Demi menjaga perasaannya, bibik mau kan, nuruti permintaan ku?” “Iya, Pak, Bibik janji nggak akan ngasih tau apa pun tentang Neng Keyla.” Ada rasa tidak enak pada Teresa. Nyonya nya itu menatapnya kini terlihat kecewa. Karena dia tidak memberikan informasi tentang masa lalu Elang sama sekali. "Maafkan bibik, Neng. Sepertinya Pak Elang nggak mau neng terus saja menoleh ke belakang." "Makan, yuk, Neng. Sudah jam sembilan, pasti neng lapar, kan?" Bik Ina beranjak dari kursi. Kemudian membalikkan piring di hadapan Teresa. Wanita itu terlihat sibuk sendiri menyiapkan makan, sedangkan Teresa hanya melihat saja. Teresa tahu, Bik Ina tidak ingin memberi tahunya apa pun hanya karena takut pada Elang. Bagaimana pun sikap suaminya sangat ditakuti di rumah ini. "Udah Bik, jangan ditambah lagi. Aku lagi nggak selera makan," ucap Tere mencegah dengan telapak tangan saat Bik Ina akan menuang nasi ke piring. "Kamu harus makan, Neng. Saya perhatikan badan Neng kelihatan kurus, neng juga suka melamun. Dan maaf, saya tau bahwa Neng nggak pernah makan makanan yang saya bawa ke kamar." Bik Ina menatap lekat-lekat. "Neng lagi sakit? Apa nggak sebaiknya kasih tau Pak Elang saja, supaya dibawa ke dokter?" Tere menggeleng dua kali. "Aku nggak pa pa, Bik, beneran. Maaf aku nggak makanan yang dibawakan bibik, itu semua sebab aku sedang ikut program diet. Karena nggak ingin membuat Bibik sedih, aku berpura-pura memakannya. Dan kamu akhirnya tau juga ...." Teresa tidak habis pikir kenapa Bik Ina bisa tahu, padahal ia membuang di tong sampah. - TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN