Terbiasa

1609 Kata
Kinan teman tujuan ternyaman untuk menyampaikan keluh kesah, tapi kali ini gadis itu tidak sendirian. Melainkan bersama Jordan--mantan pacar Teresa. Di sebuah restoran ala Meksiko di Jakarta mereka bertiga tertawa bersama. Kursi yang terletak di pinggir ruangan langsung bersampingan dengan kaca besar memperlihatkan tanaman-tanaman yang digantung. Suasana nyaman untuk mereka berkumpul. "Jadi selama ini kamu diam-diam suka beneran sama Jordan, Nan?" tanya Teresa setelah gelak tawa mereka semua reda. Kinan menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya. Sambil menggeleng-geleng ia sangat malu seketika. "Ye elah, Nan. Untung dulu kamu nggak nikam aku dari belakang. Kalau iya, kita udah nggak bakalan ketemu lagi sekarang, karena musuhan. Dan lo Jordan, kenapa lo secepat ini dapat pengganti gue, Bambang!" Teresa menutup wajahnya dengan bantal ingin tertawa. Jordan mengambil gelas ice coffe latte menyesapnya seperempat. Setelah kemudian meletakkan lagi ke meja. Cowok itu hanya terkekeh kemudian menatap Kinan. "Kita memang nggak tau ditakdirkan dengan siapa. Seperti Kinan contohnya, dia selama ini selalu ada di belakang kita. Tapi akhirnya dia yang jadi pacarku." Jordan memeluk Kinan yang berwajah memerah dari samping. "Btw ... kalian beneran, bakalan lanjutin kuliah bareng ke Surabaya?" tanya Teresa lagi mencondongkan tubuh untuk menatap Jordan dan Kinan yang sedang duduk berdampingan itu. Kinan mengangguk. "Kami sudah bicarakan sama mama dan papaku, Re. Kalau kata mereka disuruh jalani dulu sambil kuliah," balasannya. "Terus, aku gimana? Sendirian dong ...." Teresa menyunggingkan bibir berakting menangis dengan kedua tangan mengepal seolah-olah mengusap air mata. "Kan ada kak Elang, Re. Dia teman kamu sekarang," ucap Kinan. "Ya kan beda, dia suami bukan teman." Teresa ingin bercerita banyak, tapi ia menatap Jordan. "Jordan udah tahu semua, jadi kamu nggak usah khawatir. Cerita aja." "Ihs kamu, Nan," gerutu Teresa mencabik. "Kalian sepertinya mau bicara serius, ya udah aku minggir aja dulu." Jordan berdiri setengah duduk. "Jangan, jangan ...." Tere dan Kinan mencegah secara bersamaan. Jordan berdiri menatap mereka berdua sambil terkekeh. "Jadi aku nggak pa pa nih, ganggu kalian?" tanyanya. "Nggak pa pa, duduk aja di sini. Kamu sekarang pacar Kinan, itu berarti adalah temanku juga." Teresa menarik Jordan untuk duduk di sebelahnya. Mereka semua melanjutkan bercerita dengan serius. Mulai dari perasaan Kinan selama ini, perasaan Jordan yang sekarang beralih ke Kinan. Teresa turut menceritakan kehidupan barunya menjadi istri Elang. Hingga ia memutuskan untuk berhenti ketika akan mengarah kesedihan. "Jadi Elang milih kamu, Re? Dia ninggalin Keyla?" tanya Kinan. Teresa mengangguk. Walaupun Elang mengatakan akan memilih dirinya tapi kenyataannya suaminya itu selalu bersama Keyla. "Dia nggak mau pisah sama aku, Nan. Tapi ...." "Eh, itu bukanya suamimu Elang?" tunjuk Kinan. Melihat Elang bicara dengan beberapa orang lainnya di kursi seberang mereka. Teresa menoleh dan benar saja, Elang sedang sibuk menjelaskan sesuatu kepada dua orang laki-laki berpakaian formal. Saat itu juga suaminya menoleh padanya sambil melambaikan tangan dari kejauhan kemudian melanjutkan bicara lagi. "Suamimu orangnya sibuk banget ya, Re. Lihat itu, dari tadi ku perhatikan mereka semua bicara begitu penting. Kira-kira apa, ya, yang mereka omongkan?" tanya Kinan sambil menyesap sedotan dari gelas berisikan jus mangga. "Kita anak kuliahan, belum ngerti yang mereka omongin, Nan, bapak-bapak mereka mah ...." sambung Jordan. "Kasian banget, Tere harus nikah sama bapak-bapak," kelakarnya lagi langsung mendapat pukulan di bahunya. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Sayang ... Elang bukan bapak-bapak, dia masih muda dan ganteng gitu," sambung Kinan membela Teresa. "Tuh, dengerin si Kinan bilang apa!" gerutu Teresa bersungut-sungut. "Canda bapak ... serius amat, Re. Iya, ya, dia bukan bapak-bapak." "Nah, gitu dong." "Tapi kakek-kakek," sambung Jordan. Langsung disusul gelak tawa kedua perempuan di sampingnya. Setelah banyak bercanda, tenggorokan mereka terasa mengering. Pelayan secara bersamaan datang membawa nampan berisikan tiga gelas jus. Kemudian meletakkan ke depan masing-masing. Kinan melirik ke arah minuman yang baru saja di bawa oleh pelayan untuk Teresa. Gadis itu mengerutkan alis curiga. "Re, bukanya dari dulu kamu nggak suka banget sama alpokat? Tapi ... sekarang malah pesan, nggak pakai es pula? Emang enak?" Tidak ada jawaban. Kinan mendesah sambil mendengus saat Teresa sama sekali tidak mendengar pertanyaannya. Temannya itu terus saja memperhatikan Elang yang sedang bicara sesekali menoleh dan tersenyum padanya yang sulit diartikan. "Suamimu nggak bakalan ke mana-mana, nggak usah di lihat kayak gitu, Re." Perkataan Kinan membuat Teresa tersentak seketika menoleh padanya. "Sorry ... sorry ... aku hanya--" memindahkan pandangan menatap Kinan sambil menyesap minumnya. "Kamu nanta apa tadi, Nan?" "Sapi belakang rumah udah beranak belum??" balas Kinan kesal. Jordan hanya terkekeh duduk di samping Teresa. Merasa tidak enak sebab Elang terus memperhatikan ia segera pindah duduk di samping Kinan. "Kamu gitu amat, Nan. Kenapa jadi marah?" "Aku nggak marah, Tere ... siapa yang marah? Aku cuma nanya, kenapa kamu pesan alpukat, bukanya selama ini kamu nggak suka?" Tere mengangguk-angguk mengerti. "Oh ... ini rupanya, aku lagi ikut program diet. Jadi aku lagi stop gula sama kurangin makan nasi. Lihat sekarang aku langsing kan?" Teresa membuka kedua tangannya memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Kamu kelihatan pucat, langsing sih iya, tapi kalau nggak sehat kan sama aja." "Ciee iri ya? Mentang-mentang nggak bisa langsing ... walau nggak makan tetap gemuk ...." kelakar Teresa. "Nggak, hist!" Teresa tidak menyadari kalau sepasang bola mata memperhatikan setiap gerakannya. Bahkan saat ia tertawa bersama sama kedua temannya itu. Tanpa mendengar apa yang mereka bicarakan. "Baiklah pak Elang, soal proyek kita selanjutnya sudah disepakati. Kita tinggal alokasi tentang selanjutnya. Sekali lagi, terima kasih ... bekerja sama dengan Anda sangat menyenangkan." "Sama-sama, Pak. Semoga proyek ini akan menjadi kerjasama kita yang pertama kali lancar." Elang menjabat dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya masuk ke dalam kantong. Setelah para kliennya pergi Elang membayar semua total makan siangnya. Melihat Teresa yang seolah tidak melihatnya. Ternyata setelah ditelepon di rumah tidak ada di sini rupanya. Elang mengayunkan kaki menghampiri Teresa yang berjarak beberapa meter. Dengan pakaian rapi ia terlihat begitu beraura boss. "Kamu masih ingat nggak, teman sekelas kita yang namanya Doni, dia sekarang udah pergi ke Amerika sama istrinya. Dia bakalan lanjut hidup di sana katanya." Suara Kinan terdengar begitu bersemangat. "Iya aku ingat. Doni adiknya Tito yang jahil itu kan?" sambung Tere. "Aku masih ingat, gimana jahilnya si Tito itu ... ampun deh." "Iya, bener." Seketika obrolan mereka terhenti saat Kinan melihat ada Elang berdiri di samping meja. Dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku lelaki itu memperhatikan Teresa yang belum menyadari kehadirannya. "Re, ada yang nyariin tuh." Kinan memainkan kedua alisnya menunjuk Elang. Teresa menoleh tersenyum paksa pada Elang. "Mas," sapanya. "Kamu di sini ternyata, Sayang." Elang menunduk. Mencondongkan tubuhnya untuk memeluk Teresa yang setengah duduk lalu melabuhkan bibir di kening dalam beberapa saat sebelum kemudian melepaskan. Suasana canggung seketika tercipta. Teresa tak bicara hanya sesekali menyesap minumannya. Sedangkan Kinan dan Jordan saling berpandangan bingung apa yang harus mereka katakan. "Kamu ke sini datang sama siapa, Re?" tanya Elang. Memecah keheningan di antara mereka. Teresa menoleh lalu meletakkan gelas di tangannya ke atas meja. "Aku naik taksi online tadi," jawabnya sekilas. Kemudian memasukkan barang-barang yang ia bawa ke dalam tas. Elang terus memperhatikan sikap istrinya yang begitu dingin itu. Kemudian beralih menatap Kinan dan Jordan yang memperhatikan dirinya. Langsung menatap objek lain ketika bersirobok dengan bola matanya yang tajam. "Hai, kak Elang ...." sapa Kinan menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum basa-basi. "Kinan." Jordan menyentak lengannya merasa cemburu. "Sudah mau pulang?" tanya Elang. Melihat Teresa sudah menggantung tasnya di pundak. Tere mengangguk samar. "Nan, Jo. Makasih ya waktunya." Teresa melirik Elang seolah menyindir. Kinan dan Jordan mengangguk tanpa menjawab. "Kalian sudah mau nyediain waktu buat aku. Padahal jadwal kalian padat banget. Sekali lagi makasih, ya, walau sebentar ini udah berharga banget buat aku." "Baiklah, Tere ... next time kita ketemu lagi. Sekarang pulang gih ditunggu sama suamimu." Teresa beranjak berdiri lebih dulu meninggalkan Elang yang masih duduk. Sontak membuat alis lelaki itu saling bertaut sebelum kemudian berdiri mengejar Tere yang sudah sampai ke meja kasir membayar minuman dan makanan yang sudah dimakan. "Berapa, mbak?" tanya Teresa pada kasir wanita yang berdiri di balik meja. "Semula dua ratus ribu," jawab kasir wanita itu. Teresa buru-buru merogoh tasnya mencari dompet yang terselip di antara handphone dan barang lainnya. Setelah mendapatkan ia segera memberikan dua lembar uang berwarna merah pada kasir. Namun, sebelum uang yang dia berikan sampai ke tangan kasir. Elang lebih dulu memberikan credits card miliknya. "Pakai ini aja, Mbak," ujarnya. Kemudian tersenyum pada Teresa yang hanya mendesah kesal. Memasukkan dompet lagi ke dalam tas membiarkan Elang menyelesaikan p********n. "Kenapa lama sekali, sih?" gerutu Teresa sambil celingukan di depan restoran. Menunggu sopir taksi online yang sudah dia pesan lewat aplikasi handphone. Sambil menggenggam ponsel sesekali memantau di mana mobil tersebut ia tampak tidak sabar. "Nunggu siapa, Re?" tanya Elang menaikkan sebelah alisnya. Tak lama berdiri mobilnya yang dikemudikan sopir datang. "Lagi nunggu sopir taksi," jawab Terasa. Dahi Elang semakin mengkerut dalam. "Kamu mau ke mana lagi? Ayo kita pulang. Kita bisa pulang sama-sama." Elang menggenggam pergelangan tangan istrinya. Langsung ditepis oleh Teresa. "Lepasin." Dahi Elang semakin mengkerut dalam. "Nggak mau pulang?" tanyanya. "Aku nggak mau pulang sama, mas!" jawab Teresa kesal. Dengan cepat memalingkan wajah. Mobil yang sudah di pesan akhirnya sudah sampai. Ia segera bergegas akan masuk. Tapi Elang dengan cepat memegang pergelangan tangannya. "Apa sih, Mas? Aku mau pulang. Kenapa masih dicegah?" tanyanya seiring dengan dengusan kesal. "Tapi kan bisa bareng aku, Re. Kita satu rumah ngapain harus naik mobil beda-beda?" Elang membalik tubuh Teresa menghadapnya. Istrinya itu terlihat begitu kesal bersungut-sungut. Memutar bola mata malas begitu enggan melihatnya. "Pulang sama aku?" Suara Elang terdengar turun intonasinya. "Apa yakin kamu mau pulang, Mas? Apa kamu nggak bakalan nemuin kak Keyla lagi. Kalau pulangmu cuma ngantar aku apa bedanya sama sopir taksi online itu," celetuk Teresa membuat Elang bergeming seketika. Tanpa peduli ia melewati Elang yang sudah melepaskan tangan untuk masuk ke dalam taksi online pesanannya. -TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN