Tadinya, Devian terbangun setelah mengalami mimpi buruk yang sangat-sangat menggangunya. Devian berharap bisa kembali tidur setelah berjalan-jalan sebentar, tapi sekarang justru benar-benar tidak bisa tidur lagi setelah melihat buruknya perlakuan Darrel pada Laura. Entah apa yang Darrel lakukan pada Laura, Devian hanya berharap itu tidak akan berbahaya bagi Laura.
Ini bukan pertama kalinya Laura disentuh oleh Darrel, sudah berulang kali Darrel menyatukan diri dengannya, tapi ini pertama kalinya Darrel bermain begitu kasar. Laura berulang kali mengatakan pada Darrel agar jangan seperti ini, tapi pria itu tidak pernah peduli padanya.
Pada akhirnya, Laura hanya bisa terbaring lemas di ranjang, sedangkan Darrel tidur dengan nyenyak di sebelahnya. Laura menatap langit-langit kamar Darrel dengan tatapan yang terlihat kosong. Air mata menetes dari sudut mata Laura, tapi tidak ada isak tangis yang keluar dari bibirnya. Orang-orang mengatakan puncak dari rasa sakit seseorang adalah ketika orang itu menangis tanpa suara. Laura merasakan itu sekarang.
Pada titik ini, Laura merasa ingin menyerah saja, tapi ia masih ingat pada ayahnya. Kakaknya telah pergi, lalu bagaimana jika ia meninggalkan ayahnya? Laura tidak bisa membiarkan ayahnya hidup sendirian dan penuh dengan penderitaan. Laura juga masih memiliki begitu banyak pertanyaan untuk kakaknya.
***
Teringat pada ponsel Laura yang rusak, Devian memutuskan membelikan ponsel baru untuk Laura saat kembali dari kantor. Devian membelikan ini tidak dengan harapan bisa mengurangi penderitaan Laura, karena ini tidak akan berarti apa-apa. Devian berpikir Laura pasti membutuhkan ponsel untuk berkomunikasi dengan ayahnya. Devian merasa bertanggungjawab atas semua penderitaan yang Laura alami di rumahnya, tapi lagi-lagi tidak tahu harus melakukan apa untuk mengurangi penderitaan Laura.
Begitu sampai di rumah, Devian tidak langsung menemui Laura karena ternyata ada yang datang dan ibunya memintanya untuk bicara dengan orang itu. Yang datang adalah Baek Cindy, wanita berambut panjang dengan warna brown sugar milk tea yang sangat cantik dipadukan dengan bibir meronanya. Dua minggu yang lalu, Cindy baru berulang tahun yang ke-29 tahun dan Cindy adalah wanita yang dijodohkan dengan Devian. Cindy tidak begitu tertarik dengan pernikahan, tapi setelah tahu kesepakatan bisnis dalam pernikahannya dengan Devian nanti ia setuju saja dengan perjodohan ini.
Saat ibunya pergi meninggalkanya hanya bersama Cindy saja, Devian merasa agak kesal karena hal itu. Cindy adalah wanita yang pintar, cantik, dan dari keluarga yang terpandang juga, tapi Devian benar-benar tidak tertarik dengan perjodohan ini.
Tentang apa yang terjadi pada pernikahan Darrel, Cindy tahu hal itu karena ia juga hadir saat pernikahan itu berlangsung. Tapi Cindy tidak pernah membahas hal itu karena tidak memiliki kepentingan untuk mencampuri urusan orang lain.
"Kau membeli ponsel baru?" tanya Cindy.
"Ya, aku membelinya untuk seseorang," jawab Devian.
"Untuk siapa?" Cindy kembali bertanya pada Devian.
"Seseorang." Devian menjawab seadanya. Terlalu enggan untuk menjawab pertanyaan yang menurutnya tidak terlalu penting.
Cindy masih sabar menghadapi Devian yang terkesan dingin seperti ini. Cindy memiliki mimpi besar tentang jenjang karir dan perusahaan ayahnya. Cindy ingin menguasai semuanya, agar wanita simpanan ayahnya tidak bisa mendapatkan aset ayahnya, jadi ia akan sebisa mungkin bertahan di sini untuk terlihat sebagai putri penurut untuk ayahnya.
"Hari minggu ini ulang tahun Ayahku. Kau bisa datang ke pestanya, kan? Ayahku sangat mengharapkan kehadiranmu," ucap Cindy lagi.
Ibu dan ayahnya pasti sudah mengetahui hal ini dan jika ia menolak untuk pergi, maka baik ayah atau ibunya pasti akan memaksanya untuk pergi ke pesta itu. Devian sudah memperkirakan semuanya. "Tentu saja, aku akan datang." Jadi, tidak ada pilihan lain, selain hadir ke pesta itu.
Setelah Cindy pergi, Devian mencari keberadaan Laura dan menemukan wanita itu sedang duduk sendirian di kursi yang ada di taman di halaman rumahnya. Rumah mewah ini mungkin menjadi tempat tinggal impian orang lain, tapi Devian tahu betul kalau tempat ini tidak lebih dari sekadar neraka bagi Laura.
"Ini untukmu." Tanpa basa basi Devian langsung menyodorkan paper bag itu pada Laura.
Laura yang sejak tadi sibuk melamun, kini mengalihkan pandangannya pada seseorang yang bicara padanya. Laura berdiri, melirik paper bag itu, lalu kembali menatap Devian. "Apa ini?" tanya Laura.
"Ponsel baru untukmu. Kau membutuhkan ini untuk berkomunikasi dengan ayahmu kapan pun kau mau, jadi jangan menolaknya." Devian meraih tangan Laura dan memberikan paper bag itu padanya.
"Terima kasih, tapi ini tidak perlu." Laura mengembalikan paper bag itu pada Devian.
"Aku akan membeli ponselku sendiri. Selagi aku bisa, maka aku akan melakukannya sendiri. Bukannya aku tidak menghargainya, tapi aku tidak ingin membuat diriku terlihat menyedihkan melebihi apa yang sudah terjadi." Laura kembali bicara. Ini mungkin akan membuat Devian kecewa karena usahanya tidak dihargai, tapi Laura tidak ingin terus mendapat belas kasihan dari Devian yang akan membuatnya merasa lebih buruk lagi.
"Aku minta maaf jika ini menyinggungmu. Aku tidak pernah ingin membuatmu merasa tidak nyaman, aku hanya berpikir kau membutuhkan ponsel ini. Itu saja." Devian tidak menduga hal ini. Devian tidak marah atau kecewa karena Laura menolak pemberiannya, tapi merasa bodoh karena tidak memikirkan bagaimana perasaan Laura saat ini.
Di sisi lain, Darrel lagi-lagi melihat betapa perhatiannya Devian pada Laura. Darrel baru tahu kalau ponsel Laura rusak, lalu terkejut karena kakaknya bisa mengetahui hal itu lebih dulu dari pada dirinya. Darrel yang tadinya ingin ke kamarnya, sekarang memutar arah untuk menuju ke tempat kakaknya bicara dengan Laura.
"Terima kasih untuk semuanya, tapi aku tidak bisa menerima ponsel ini. Aku permisi." Laura pergi meninggalkan Devian.
Belum sempat Laura melangkah jauh, langkahnya kini terhenti karena Darrel yang berdiri hanya beberapa langkah di depannya. "Apa yang terjadi pada ponselmu?" dan Darrel bertanya pada Laura.
Laura tidak pernah bercerita apapun pada Darrel, jadi berpikir kalau pria itu pasti mendengar pembicaraannya dengan Devian. Kenapa Darrel harus menguping seolah ini sangat penting untuknya? Membingungkan sekali.
"Kenapa kau peduli? Kau tidak harus bertanggungjawab untuk hal itu, kan?" Laura membalas dengan ketus dan setelahnya pergi.
Darrel terlihat kesal, tapi tidak mengejar Laura untuk bicara dengannya. Darrel mendekati Devian yang masih berdiri di tempatnya tadi. "Kakak sangat perhatian padanya. Karena rasa kasihan atau karena suka padanya?" Darrel pun langsung mengatakan ini pada Devian.
"Perjodohanmu sudah diatur, jadi fokuslah pada hal itu. Laura tidak pantas untuk semua kebaikan ini. Apa Kakak tidak mengerti juga?" ucap Darrel lagi.
"Bagaimana jika aku yang membuat kesalahan besar? Apa kau juga akan ikut bertanggungjawab untuk semua kesalahanku? Apa kau bisa melakukannya tanpa merasakan ketidakadilan?"
Balasan dari Devian di luar perkiraan Darrel. Mengejutkan ketika kakaknya membawa pembicaraan ke arah yang tidak terbayangkan seperti itu. "Kakak bukan tipe orang yang bisa membuat masalah besar." Hanya ini yang bisa Darrel katakan.
"Bagaimana jika aku tidak seperti yang kau pikirkan? Apa kau akan ikut bertanggungjawab untuk kesalahanku? Kau siap dibenci meski tidak melakukan apa-apa?" Devian kembali bertanya untuk topik yang masih sama.
Darrel tidak mengerti kenapa kakaknya bersikeras menginginkan jawaban untuk hal itu. Lalu, Darrel berpikir ini mungking tentang Laura. Jika berkata tidak, maka Darrel yakin kakaknya akan membuat pertanyaan yang akan membuatnya terpojok. "Ya, aku akan ikut bertanggungjawab." Hingga akhirnya, Darrel mengatakan ya karena tahu kakaknya bukanlah tipe orang yang bisa membuat kesalahan yang begitu besar.
"Baiklah," ucap Devian singkat dan setelah itu pergi.
***
Hari ini, Laura keluar sendirian untuk membeli ponsel dan mencari sedikit udara segar. Setelah mendapatkan ponsel, Laura pergi ke toko roti untuk membelikan roti yang sangat disukai oleh ayahnya. Laura ingin pulang sebentar setelah ini karena rasanya sudah cukup lama tidak bertemu dengan ayahnya. Ayahnya tinggal sendiri saat ini dan Laura berharap kesehatan ayahnya baik-baik saja.
Ketika akan menyeberang jalan, raut wajah Laura seketika berubah saat melihat Kai yang ada di seberang jalan, bergabung dengan beberapa orang yang ingin menyeberang juga. Kai dan Laura kini menyadari kehadiran satu sama lain, kemudian merasa kalau jarak di antara mereka jauh melebihi jarak mereka saat ini, begitu jauh hingga sangat sulit untuk diraih.
Waktu untuk menyeberang akhirnya tiba, Laura dan Kai sama-sama melangkah untuk menyeberang ke tempat tujuan mereka. Laura tidak sanggup menatap mata Kai, bahkan ketika pria itu lewat tepat di sebelahnya. Laura juga tidak berharap disapa oleh Kai karena tidak tahu bagaimana cara menghadapinya setelah apa yang terjadi. Namun, Laura dibuat terkejut karena Kai yang tiba-tiba meraih tangannya, padahal awalnya ia berpikir kalau Kai sudah sampai di seberang sana.
"Bukankah kita perlu bicara?" ucap Kai dan setelah itu membawa Laura pergi ke arah yang ia tuju.
"Lepaskan aku, Kai! Kita tidak perlu membicarakan apapun. Lupakan saja tentang kita. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita, itu akan lebih baik untukmu." Laura bicara sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Kai. Laura sungguh tidak bisa menghadapi Kai sekarang. Laura bahkan tidak sanggup menatap Kai dan membayangkan betapa besar kebencian pria itu padanya.
Kai menghentikan langkahnya ketika tiba di seberang jalan itu, lalu menatap Laura yang memintanya untuk melupakan semuanya dengan alasan demi kebaikannya. Demi Tuhan, Kai tidak pernah menyangka Laura bisa mengatakan semua itu padanya. Kai tidak melepaskan tangan Laura, bahkan justru menggenggamnya semakin erat.
"Kebaikan apa yang kau bicarakan? Jika kau ada di posisiku, apa kau bisa melupakan semuanya dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Jawab aku, Laura!" Kai meninggikan suaranya sembari mengguncang bahu wanita cantik itu.
"Kau akan mengerti jika kau ada di posisiku. Ini sulit untukku. Aku tidak berdaya." Laura bicara dengan begitu lirih pada Kai. Setelah itu, Laura kembali memohon agar Kai melepaskan tangannya dan membiarkannya pergi.
"Bagaimana aku bisa mengerti jika kau tidak mengatakan apapun padaku? Kakakmu pergi, tapi apa itu secara otomatis kau harus menikah dengan calon suami kakakmu? Siapa yang membuat peraturan seperti itu? Tatap aku, Laura ..." Kai menyentuh wajah Laura dengan lembut, kemudian membuat Laura menatap jauh ke dalam matanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Jika ini juga sulit untukmu, maka kau bisa membagi semuanya padaku. Kita tidak akan pernah bisa memahami satu sama lain jika kau menyimpan semuanya sendiri. Tolong katakan padaku, apa kau diperlakukan dengan tidak baik di sana?" Kai menatap lekat Laura. Biasanya, Kai selalu melihat keceriaan di mata Laura, tapi kini dia terlihat seperti penuh dengan penderitaan, ada beban besar yang sedang dia sembunyikan.
"Kau pasti sangat benci padaku, kan?"
"Aku tidak akan pernah bisa benar-benar benci padamu. Aku mencintaimu, Laura dan itu tidak akan pernah berubah." Kai membawa Laura ke dalam pelukannya.
Saat lampu merah tiba, Darrel menghentikan mobilnya dan tidak menyangka akan melihat pemandangan yang bisa merusak suasana hatinya. Kai dan Laura berpelukan di tempat umum, padahal Darrel masih ingat dengan baik telah melarang mereka untuk bertemu.
"Kakak dan adik memang sama saja," gumam Darrel. Di saat bersamaaan, Kai terlihat membawa Laura pergi dengan menggandeng tangannya.
Darrel menoleh ke sampingnya, di mana sebuah paper bag hitam ada di sana. Di dalam paper bag itu ada ponsel baru yang ingin ia berikan pada Laura, tapi setelah melihat Laura pergi dengan Kai, Darrel kehilangan minat untuk memberikan ponsel itu. Darrel mengambil paper bag itu dengan kasar, kemudian ia buang lewat jendela mobilnya, dan setelahnya langsung tancap gas karena lampu sudah hijau.