Part 6 [Rahasia Darrel?]

1858 Kata
Laura baru saja mendapat kabar pemecatannya karena sudah berhari-hari ia tidak bekerja. Laura masih ingin bekerja, tapi orang tua Darrel tidak mengizinkannya melakukan itu, mereka malu jika menantu mereka terlihat bekerja sebagai bawahan di sebuah hotel yang merupakan milik salah satu rekan bisnis keluarga ini. Liam dan Anna menegaskan walau Laura hanya seorang istri pengganti, tapi statusnya secara sah adalah menantu keluarga Kim, jadi sudah tanggungjawabnya untuk tidak mempermalukan keluarga ini. Kalau diperbolehkan pun Laura tidak akan kembali ke sana karena tidak sanggup menghadapi Kai setelah apa yang terjadi. Jangankan bekerja di tempat yang sama dengan Kai, Laura bahkan tidak sanggup menatap mata Kai sekarang. Pria itu pasti sangat benci padanya, memikirkannya saja sudah membuat Laura merasa sesak. Kini, Laura hanya menghabiskan waktunya sebagai sosok istri pengganti, sekaligus objek balas dendam Darrel, di sebuah rumah mewah yang bagaikan istana yang sialnya tidak lebih dari neraka bagi Laura. Laura berharap kakaknya segera ditemukan, tapi sampai detik ini tidak ada petunjuk apapun tentang keberadaannya. Membayangkan kakaknya hidup nyaman dan bahagia bersama pria pilihannya, sedangkan ia menderita di sini membuat Laura sangat marah, tapi entah pada siapa ia harus melampiaskan kemarahannya. Cermin itu menunjukkan pantulan Laura yang lehernya penuh dengan bercak merah keunguan. Itu adalah tanda yang dibuat oleh Darrel yang tidak hanya membuat Laura malu untuk bertemu dengan orang lain, tapi juga malu melihat dirinya sendiri, Laura bahkan merasa jijik sekarang. Darrel adalah suaminya, terlepas dari bagaimana pernikahan itu tercipta, pada akhirnya Laura tidak akan bisa menyangkal fakta itu, tapi sungguh setiap kali Darrel menyentuh tubuhnya, Laura merasa seperti kehilangan dirinya sendiri dan merasa tidak berharga lagi sebagai seorang wanita. Di sisi lain, Darrel baru saja masuk ke kamarnya karena baru kembali ke kantor. Beberapa orang bertanya pada Darrel kenapa ia masih sibuk bekerja, bukannya pergi berbulan madu, dan Darrel memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan itu. "Ake dengar, kau tidak keluar dari kamar sejak pagi bahkan pelayan sampai harus membawakan makanan ke sini. Kau sedang membuat drama apa lagi?" ucap Darrel sembari melepaskan jas kerjanya, lalu melonggarkan dasinya. Laura menatap Darrel dari cermin di depannya. Pria itu selalu saja menyebutnya sedang membuat drama, padahal hidupnya bukanlah drama, ini adalah garis takdirnya yang begitu buruk. Ini adalah kenyataan yang bahkan walau dibenci sekeras apapun tidak akan pernah bisa ia singkirkan dari hidupnya. "Kau berhasil membuatku malu bahkan hanya untuk sekadar menatap mata orang lain. Lalu, apa selanjutnya?" ucap Laura tanpa mengubah posisinya. Darrel tidak tahu pasti apa yang sedang Laura bicarakan dan tidak tertarik juga untuk tahu. Bukan urusannya jika Laura malu menatap mata orang lain. "Keluar dari kamarku. Aku sedang tidak ingin melihat wajahmu di sini." Lalu, Darrel bicara dengan nada dinginnya pada Laura. Laura benar-benar malu untuk keluar, tapi enggan rasanya untuk berdebat dengan Darrel. Lagi pula, entah apa yang akan Darrel lakukan jika ia menolak untuk keluar. Laura merapikan rambut panjangnya agar bisa menutupi bercak merah di lehernya, lalu keluar dengan membawa ponselnya. *** Devian yang baru kembali dari kantor merasa prihatin melihat Laura yang saat ini sedang duduk sendirian dengan wajah yang terlihat murung. Devian tentu tahu penyebab Laura seperti ini, tapi ia tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Devian sungguh ingin membantu Laura, tapi keluarganya tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Sekarang, Devian tidak tahu harus melakukan apa. Laura duduk sembari membuka galeri di ponselnya, melihat kembali foto dirinya bersama Kai. Laura sangat ingin kembali pada momen itu, tapi sekarang semuanya telah hancur. "Semua ini karena Kakak. Aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Laura menangis ketika mengatakan ini karena melihat foto dirinya bersama Sarah. Laura tidak pernah menduga akan membenci kakaknya seperti ini, padahal dulu telah berjanji pada ibunya untuk saling menjaga satu sama lain. Devian yang mendengar hal itu langsung mendekati Laura, walau tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Devian sedih melihat Laura seperti ini dan akhirnya semua emosi yang Laura tahan selama ini meledak, Laura melempar ponselnya hingga hancur dan juga sebuah vas bunga yang di atas meja. Pelayan yang mendengar keributan itu langsung mendekat, tapi Devian memberikan isyarat agar mereka pergi saja. Devian tahu ayah dan ibunya sedang pergi ke luar untuk makan malam, jadi ini seharusnya tidak menjadi masalah besar. Laura merasa sesak menahan semua ini, tapi ketika melampiaskannya ia justru merasa menyesal. Laura tidak begitu peduli pada ponselnya, tapi sangat peduli pada vas bunga yang ia pecahkan, dan keributan yang ia buat sekarang. Ini akan menjadi masalah lagi dan karena itulah Laura merasa menyesal. "Apa yang aku lakukan? Kenapa aku melakukannya?" Laura bicara seorang diri dan masih belum menyadari kehadiran Devian yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Laura mengusap air matanya, lalu memungut pecahan vas bunga, dan sialnya tangannya justru terluka. Lihat, masalah masih saja datang ke dalam hidupnya. "Tangan sialan! Kenapa kau juga harus terluka?" Laura menggerutu kesal, kemudian dibuat kaget oleh kehadiran Devian. "Kak Devian," gumam Laura ketika Devian meraih tangannya yang terluka. "Lupakan itu. Biar pelayan yang membereskannya," ucap Devian sembari membantu Laura berdiri. "Aku minta maaf. Aku merasa menyesal karena memecahkan vas itu." "Tidak apa-apa. Sekarang, ayo obati lukamu dulu." Devian akan mengurus masalah vas itu nanti. "Tidak, Kak. Aku harus membersihkannya. Aku harus bertanggungjawab untuk setiap masalahku, bahkan termasuk masalah orang lain. Jadi, tolong lepasakn tanganku." Laura ingin kembali untul membersihkan kekacauan yang ia buat, tapi Devian menahannya. "Kau tidak harus bertanggungjawab untuk semua masalah yang terjadi. Aku bilang, lupakan tentang vas itu. Kau tidak lihat? Lukamu terus mengeluarkan darah. Ayo." Devian kembali mengajak Laura pergi mencari obat. *** Setelah tiba di Seoul, Mina belum pernah sekali pun diajak bertemu dengan Laura, sosok wanita yang begitu Kai cintai. Mina berhasil luluh dan melupakan sosok wanita pilihannya yang merupakan anak dari teman lamanya, tapi sekarang Kai malah bertingkah seperti ini. Kai bahkan tidak pernah sekali pun membahas Laura lagi setelah sempat tidak bisa dikabari di hari pertamanya tiba di Seoul. Saat ditanya, Kai hanya mengatakan malam itu menghabiskan waktu dengan temannya dan sama sekali tidak menyinggung Laura. Sikap Kai juga mulai berubah akhir-akhir ini. Kai bekerja di sebuah hotel besar, pada bagian administrasi dan keuangan. Mina pikir, pekerjaan itu membuatnya lelah dan dia mungkin agak stres belakangan ini, karena itulah sikapnya agak berubah. Hal seperti itu membuat Mina jauh lebih khawatir. "Kai, apa kau minum lagi?" Mina bertanya pada Kai yang baru saja pulang. Ini juga kebiasaan buruk Kai akhir-akhir ini, yaitu dia menjadi lebih sering minum dari biasanya. "Sedikit. Kenapa Ibu belum tidur? Ini sudah larut malam. Bagaimana jika Ibu sakit lagi?" aroma minuman beralkohol tercium dengan jelas ketika Kai bicara. "Ini tidak baik untuk kesehatanmu. Ada apa denganmu? Jika kau ada masalah, kau bisa ceritakan pada ibu, jangan melampiaskannya pada hal tidak berguna seperti itu," ucap Mina dengan wajah khawatirnya. "Aku baik-baik saja, Ibu." Kai tidak pernah ingin membuat ibunya khawatir, tapi ia sedang tidak ingin bercerita apapun sekarang. "Lalu, di mana Laura? Kenapa kau tidak mempertemukan ibu dengannya? Kau bahkan tidak pernah membahasnya lagi." "Dia sibuk, Ibu, jadi kita akan bertemu dengannya lain kali. Aku lelah dan ingin istirahat. Selamat malam." Kai pergi ke kamarnya. Kai bahkan tidak sanggup mengatakan apa yang telah Laura lakukan padanya, lalu bagaimana bisa mempertemukan ibunya dengan Laura? Kai tidak percaya akan mulai memupuk kebohongan pada ibunya sendiri. Mina hanya diam dan menatap Kai yang pergi meninggalkannya. Biasanya, Kai selalu bersemangat dan bahagia ketika membicarakannya Laura, tapi sekarang, Kai tidak terlihat seperti itu lagi. Mina menjadi berpikir, apa hubungan Kai dan Laura memburuk? Tapi, apa yang terjadi pada mereka? *** Ini sudah larut malam, tepatnya pukul 01.35 malam dan Laura belum juga tidur. Darrel mengunci pintu kamar, jadi Laura tidak bisa tidur di sana. Sebenarnya, Laura senang saja jika tidak satu kamar dengan Darrel, tapi ia merasa tidak enak untuk mengatakan pada pelayan untuk menyiapkan kamar lain untuknya. Laura hanya terlalu malas untuk disebut membuat drama jika diketahui oleh Liam dan Anna. Maka Laura hanya bisa berbaring di sofa di ruang keluarga. Tentang masalah vas tadi, Devian menyelesaikan semua itu dengan caranya sendiri. Ketika ibunya bertanya ke mana vas cantik miliknya, Devian langsung mengatakan tidak sengaja menjatuhkannya dan yang Laura lihat tidak ada pelayan yang mengungkit apa yang ia lakukan. Karena Devian mengakui kesalahan yang ia perbuat, maka tidak ada yang marah bahkan jika yang pecah adalah barang yang mahal. Laura pikir, Devian melakukan itu pasti karena kasihan padanya. Mendapatkan ha seperti itu dari Devian membuat Laura tidak merasa lebih baik, melainkan lebih buruk. Laura menyadari bahwa hidupnya begitu buruk sekarang hingga membutuhkan belas kasihan dari orang lain. "Kenapa kau tidur di sini?" seseorang bertanya pada Laura. Laura menoleh pada orang itu dan dia adalah Devian. Laura sempat memejamkan mata tadi, jadi tidak tahu kalau Devian ada di sini. Laura mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap Devian yang entah kenapa ada di sini. "Sebenarnya, Darrel mengunci pintu kamar, jadi aku tidak bisa tidur di sana. Tapi itu bukanlah hal yang buruk. Aku senang jika bisa jauh darinya." Laura bicara dengan jujur pada Devian. Devian pikir juga begitu, lebih baik bagi Laura jika jauh dari Darrel, tapi seharusnya Laura mengatakan itu lebih awal agar bisa disiapkan kamar yang lain. "Ada kamar kosong yang bisa kau gunakan sekarang juga. Ayo, aku akan mengantarmu ke sana." "Kenapa tidak bawa ke kamar Kakak saja? Itu akan lebih nyaman untuknya." Tapi sebelum Laura sempat bicara seseorang sudah lebih dulu membalas ucapan Devian. Orang itu adalah Darrel. Sulit bagi Darrel untuk tidur nyenyak akhir-akhir ini dan karena itulah ia ingin mencari udara segar, tapi malah melihat kakaknya yang begitu asik mengobrol dengan Laura bahkan sampai menawarkan kamar kosong. "Jaga ucapanmu, Darrel," ucap Devian. "Jika kakaknya saja bisa pergi dengan mudahnya bersama pria lain, maka sifat adiknya tidak akan jauh dari kakaknya. Aku benar, kan?" balas Darrel sembari menatap lekat Laura yang saat ini sudah berdiri di sebelah Devian. "Darrel, ada apa denganmu? Kau tidak bisa melampiaskan semua kemarahanmu pada Laura." "Kenapa tidak bisa? Aku bisa melakukan apapun yang aku mau." Lagi-lagi, Darrel membalas Devian dengan sangat cepat. "Ya, orang sepertimu memang bisa melakukan apapun, kan? Kau sudah kehilangan akal sehatmu!" Laura ingin pergi setelah mengatakan ini, tapi Darrel dengan cepat meraih tangannya. "Berani sekali kau menyebutku kehilangan akal sehat. Tapi, apa kau ingin melihat bagaimana seseorang jika benar-benar kehilangan akal sehatnya? Ayo, akan aku tunjukkan padamu." Darrel pun menyeret Laura untuk ikut dengannya. "Apa yang kau lakukan? Berhentilah kasar padanya!" bentak Devian sembari membantu Laura lepas dari Darrel. "Jangan ikut campur, Kakak. Aku tidak akan melakukan hal yang berbahaya padanya!" Darrel mendorong Devian menjauh dan masih terus menyeret Laura. Darrel membawa Laura ke kamar, kemudian mengunci pintu. Darrel kini mendorong Laura hingga punggungnya membentur tembok dan dengan cepat Darrel mencengkeram dagu wanita malang itu. "Jangan berani mencari perhatian pada Kakakku lagi, karena kau tidak pantas untuk semua itu," ucap "Kau tahu apa yang pantas untukmu?" Darrel kini menatap piyama yang Laura gunakan, kemudian dengan gerakan cepat membuka piyama itu secara paksa hingga membuat kancingnya terlepas. "Aku akan tunjukkan apa yang pantas kau dapatkan!" Darrel menekankan kalimatnya, setelah itu mendorong Laura ke tempat tidur. Laura tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa Darrel selalu menyentuhnya? Bukankah pria itu benci padanya? Tapi, kenapa masih saja berhubungan seperti ini dengannya? Laura sungguh tidak mengerti karena jika ia membenci seseorang, maka jangankan tidur bersamanya, melihat wajah orang itu saja sudah memuakkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN