8. PANGGILAN TELEPON

1430 Kata
Naka berdeham ketika sekretarisnya menghampiri dengan wajah panik. “Saya terlambat bangun.” “Pak Naka!” “Kenapa? Kamu mau marah? Oh atau mau melapor kepada papa saya?” Andrea menghela napas mendengar pertanyaan Naka. Ia tidak habis pikir kenapa Naka memasang wajah kesal dengan nada bicara meninggi. Bahkan menuduhnya dengan tuduhan tidak mendasar. Padahal sudah jelas kalau laki-laki di hadapannya ini sudah membuat masalah tetapi malah bersikap keras. “Pak Naka salah kalau menuduh saya melapor kepada Pak Dirja. Ada yang lebih berhak melakukannya yaitu Pak Suta.” Laki-laki itu nampak canggung lalu mengalihkan dengan membenarkan posisi dasinya. “Bagaimana meeting-nya?” “Meeting ditunda dan dijadwalkan ulang yaitu besok,” jawab Andrea. “Apa Pak Naka tidak berutang penjelasan kepada saya kenapa anda bisa terlambat bangun?” “Memangnya kamu siapa sampai membuat saya harus merasa seperti itu?” tanya Naka dengan arogan. Andrea menghela napas, menahan emosi yang sudah ada di ubun-ubun. “Pak, saya yang harus menghadapi Pak Suta serta para kepala divisi karena Pak Naka tidak datang tanpa alasan. Hape Pak Naka tidak aktif dan saya sampai bingung harus memberikan penjelasan seperti apa.” Naka tidak langsung menjawab. Laki-laki itu membuka pintu lalu masuk ke ruangannya. Begitu sampai, tubuhnya dijatuhkan pada kursi kerja di sana. Dan tentu saja Andrea mengikuti dari belakang. “Pak Naka?” “Semalam saya mabuk dan itu sebabnya saya terlambat bangun. Kepala saya pusing, jadi tidak sempat memberi kabar,” jelas Naka. “Ya Tuhan,” gumam Andrea. “Saran saya, kalau besok hari ada kegiatan penting, sebaiknya jangan minum sampai mabuk.” “Memangnya kamu siapa, berani memerintah saya seperti itu?” tanya Naka dengan nada tinggi dan wajah menegang. “Kamu Cuma sekretaris saya. Jadi jangan ikut campur mengenai apa yang saya lakukan apalagi ini menyangkut hal pribadi saya.” “Saya tahu tapi hal pribadi yang Bapak lakukan, mempengaruhi pekerjaan. Ada waktu orang yang terbuang karena menunggu Pak Naka. Jadi maaf saja kalau saya sedikit ikut campur karena ini demi kebaikan Pak Naka,” balas Andrea berani. Ini kali pertama Andrea membalas argumen Naka. Ia tidak tahan dengan sikap Naka dan ingin mengungkapkan isi pikirannya. Apalagi sikap semena-mena Naka akan mempengaruhi reputasinya di hotel dan Andrea tidak mau itu terjadi. Sekuat apa pun ia membantu, jika Naka tidak mengimbangi, maka semuanya akan percuma. “Kamu mulai berani ya? Kemarin-kemarin kamu sangat irit bicara dan penurut. Apa kamu dapat dukungan dari papa saya agar bersikap tanpa rasa takut?” tanya Naka sinis. Andrea menghela napas, lalu menggeleng. “Apa yang saya katakan, demi kebaikan Pak Naka. Demi agar mereka tahu kalau Pak Dirja dan Pak Suta tidak salah memilih anda sebagai Assistant General Manager.” “Dan dengan begitu, nama kamu juga akan semakin baik karena berhasil membantu saya, begitu?” “Pak Naka, sepertinya perdebatan ini harus diakhiri. Maafkan saya kalau terlalu ikut campur dan berujung membuat anda marah. Saya sudah mengatakan pendapat saya. Dan satu lagi, Pak Suta berpesan jika anda sudah datang, diminta menghadap ke ruangan beliau,” jelas Andrea sebelum pergi. Naka beranjak dari duduknya, lalu berjalan mendekati Andrea. Laki-laki itu mengikis jarak hingga wajahnya tepat berada di depan wajah Andrea. “Sekali lagi saya ingatkan, jangan melewati batas hanya karena kamu kepercayaan papa saya. Kamu tidak ada apa-apanya di mata saya.” “Saya hanya melakukan tugas saya, Pak Naka,” ucap Andrea sambil membalas tatapan tajam dari Naka. Setelah berdebat dengan atasannya, Andrea langsung keluar dari ruangan yang suasananya terasa panas. Wanita itu memejamkan mata, menarik napas, lalu menghelanya panjang. Andrea tidak menyangka akan melontarkan kata-kata yang selama ini bersarang di kepalanya. Ia tidak tahan lagi jika harus menahan diri dan membiarkan Naka melakukan tindakan sesuka hati. Meski ada sedikit penyesalan di akhir karena seharusnya ia tidak perlu mencampuri apa yang dilakukan Naka. “Kalau dipikir-pikir, sikapnya memang aneh. Dia sudah cukup dewasa dan bahkan sudah punya pengalaman kerja. Tapi kenapa sikapnya seperti ini, padahal dia bekerja di hotel milik keluarganya?” *** Di ruangan Suta, kini Naka sedang berhadapan dengan kakaknya. Laki-laki itu nampak tenang meski ditatap oleh Suta. Sesuai pesan yang disampaikan oleh sekretarisnya, Naka segera menemui sang kakak untuk memberikan penjelasan. “Kamu nggak mau kasih penjelasan kepada Masmu ini?” tanya Suta setelah menunggu Naka yang tidak kunjung bicara. “Mas marah dan kecewa, kan?” “Kamu jelasin dulu kenapa datang terlambat padahal ada meeting. Apa kamu sakit atau terjadi hal buruk?” Naka menghela napas pelan. “Aku ke klub dan mabuk.” “Bukannya kamu banyak kerjaan, kenapa masih sempat ke klub?” tanya Suta dengan pembawaan tenang. “Aku capek, jadi butuh hiburan.” “Capek karena pekerjaan atau karena kamu tersiksa di sini?” “Mas tahu sendiri jawabannya,” jawab Naka tanpa semangat. Suta menghela napas, lalu mendorong tubuhnya agar mendekat dengan sang adik. “Mau sampai kapan menghindar untuk pulang dan tinggal di Bali?” “Aku sudah nyaman di Australia, Mas.” “Tapi aku juga butuh kamu untuk menjalankan hotel ini, Naka. Bagaimanapun, Autumn ini juga punya kamu. Ayolah, jangan egois dan mengorbankan orang lain. Kamu sudah dewasa, bersikap lapanglah atas apa yang terjadi di masa lalu. Kamu harus melanjutkan hidup dengan baik dan terima semua kenyataan,” jelas Suta yang berusaha membuat adiknya mengerti. Salah satu sudut bibir Naka terangkat dan menampakkan senyum miris. “Mas nggak tahu gimana sulitnya jadi aku.” “Apa aku harus mengalami hal yang sama supaya kamu percaya kalau aku juga terluka atas apa yang terjadi?” Mendengar pertanyaan tersebut, membuat Naka membalas tatapan mata kakaknya. “Maaf atas kekacauan yang terjadi. Besok meeting pasti berjalan lancar.” “Kamu harus minta maaf pada yang lain karena tadi Andrea yang terus meminta maaf atas kesalahan kamu.” “Sudah sepantasnya begitu, dia sekretarisku. Dan aku yakin, sebentar lagi papa pasti akan menelpon karena Andrea mengadu,” ucap Naka sinis. “Aku yang akan mengadu, bukan Andrea. Jangan berburuk sangka sama dia karena Andrea tidak pernah melakukan itu.” “Kenapa semua orang membela Andrea?” “Tidak ada yang membela tapi mengatakan yang sebenarnya. Aku sendiri kasihan sama dia karena kamu terus melampiaskan kekesalan kepadanya.” Kening Naka mengkerut atas apa yang Suta katakan. “Dia ngadu ke Mas Suta?” Suta menggeleng sambil tersenyum. “Aku sendiri pernah lihat kamu marah sama dia perkara kopi. Padahal masalahnya bukan ada pada kopi, tapi kamu yang sedang berusaha mencari masalah.” Tidak ingin disudutkan terus menerus, Naka memutuskan untuk meninggalkan ruangan kakaknya. “Aku pergi dulu. Aku harus kerja, seperti yang Papa dan Mas Suta mau.” Melihat adiknya pergi dengan wajah merengut, hanya ditanggapi gelengan oleh Suta. “Dasar keras kepala. Mau sampai kapan kamu hidup begini?” *** Andrea sudah selesai dengan pekerjaannya. Bahkan jadwal untuk besok sudah diberikan kepada Naka. Ia ingin pulang tepat waktu mengingat sudah tidak ada pekerjaan yang membuatnya harus lembur. Tubuhnya sudah menunjukkan tanda-tanda lelah karena terus menerus pulang malam. Selain itu, bukan hanya fisiknya yang lelah, tapi batinnya juga karena sikap Naka. “Pak Naka, saya pulang dulu. Apa ada yang Bapak butuhkan?” Naka tidak mengalihkan pandangan dari layar laptop di hadapannya. “Tidak ada. Silakan pulang.” “Baiklah. Permisi Pak.” Sesampainya di rumah dan beristirahat singkat, Andrea pergi ke dapur untuk masak. Ia ingat ada bahan makanan yang dibelikan oleh ibu tirinya dan sayang jika tidak olah. Sudah beberapa hari tidak melakukan rutinitas ini karena terus pulang malam dan berujung memesan makanan dari luar. Meski praktis tapi Andrea lebih suka menu buatannya sendiri. Selesai menumis sayur pakcoy berisi daging ayam cincang, kini Andrea duduk di meja makan. Ia menatap makanan di hadapannya. Sayur yang dibelikan oleh Laila adalah sayur kesukaannya. Dan ia tidak menyangka kalau wanita itu masih mengingatnya. “Terima kasih karena terus berusaha memperbaiki semuanya,” gumam Andrea lalu menyantap menu makan malam buatannya. Setelah perut terisi, lalu Andrea pergi mandi. Membersihkan diri adalah ritual yang sangat Andrea senangi. Tubuhnya terasa segar dan otot yang kaku juga menjadi rileks. Andrea keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe dan handuk di kepala. Ia pergi ke kamar untuk mengenakan piyama. Saat tangannya membuka lemari pakaian, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas kasur berdering panjang. Andrea sempat terkejut akan suara ponsel miliknya sendiri. Bagaimana tidak terkejut, mengingat selama ini Andrea selalu melewatkan malam tanpa pernah ada yang menghubungi, kecuali ayahnya. Tetapi ayahnya sangat jarang menelpon semalam ini. Andrea segera mengarahkan pandangan matanya ke layar ponsel. Keningnya langsung mengkerut ketika melihat nama yang muncul. Sosok yang tidak terduga tengah melakukan panggilan ke nomor telepon miliknya. “Pak Naka?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN