Pagi sekali Andrea sudah bangun dari tidurnya karena ia ingat kalau mobilnya sedang ditinggal di hotel. Hal ini dilakukan agar bisa mendapatkan ojek atau taksi online lebih cepat dan sampai hotel tepat waktu. Apalagi hari ini ada meeting di pagi dan ia tidak mau terjadi kekacauan karena kecerobohannya. Yang paling penting, terhindar dari amukan Naka yang membuat suasana hati menjadi buruk.
Andrea menyesap kopi buatannya sambil menghirup udara Bali dengan suasana masih remang. Suara burung terdengar jelas karena komplek perumahan yang ditinggali, masih terdapat kebun meski tidak luas. Andrea benar-benar menyukai tempat tinggalnya ini. Rumah yang ia tempati sejak berpisah dengan suaminya, untuk memulai hidup baru dan melupakan masa lalu.
Setelah puas menikmati udara pagi, Andrea berniat masuk untuk bersiap-siap. Tetapi suara mobil berhenti di depan gerbang rumahnya membuat wanita itu menunda niatnya. Andrea mendongak, mencoba melihat dari dalam rumah, siapa yang datang pagi-pagi sekali. Belum selesai niatnya, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar. Dan Andrea langsung mengenali siapa pemilik suara tersebut.
“Tunggu sebentar,” ucap Andrea sambil berjalan ke pintu gerbang.
Saat pintu pagar dibuka, sosok wanita paruh baya berdiri dengan senyum teduhnya. Tangannya membawa tas belanja dengan beberapa isi di dalamnya.
“Ternyata kamu sudah bangun.”
“Tante?”
Wanita yang dipanggil tante oleh Andrea, mengulas senyum. “Boleh masuk? Atau kamu sedang buru-buru?”
“Aku memang buru-buru. Tapi silakan masuk.”
Andrea membiarkan tamunya masuk lebih dulu. Mempersilakan duduk sambil membawa beberapa kantong belanja. Dari luar terlihat beberapa sayur menyembul dari dalam kantong, menandakan orang tersebut habis belanja.
“Ada apa Tante? Tumben pagi-pagi ke sini?”
“Tante dari pasar dan sengaja lewat sini karena mau bawa makanan untuk kamu. Kalau ke sini sore hari, kamu pasti belum pulang dari hotel.”
“Tante Laila nggak perlu repot-repot.”
Wanita bernama Laila itu menyerahkan sebuah kantong plastik berukuran cukup besar. “Sudah lama Tante nggak nengok kamu. Kamu juga jarang ke rumah. Jadi biar Tante yang ke sini, bawa buah dan bahan-bahan untuk kamu masak. Tante juga beli nasi campur kesukaan kamu. Bisa dimakan untuk sarapan atau makan siang. Tenang saja, Tante sudah pisahkan lauk yang mungkin cepat basi.”
Melihat bagaimana perhatian ibu tirinya, membuat Andrea tidak enak hati. “Kenapa harus repot-repot? Harusnya Tante nggak perlu begini. Aku bisa belanja sendiri kok.”
Laila tersenyum sambil menyentuh tangan Andrea. “Sampai kapan pun, Tante nggak akan bisa menggantikan posisi mama kamu. Tapi biarin Tante kasih perhatian layaknya ibu kepada anaknya. Apa yang Tante lakukan sama sekali nggak merepotkan, Andrea.”
Andrea menghela napas, lalu semua pemberian Laila diterima. “Kalau begitu terima kasih, Tan.”
“Sama-sama,” jawab Laila. “Kamu berangkat jam berapa?”
“Sebentar lagi. Mau siap-siap dulu.”
“Kamu bawa mobil? Tapi di garasi kok kosong?”
“Mobilku di hotel karena semalam bannya bocor. Jadi aku pulang naik ojek online dan sekarang juga sama.”
“Andrea, kalau kamu butuh bantuan, bisa telpon papa kamu. Apalagi pulang malam, kamu harus hati-hati.”
“Iya, aku tahu dan aku bisa jaga diri,” jawab Andrea. “Hhmm, gimana kabarnya papa?”
“Baik dan dia kangen sama kamu.”
“Aku sudah bilang kalau lagi sibuk jadi belum bisa nengok.”
Laila mengangguk. “Kami tahu itu. Tapi seperti biasa, papa kamu selalu merindukan putrinya.”
“Kalau kerjaanku sudah longgar, aku usahakan ke rumah,” ucap Andrea. Wajahnya nampak ragu untuk kembali bicara.
Melihat gerak-gerik Andrea, menarik rasa penasaran Laila. “Ada apa? Kamu mau ngomong sesuatu?”
“Lizzy sudah pulang ke Bali?”
Laila mengangguk dengan senyum tipis. “Sudah beberapa waktu lalu tapi kami belum sempat bertemu. Kenapa Re?”
Andrea menggeleng. “Enggak. Sempat lihat sekilas dan aku pikir salah orang.”
“Katanya sekarang dia bantu usaha kakeknya. Jadi itu alasannya pulang.”
“Oh begitu,” gumam Andrea. “Maaf Tante, bukan maksudku ngusir Tante tapi aku harus siap-siap sekarang.”
“Ya ampun, Tante sampai lupa. Kalau begitu Tante pulang sekarang.” Laila langsung beranjak dari duduknya. “Jangan lupa buah dan bahan makanannya disimpan di kulkas biar nggak busuk. Nasi campurnya juga dimakan ya.”
“Iya. Biar saya pesankan taksi untuk pulang,” ucap Andrea kepada ibu tirinya.
Setelah kepulangan ibu tirinya, Andrea menatap kantong berisi bahan makanan yang tergeletak di atas meja. Sejak resmi menikah dengan ayahnya, sikap Laila sangat baik. Meski sekalipun Andrea memanggil ibu, tapi perlakuannya selalu baik. terlepas semua yang terjadi, ia memang tidak pernah bisa bersikap buruk pada Laila. Apalagi saat tahu kalau ayahnya bahagia menikahi wanita itu.
Andrea menghela napas pelan, lalu mulai merapikan kantong plastik di atas meja makan. “Sikapnya sulit sekali buat aku benci Tante Laila.”
***
Andrea sudah berada di ruang meeting, yang akan dihadiri oleh kepala divisi serta general manager. Waktu sudah menunjukkan jam setengah sembilan dan meeting dimulai jam sembilan. Wajah wanita itu nampak cemas karena Naka belum juga menunjukkan batah hidungnya.
“Gimana sekarang? Hape-nya juga nggak bisa dihubungi. Sebenarnya Pak Naka di mana?”
Sambil berdiri dengan gelisah di depan ruang meeting, Andrea terus berusaha menghubungi Naka, namun hasilnya masih nihil. Sedangkan orang-orang sudah mulai berdatangan untuk persiapan meeting.
“Mbak, Pak Suta sudah jalan ke sini?” tanya Andrea kepada sekretaris general manager.
Komang mengangguk. “Barusan sudah jalan tapi berhenti karena masih ada telpon dan aku disuruh duluan. Kenapa? Kok kamu kelihatan cemas, Re?”
“Pak Naka belum datang Mbak. Sudah aku telpon dari tadi tapi hape-nya nggak aktif. Aku lagi bingung banget, nggak tahu harus ngomong apa sama Pak Suta.”
“Serius?”
“Buat apa aku bercanda, Mbak.”
“Ya ampun, gimana dong. Sebentar lagi meeting dimulai, kan?”
Andrea mengangguk dengan wajah panik dan cemas. “Aku juga nggak tahu harus gimana. Kasih alasan apa atas ketidakhadiran Pak Naka.”
“Begini saja, tunggu bagaimana reaksi Pak Suta. Kamu jangan takut, toh ini bukan salah kamu.”
Apa yang dikatakan oleh Komang memang benar. Sikap Naka di luar kendalinya. Tetapi Andrea masih ingin menjaga nama baik atasannya, sesuai dengan janjinya.
“Iya Mbak. Aku juga nggak bisa bohong atau cari alasan di hadapan Pak Suta.”
Komang menyentuh lengan Andrea. “Kita sudah tahu bagaimana Pak Naka jadi nggak mungkin Pak Suta menyalahkan kamu.”
“Iya Mbak.”
“Aku masuk dulu ya.”
Setelah Komang pergi, Andrea menghela napas pelan sambil terus melihat ponselnya. “Kalau sampai meeting dimulai Pak Naka belum juga datang, bisa-bisa masalah ini sampai ke telinga Pak Dirja. Aku nggak mungkin melapor, tapi bisa saja Pak Suta yang akan melakukannya. Seperti waktu itu, mungkin?”
“Andrea?”
“Pak Suta.” Andrea berusaha tenang di situasi yang tidak menguntungkan ini.
“Kenapa di sini? Meeting mau dimulai, kan?”
“Saya masih nunggu Pak Naka datang.”
Kedua mata Suta menyipit, lalu melihat jam yang melingkar di tangan. “Naka belum datang? Kenapa dia terlambat padahal ada meeting?”
“Maaf Pak. Saya sudah hubungi tapi hape-nya Pak Naka tidak aktif.”
“Ya Tuhan. Anak ini masih saja berusaha mencari gara-gara dan kembali berulah,” keluh Suta.
“Mencari gara-gara? Maksud Pak Suta?”
Suta menghela napas pelan. “Kita tunggu saja di dalam. Kalau selama 30 menit Naka belum datang, kita coba agendakan ulang meeting hari ini.”
Andrea mengangguk. “Baik Pak.”
Waktu yang diberikan oleh Suta berlalu tanpa kemunculan Naka. Andrea terus meminta maaf karena masalah ini. Kini wanita itu duduk di kursi kerja, menunggu kabar dari bosnya. Suta meminta meeting dilakukan besok dan jika Naka sudah datang, diminta menghadap ke Suta. Cemas dan kesal menjadi satu, itu yang Andrea rasakan saat ini.
“Sebenarnya dia kenapa? Dan apa maksud Pak Suta kalau Naka sedang mencari gara-gara?”
Suara derap langkah membuyarkan lamunan Andrea. Kepalanya mendongak untuk melihat siapa yang datang. Ternyata orang yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul. Wajah Naka nampak kusut dan tidak segar. Bahkan langkahnya lemas dan tanpa semangat.
“Pak Naka?” Andrea beranjak dari kursi kerjanya lalu menghampiri sang atasan. “Bapak kenapa baru datang?”