6. KACAU

1495 Kata
Naka mendorong tubuhnya ke belakang, lalu bersandar pada sandaran kursi. Tangannya memijat kening yang berdenyut nyeri. Bersama dengan Andrea, akhirnya ia bisa menyelesaikan materi presentasi untuk meeting besok. Satu minggu berlalu dengan sangat melelahkan dan memuakkan bagi seorang Bayanaka. “Rasanya aku ingin menghilang,” gumamnya putus asa. Ketika Naka sedang menutup mata untuk mengurai rasa lelahnya, suara ketukan pintu membuatnya matanya terbuka. Sosok Andrea muncul dengan wajah yang kusut dan lelah. “Ada apa?” tanya Naka sinis. “Pak Naka, kalau memang sudah selesai, saya izin pulang sekarang.” “Ya.” Andrea mengangguk canggung. “Kalau begitu saya permisi pulang, Pak. Sampai bertemu besok.” Tidak ada jawaban dari Naka karena laki-laki itu kembali menutup matanya. Seakan keberadaan Andrea tidak berarti apa-apa, dibiarkan pergi tanpa ucapan terima kasih karena sudah melakukan tugas dengan baik. Naka memang sulit untuk berbasa-basi, bahkan dengan sekretarisnya yang selalu ada disaat sulit dalam bekerja. Beberapa saat setelah Andrea pergi, Naka pun membereskan laptop yang masih menyala. Ia juga harus pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul nyaris jam 10 malam. Sesampainya di tempat parkir mobil, Naka melihat pemandangan yang tidak biasa. Ia melihat Andrea tengah berjongkok di samping mobil berwarna putih. Kening Naka mengkerut melihat sikap aneh sekretarisnya, yang harusnya sudah pulang lebih dulu. “Kamu sedang apa?” Andrea nyaris terjungkal karena kaget. “Pak Naka?” “Saya tanya, kamu sedang apa?” “Oh? Ban mobil saya bocor, Pak. Tapi saya tidak bisa ganti. Jadi saya berencana pulang naik ojek online saja.” Naka mengangguk santai. “Oh.” Setelah tahu apa yang terjadi, laki-laki itu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Jika kebanyakan laki-laki akan menawarkan bantuan atau merasa iba melihat wanita kesusahan, hal itu tidak berlaku bagi seorang Naka. Sikapnya ini membuat Andrea menghela napas sambil tersenyum kecut. “Kalau sama Lizzy, apa sikapnya akan sama seperti ini?” *** Mobil yang dikemudikan oleh Naka menembus padatnya jalan di daerah Seminyak. Meninggalkan Autumn dengan rasa lelah karena pekerjaan, membuatnya tidak ingin pulang ke rumah. Namun tiba-tiba Naka kembali ingat dengan sekretarisnya yang ia tinggalkan begitu saja di hotel. “Apa aku terlalu kejam? Atau harusnya aku menawarkan bantuan?” tanyanya pada diri sendiri. Sedetik kemudian laki-laki itu menggeleng. “Buat apa aku peduli soal wanita itu? Buang-buang waktu saja.” Pada akhirnya mobil Naka berakhir di sebuah klub malam yang terkenal di Bali. Begitu masuk, Naka disambut pemandangan yang cukup ramai. Suara musik menggema dengan orang-orang yang sedang menikmati waktu malam di sana. Naka sendiri tidak ingin bergabung dan hanya ingin menikmati minuman. Tidak peduli seberapa banyak wanita menatap nakal dan berusaha mendekat, Naka memilih duduk di kursi dekat meja bar. Setelah memesan minuman dan membayar, Naka mengambil ponselnya. Naka menempelkan benda pipih itu ke telinganya. “Kamu bisa datang ke tempat biasa?” Begitu pembicaraan selesai, Naka kembali menyimpan ponselnya. Tangannya meraih gelas berisi minuman, lalu menenggaknya tanpa ragu hingga tandas. Ekspresi wajahnya menunjukkan betapa kuat kadar alkohol yang terkandung pada minuman tersebut. “Hai, maaf nunggu lama.” Naka tersenyum tipis melihat kedatangan Lizzy. “Kamu sibuk?” “Nggak dong. Ini sudah malam, mana mungkin aku sibuk.” Lizzy mengambil tempat di sebelah Naka. “Aku nggak minum dulu ya, soalnya aku habis minum obat sakit kepala.” “Kamu sakit?” Lizzy menggeleng. “Biasa karena kerjaan.” “Oh …” “Kamu baru pulang dari hotel?” “Iya. Entah kenapa pekerjaanku nggak pernah habis. Pusing kepalaku mikirin semuanya.” Tangan Lizzy terangkat, lalu mengusap pelan pundak Naka. “Sabar ya. Pasti ini terasa berat?” “Bukan masalah berat karena pekerjaan tapi aku belum bisa menyesuaikan diri. Kamu tahu aku malas pulang ke Bali.” Melihat kegundahan di wajah Naka, membuat Lizzy merangkum wajah laki-laki itu dengan kedua tangannya. Kini mereka saling menatap dan Lizzy memberi senyum manis kepada Naka. “Kamu tenang saja. Ada aku yang akan selalu menemani dan menghibur kamu.” Satu sudut bibir Naka terangkat, lalu meneguk kembali minuman di gelas. “Thanks. Kamu memang paling paham apa yang aku rasakan.” Dipuji demikian tentu membuat wajah Lizzy kembali berseri-seri. “Oh iya, kamu ngeluh sama banyak kerjaan, memangnya sekretaris kamu nggak membantu?” tanya Lizzy dengan hati-hati. Naka mengangguk. “Dia melakukan tugas dengan baik. Padahal sudah aku marahi dan aku beri sikap kasar, tapi dia tetap bekerja tanpa lelah. Aku heran, apa dia tidak punya hati atau perasaan. Memangnya tidak kesal kalau aku bentak-bentak?” Mendengar penuturan Naka membuat Lizzy terdiam dengan pikiran tertuju pada Andrea. Sedikit banyak ia tahu bagaimana sifat dari kakak tirinya. Meski tinggal terpisah, terkadang ibunya memberitahu bagaimana teguhnya seorang Andrea. “Kamu serius marah-marah sama dia?” “Tentu saja. Dan aku yakin, dia pasti mengadu pada orang tuaku,” jawab Naka santai. Lizzy tersenyum. “Kamu nggak perlu mikirin dia. Kalau dia enggak kuat karena tekanan dari kamu, biar saja dia mengundurkan diri.” Naka menoleh, lalu menatap Lizzy. “Sepertinya dia bukan orang yang mudah menyerah.” “Memang tapi …” “Sudahlah, jangan membahas Andrea. Aku lagi bosan membahas sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Aku mau tenang, Zy.” “Baiklah. Terserah kamu mau bahas apa. Aku pasti temani,” ucap Lizzy sambil meneguk pelan minuman tanpa alkohol. Beberapa jam berlalu dan kondisi Naka sudah tidak stabil. Laki-laki itu minum cukup banyak dan bicaranya sudah tidak jelas. Jika terus di sana, maka Naka tidak akan sadarkan diri. “Kita pulang ya.” “Aku masih mau di sini,” ucap Naka dengan nada khas orang mabuk. Lizzy menghela napas. “Sudah cukup Naka. Biar aku minta tolong security bantu bawa kamu ke mobil.” Dalam keadaan lemas dan nyaris tidak sadarkan diri, akhirnya Naka berhasil dibawa ke dalam mobil. Lizzy duduk di bangku kemudi mobil milik Naka. Wanita itu sengaja tidak membawa mobil karena berharap Naka yang akan mengantarkan pulang. Tetapi pada akhirnya laki-laki itu justru mabuk berat. “Semoga aku masih ingat alamat rumah kamu,” gumam Lizzy sambil mengemudi. Dalam waktu 20 menit, mobil yang dikendarai Lizzy akhirnya sampai di rumah Naka. Bangunan bergaya vila khas Bali, menjadi tempat tinggal laki-laki itu. Lizzy segera mencari keberadaan kunci rumah agar bisa masuk. “Kunci rumahnya kamu taruh di mana sih, Naka?” Setelah merogoh kantong pakaian Naka, akhirnya benda itu ditemukan. Kini waktunya Lizzy membawa tubuh tinggi tegap Naka ke dalam rumah. “Astaga Naka! Kamu berat sekali.” Lizzy menjatuhkan tubuh Naka di atas sofa ruang tamu. Napas wanita itu nampak terengah-engah. Butuh tenaga ekstra agar bisa membawa Naka yang nyaris tidak sadarkan diri. “Air …aku mau air,” gumam Naka. “Air?” Lizzy beranjak dari sofa. “Tunggu, biar aku ambilkan.” Tidak lama Lizzy membawa segelas air untuk Naka. Ia membantu laki-laki itu bangun untuk minum air. “Ayo minum dulu pelan-pelan.” Dengan mata setengah terbuka, Naka mengikuti apa yang diperintahkan Lizzy. Karena kurang hati-hati membuat Naka tersedak dan batuk. “Ya ampun, pelan-pelan dong.” Hati-hati sekali Lizzy membersihkan bibir Naka yang basah karena air. Disaat yang bersamaan, Naka menatap Lizzy dengan sangat intens. Tatapan penuh arti yang sudah lama tidak diberikan kepada seorang wanita. Hal ini pun disadari oleh Lizzy. “Kenapa Naka?” tanya Lizzy gugup. Tangan Naka terangkat, mengusap pelan wajah Lizzy. “Aku rindu kamu. Kenapa lama sekali tidak muncul? Kamu ke mana saja?” Diperlakukan penuh perhatian oleh Naka membuat wajah Lizzy memerah. “Aku nggak pernah ke mana-mana, Naka. Harusnya kamu bilang kalau kamu rindu aku.” Tanpa menjawab Naka langsung menyambar bibir Lizzy lalu menciumnya dengan penuh gairah. Seperti menumpahkan segala rasa rindu yang lama terpendam. Namun tanpa Naka sadari kalau yang ia rindukan bukan Lizzy tapi wanita lain. “Naka …,” ucap Lizzy ketika laki-laki itu mencium lehernya. Suara lirih Lizzy membuat Naka diam dan menghentikan aktivitasnya. Naka menatap wajah Lizzy dengan seksama. Tidak lama kedua matanya membulat, lalu menjauh dari Lzzy. Dengan keadaan tidak stabil, laki-laki nampak marah. “Kamu …kamu bukan Nadya!” Lizzy terkejut. “Aku …aku Lizzy. Kamu tahu itu.” Naka menggeleng dan berusaha beranjak dari sofa dengan tubuh terhuyung. “Pergi! Pergi dari sini.” “Naka?” Lizzy benar-benar terkejut dengan sikap Naka yang berubah kasar. “Kenapa kamu seperti ini? Kamu yang duluan mencium aku tapi kenapa kamu ngusir aku?” Sambil memegang kepala yang berdenyut nyari, Naka berusaha agar kesadarannya tidak sepenuhnya hilang. “Pergi sekarang juga sebelum aku yang bawa kamu keluar!” Dengan rasa marah dan kecewa akhirnya Lizzy menuruti ucapan Naka. “Aku pastikan kamu akan menyesal karena bersikap kasar denganku.” Setelah melihat Lizzy pergi, Naka kembali menjatuhkan diri ke sofa. Seperti kehabisan tenaga, ditambah rasa pusing dan sakit kepala, laki-laki itu mengerang keras. Malam ini ia benar-benar merasa kacau. “Sial!” Sementara itu, Lizzy berusaha untuk mencari taksi online agar bisa pulang ke rumahnya. Rencana menginap dan menghabiskan malam bersama Naka, berakhir dengan rasa sakit hati serta kecewa. “Nadya Nadya Nadya! Apa isi kepalanya Cuma si Nadya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN