5. KEJUTAN

1494 Kata
“Akhirnya bisa makan siang lagi sama kamu.” Andrea meletakkan nampan piring berisi menu makan siang yang tersedia di kantin hotel. Setelah itu menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan Tata. Mereka akhirnya bisa bertemu setelah acara terakhir di ballroom hotel. “Padahal kamu bisa main ke rumahku.” “Tapi aku yang nggak bisa,” sahut Tata. Tangannya mulai menyendok menu nasi campur di atas piring. “Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa makan di kantin? Kamu nggak bawa bekal?” “Aku bangun kesiangan jadi nggak sempat masak. Dan kebetulan siang ini Pak Naka lagi makan siang sama para kepala divisi, jadi aku bisa pergi makan siang ke kantin,” jawab Andrea. “Ayo cerita gimana pengalaman kamu kerja sama Pak Naka. Aku nggak sabar pingin tahu bagaimana sikapnya sama kamu.” Suara Tata yang cukup keras membuat Andrea mendelik temannya. Ia tidak mau karyawan lain mendengar nama Naka disebut. Akan cukup berbahaya jika hal tersebut sampai terjadi. Yang ada dirinya dan temannya bisa kena masalah. Apalagi ia ingat bagaimana sikap Naka terhadapnya sangat tidak bersahabat. Kata-kata Naka bahkan masih membekas di ingatannya dan sangat menyakitkan. “Jangan keras-keras, Ta. Kamu mau semua orang di ruangan ini tahu kalau lagi ngomongin si bos?” Ditegur demikian membuat Tata menampakkan cengiran canggung. “Ya maaf. Aku suka lupa diri. Ayo cerita, pelan-pelan saja.” Andrea menggeleng sambil memasukkan satu suap makanan ke mulutnya. “Semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang spesial.” “Bohong. Pasti kamu sengaja nggak mau cerita. Iya kan?” “Karyawan yang profesional harus bisa menjaga rahasia. Apa pun yang terjadi, tetap tidak pantas bergosip apalagi soal atasan. Kecuali kalau kamu memang sudah nggak mau bekerja di sini lagi.” Sebenarnya Tata sudah tahu bagaimana idealisnya Andrea. Tetapi ia masih saja ingin mengorek informasi tentang Naka. Tata berdecak, dengan wajah merengut. “Ya sudah kalau kamu memang nggak mau cerita. Yang penting baik baik-baik saja dan nggak disiksa sama si bos.” “Boleh gabung?” Perhatian Andrea dan Tata teralihkan dengan kemunculan Nikita – mantan sekretaris asisten GM yang lama. Keduanya tidak menyangka kalau wanita itu akan datang ke meja mereka. Bahkan Tata sempat mengedarkan pandangan ke sekitar, melihat apakah meja makan memang penuh atau tidak. “Meja lain penuh, jadi aku duduk di sini saja,” ucap Nikita lagi. Andrea mengangguk. “Silakan.” “Mbak Nikita kenapa sendirian? Memangnya teman-teman dari divisi marketing nggak ada yang makan di kantin?” Nikita menarik sudut bibirnya, lalu duduk di antara Andrea dan Tata. “Kami jarang ada di kantor. Ini kebetulan saja aku ada di sini. Maklum saja, pekerjaan kami lebih banyak di luar. Mempromosikan hotel kita agar dikenal banyak orang.” “Oh tentu saja aku tahu itu,” sahut Tata dengan ekspresi malas. “Sepertinya Mbak betah di tempat yang baru.” “Dulu aku juga di sana kan, sebelum dipilih sebagai sekretaris.” “Aku hampir lupa soal itu.” Andrea hanya diam dan fokus pada makanannya. Ia tidak terlalu dekat dengan Nikita bahkan bertegur sapa dengan wanita itu, bisa dihitung dengan jari. Sikap Nikita memang kurang ramah untuk dijadikan teman di tempat kerja. “Oh iya, gimana dengan kamu, Andrea? Betah ya jadi sekretarisnya Pak Naka?” “Baik, seperti biasa.” Nikita berdecis. “Pak Naka nggak masalah kalau sekretarisnya seorang janda?” ucap Nikita tanpa rasa bersalah. “Kenapa kamu jadi bawa-bawa status Andrea?” bentak Tata. Tangan Andrea dengan cepat menahan temannya agar tidak emosi. “Kami bekerja secara profesional tanpa mencampurkan urusan pribadi. Pak Naka baik dan tidak pernah peduli dengan status sekretarisnya. Jadi kamu jangan khawatir.” “Aku lupa kalau kamu kesayangan Pak Dirja jadi wajar saja Pak Naka juga baik.” “Tidak ada hal seperti itu, Nikita. Aku tahu sikap sinis kamu karena bukan kamu yang ditunjuk sebagai sekretaris Pak Naka. Tapi bisa kan, jangan bawa aku dalam kekesalan kamu karena ini terjadi bukan kemauanku,” ucap Andrea penuh penekanan. Tangannya menyentuh tangan Nikita. “Kalau bisa menolak, sudah aku lakukan. Tapi aku nggak bisa karena Pak Dirja dan Pak Suta yang memberikan perintah. Aku minta maaf kalau kamu merasa sakit hati.” Nikita segera menepis tangan Andrea. “Jujur saja, aku jijik dengan sikap kamu. Sok polos dan merasa paling menyedihkan karena status sebagai kamu yang sekarang. Kamu nggak tahu saja kalau banyak yang bergosip kamu sengaja menerima jabatan ini demi bisa menggoda Pak Naka. Benar-benar menyedihkan.” “Kok mulut kamu jahat banget, ya?” Suara Tata meninggi. “Kamu benar-benar keterlaluan. Sesama wanita kok nggak punya rasa simpati?” Kini semua mata tertuju ke meja mereka. Andrea menghela napas dan menahan malu. Ia mencoba menahan diri meski ucapan Nikita begitu melukainya. “Aku sudah selesai. Ta, aku duluan ya,” ucapnya sambil membawa piring ke tempat yang semestinya. “Aku juga, Re. Kita pergi sama-sama. Aku nggak mau satu meja sama orang jahat.” “Aku ngomong fakta,” gumam Nikita tanpa peduli jika kini ia jadi pusat perhatian karyawan lain. Langkah kaki Andrea begitu cepat karena tidak mau mendapat tatapan curiga dari karyawan yang ada di kantin. Entah kenapa, setelah Naka kini Nikita yang mengungkit statusnya sebagai wanita yang sudah pernah menikah namun mengalami kegagalan. Padahal ini adalah masalah pribadi tetapi kenapa orang lain harus merasa terganggu. “Re, tunggu sebentar.” “Aku harus buru-buru, Ta. Takut Pak Naka sudah balik dari makan siang.” “Ini untuk kamu.” Lagi-lagi Andrea menerima sebuah cokelat dari Tata. “Kamu nggak perlu kasih aku coklat. Buat kamu saja.” Tata menggeleng. “Waktu kamu ngajak aku makan, aku sengaja bawa buat kamu. Jangan sampai omongan Nikita buat suasana hati kamu memburuk. Dimakan ya coklatnya.” “Makasih ya,” ucap Andrea sambil berusaha mengulas senyum. “Aku balik dulu.” Sesampainya di ruangan, Andrea meneguk air dari botol minum yang selalu tersedia di meja kerjanya. Rasa marah, kesal dan kecewa menjadi satu, lalu berusaha untuk membuat suasana hatinya buruk. Ingat dengan pemberian Tata, wanita itu segera membuka bungkus cokelat lalu memakannya. “Kenapa mulut orang jahat sekali. Padahal aku nggak pernah peduli dengan urusan mereka. Tapi kenapa mereka selalu merasa terganggu karena aku?” Gumamnya sambil mengunyah cokelat dengan wajah tertunduk dan kedua mata berkaca-kaca. “Memangnya siapa yang mau mengalami perpisahan yang menyakitkan. Aku juga nggak pernah punya mimpi seperti itu.” Sibuk menghabiskan cokelat sebagai penyembuh sakit hati atas ucapan Nikita, membuat Andrea tidak sadar dengan kedatangan Naka. Laki-laki itu sudah berdiri di depan meja kerjanya, memperhatikan Andrea yang sedang makan cokelat. Naka berdeham dengan nada yang berat. “Kamu melanggar peraturan.” Seketika Andrea tersedak karena kaget. “Pak Naka?” Wanita itu segera menyimpan sisa cokelat di laci meja kerja serta mengusap bibirnya agar tidak ada sisa yang tertinggal. Sayang, cokelat di dalam mulutnya masih ada, sehingga tidak bisa mengelak lagi. Kedua mata Naka menyipit sambil memperhatikan wajah sekretarisnya. “Kamu nangis?” “Tidak Pak.” Tangan Andrea segera mengusap matanya yang sempat basah. “Maaf Pak Naka kalau saya makan coklat di sini.” “Kalau sudah tahu itu salah, kenapa masih kamu lakukan?” “Itu …saya kira Pak Naka tidak akan tahu. Jadi saya makan.” Naka berdecak dengan tatapan sinis. “Sekali lagi kamu melanggar, kamu harus siap dengan konsekuensinya.” “Baik Pak. Hal ini tidak akan terulang lagi.” “Satu lagi. Sebentar lagi akan ada tamu, jadi suruh saja langsung ke ruangan saya.” Andrea mengangguk. “Baik Pak.” Setelah Naka masuk ke ruangannya, Andrea segera membereskan kekacuan yang terjadi. Membersihkan meja kerja dari bungkus cokelat, tisu serta memasukkan sisa cokelat ke dalam tasnya. Ia tidak mau lagi melakukan kesalahan di hadapan bosnya. Tidak berselang lama, Andrea mendengar suara hak sepatu yang mendekati meja kerjanya. Wanita itu menjeda aktivitasnya dan melihat siapa tamu yang datang. Ketika mendongak dengan wajah penuh senyum, tiba-tiba jantungnya berdegup cukup kencang. Bahkan lidahnya kelu saat ingin menyapa. “Selamat siang.” Sosok wanita berparas cantik dengan penampilan anggun tengah berdiri di meja kerja Andrea. “Siang. Aku sudah ada janji dengan Naka.” “Tentu. Pak Naka sudah memberitahu saya.” “Sudah lama tidak bertemu.” Andrea berusaha tersenyum meski kaku, menahan gejolak di dalam hatinya. “Apa kabar Lizzy?” Wanita bernama Lizzy itu tersenyum tipis. “Baik.” “Oh iya, kata Pak Naka, kamu bisa langsung masuk ke dalam.” “Tolong jangan bilang apa-apa sama Naka kalau kita saling kenal. Rasanya untuk saat ini, itu lebih baik untuk kita berdua.” Mendengar perkataan Lizzy, langsung ditanggapi anggukan oleh Andrea. “Baiklah.” Tidak ada basa-basi lagi dari Lizzy. Dengan langkah kaki anggun, wanita itu menghilang di balik pintu ruangan kerja Naka. Berbeda dengan Andrea yang saat ini merasa kepalanya berdenyut. Entah apakah hari sial itu memang ada. Ia merasa hari ini seperti tidak mendapatkan ketenangan. Setelah berdebat dengan Nikita, kini ia malah mendapat kejutan. Siapa yang menyangka kalau Lizzy – adik tirinya, kenal dengan Bayanaka. “Kenapa dunia sesempit ini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN