14. KEADAAN ANDREA

1531 Kata
Setelah insiden di ruangan Naka, perasaan Andrea tidak kunjung membaik. Saat Naka memintanya untuk pulang, ia tidak bisa menolak. Suasana di kantor juga masih memanas sehingga Andrea menurut saja. Berharap bisa istirahat dan cepat sembuh tanpa perlu pergi ke dokter. Tetapi, pada kenyataannya, hingga esok hari, keadaannya masih sama. Tubuh yang tidak bersahabat dan pikiran yang cemas, semakin memperparah semuanya. Hari ini Andrea memutuskan untuk tidak bekerja. Ia sudah menghubungi bagian HRD untuk meminta izin. Kejadian kemarin akan menjadi pengalaman berharga sehingga Andrea tidak mau memaksakan diri. Sayang, saat ia menghubungi Naka, ponsel laki-laki itu tidak aktif. Andrea meletakkan ponsel di atas meja makan, lalu menghela napas pelan. Wajahnya pucat dan bibirnya nampak kering. Untuk melangkah keluar dari kamar saja ia kesulitan. Dan ia berharap masih bisa pergi ke dokter untuk mendapat pertolongan. “Semoga Pak Naka nggak marah lagi. Masalah laptop, aku bereskan setelah sembuh,” gumamnya. Kedua tangan Andrea menopang kepalanya yang terasa berat dan pusing. Sekian obat yang diminum, tidak mampu menyembuhkan sakitnya. Ia mencoba mengumpulkan tenang untuk beranjak dari tempat duduk dan pergi menuju kamar. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pagar rumahnya dan membuat perhatian Andrea teralihkan. “Siapa yang datang sepagi ini? Apa Tante Laila?” Hati-hati sekali Andrea beranjak dari duduknya. Ia ingin segera mencari tahu siapa yang datang. Tidak enak jika tetangga sampai terganggu karena suara nyaring pada pagar rumahnya. Dan ketika sadar dengan warna mobil yang terparkir di depan rumahnya, Andrea jadi tahu siapa tamunya. “Papa, Tante?” “Papa kira kamu belum bangun,” ucap Adipramana yang biasa dipanggil Adi. “Masuk dulu Pa, Tante.” Laila menyentuh tangan Andrea. “Kamu sakit?” Andrea mengangguk. “Iya Tante. Hari ini mau ke dokter.” “Sejak kapan Andrea? Kenapa kamu tidak kasih kabar ke Papa?” “Sejak kemarin Pa. Aku pikir setelah minum obat, akan langsung sembuh. Tapi sampai sekarang ternyata nggak ada perubahan.” “Ya sudah, sebaiknya cepat masuk. Kamu harus istirahat Re,” ucap Laila. Bersama Adi dan Laila, kini Andrea duduk di meja makan. Seperti biasa, orang tuanya datang tanpa tangan kosong. Beberapa kantong belanjaan, diletakkan di atas meja oleh Laila. “Kamu sudah sarapan Re?” tanya Adi. “Tadi Cuma makan roti untuk ganjal minum obat. Aku nggak ada selera makan Pa.” “Re, ini ada nasi kuning, kami beli di pasar. Papa kamu bilang tempat itu langganan kamu, jadi kami beli dan sengaja bawa ke sini.” Andrea tersenyum meski wajahnya nampak tidak ceria. “Terima kasih Tan.” “Andrea, biar Papa saja yang antar kamu ke dokter. Papa nggak mungkin biarin kamu pergi sendiri. Semakin cepat ke dokter, semakin baik.” “Aku bisa naik taksi online saja, Pa.” Laila menyentuh tangan anak tirinya. “Kalau ada kami, kenapa harus naik taksi. Jujur, wajah kamu benar-benar pucat Re. Tante khawatir lihatnya.” Disebut demikian, sontak membuat Andrea menyentuh wajahnya sendiri. “Iya Tante. Aku juga sadar dengan kondisiku. Dari kemarin susah makan, jadi lemas nggak ada tenaga.” “Sekarang ganti baju, biar Papa antar ya.” “Iya Pa.” Saat Andrea hendak beranjak dari kursi, tiba-tiba ia kembali terduduk. Nyaris tidak ada tenaga hingga kakinya mendadak lemas. Bahkan kepalanya semakin pusing dengan pandangan mata buram. “Kamu nggak apa-apa, Nak?” tanya Adi cemas. “Nggak kok Pa.” “Biar Tante bantu kamu ke kamar ya.” Andrea menggeleng, menolak dengan sopan. “Aku bisa sendiri.” Baru saja menggerakkan kaki beberapa langkah, tiba-tiba Andrea ambruk. Wanita itu jatuh dan tergeletak di lantai. Sontak kejadian ini membuat Adi dan Laila terkejut sekaligus panik. Tanpa pikir panjang, keduanya langsung menghampiri Andrea. “Sayang!” “Andrea, kamu nggak apa-apa?” tanya Laila. “Pa, Andrea pingsan.” Adi berusaha membawa tubuh putrinya ke dalam pangkuan. “Andrea, sadar Nak. Ayo bangun.” *** Naka sedang berjalan menuju ke ruangannya. Keningnya mengkerut saat melihat meja kerja milik Andrea yang kosong. Ia lantas mendekat untuk melihat keadaan. Tidak ada tanda-tanda bahwa sekretarisnya sudah datang. “Apa dia terlambat? Atau jangan-jangan dia mengundurkan diri karena kejadian kemarin” gumam Naka sedikit senang. “Kalau itu terjadi, otomatis papa pasti tahu dan akan marah kepadaku. Dengan begitu rencanaku dipastikan berhasil.” Setelah sibuk dengan dugaannya, Naka lantas pergi ke ruangannya. Sesampainya di sana, tiba-tiba ia merasa aneh. Tidak ada gelas berisi air hangat, sepertinya biasa Andrea lakukan. Ia pun duduk lalu mengecek ponsel yang sejak pagi ia abaikan. Laki-laki itu menghela napas, karena lagi-lagi baterai ponselnya habis dan ia tidak sadar dengan hal itu. Setelah mengisi daya untuk ponselnya, Naka membuka tablet pc, mengingat laptopnya sedang diperbaiki karena mengalami eror akibat insiden kemarin. Begitu membuka email, ia melihat ada pesan yang dikirim oleh Andrea. Jadwal kerjanya hari ini dan pemberitahuan izin tidak masuk kerja karena sakit. “Oh jadi dia nggak masuk kerja memang karena sakit. Aku kira dia mau mengundurkan diri.” Tiba-tiba pintu ruangan kerja Naka ada yang mengetuk dari luar. Tidak lama, muncul sosok karyawan wanita yaitu Tata. “Selamat pagi Pak Naka.” “Pagi. Silakan masuk,” jawab Naka. “Terima kasih.” “Silakan duduk.” Tata menuruti ucapan bosnya. “Maaf kalau saya mengganggu waktunya. Saya dari HDR mau menyampaikan pesan kepada Pak Naka.” “Pesan?” “Iya Pak. Hari ini Andrea izin tidak masuk kerja karena sedang sakit. Kebetulan dia tidak bisa menghubungi nomor Pak Naka. Tetapi dia sudah kirim email, terkait izin dan jadwal kerja Pak Naka untuk hari ini,” jelas Tata. Naka mengangguk. “Saya sudah baca emailnya.” “Dan ada kemungkinan Andrea akan izin beberapa hari karena saya baru dapat telpon dari papanya, kalau Andrea masuk rumah sakit dan harus diopname.” “Masuk rumah sakit?” Nada bicara Naka menyiratkan rasa terkejut. “Iya Pak. Tadi sempat pingsan jadi orang tuanya langsung bawa ke rumah sakit.” Naka mematung sejenak dan tidak lama mengangguk dengan raut wajah datar. “Baiklah. Saya mengerti.” “Kalau begitu saya permisi Pak Naka.” Setelah kepergian Tata dari ruangannya, Naka menghela napas. Ia tidak menyangka akan mendengar kabar seperti ini mengenai Andrea. Ia berpikir kalau wanita itu hanya demam biasa dan hanya butuh istirahat. Seketika saja pikirannya tertuju pada kejadian kemarin. “Pingsan? Apa sakitnya semakin parah karena kejadian kemarin? Apa aku sudah keterlaluan?” *** Di sebuah kamar perawatan, tengah berbaring seorang Andrea. Ia mengenakan pakaian khusus pasien, dengan selang infus di tangan sebelah kanan. Orang tuanya sudah pulang dan akan datang saat sore hari, atas permintaannya. Ia merasa baik-baik saja setelah mendapatkan perawatan dan tidak perlu ditemani. Namun saat ini wanita itu justru tidak jadi sendiri. Ia ditemani oleh mantan suaminya. “Kenapa kamu bisa tahu aku lagi di sini?” tanya Andrea dengan tatapan dingin. Joshua duduk di kursi sebelah ranjang mantan istrinya. “Dokter yang menangani kamu, kenal denganku. Dia kasih tahu kalau kamu dirawat di sini karena kelelahan dan mengalami tekanan darah rendah. Aku sangat khawatir, apalagi saat dia bilang kamu dibawa ke rumah sakit dalam keadaan pingsan,” jelasnya. Andrea membuang muka sambil tersenyum sinis. “Kalau papa tahu kamu di sini, bisa-bisa dia mengamuk. Lagi pula aku nggak butuh perhatian dan rasa khawatir kamu. Jadi jangan repot-repot datang ke sini.” “Aku nggak merasa repot. Bagaimana aku bisa tutup mata kalau orang yang pernah menjadi siang dan malamku, sedang dirawat di rumah sakit.” “Jangan bicara begitu. Kepalaku langsung sakit dan perutku seketika mual. Buang kata-kata itu atau berikan pada wanita lain,” ucap Andrea dengan nada ketus. Joshua menghela napas, lalu mencoba menyentuh tangan Andrea. “Aku …” “Jangan sentuh aku! Kamu tidak berhak melakukannya. Aku risih dengan sikap kamu.” “Baiklah. Aku paham kemarahan kamu. Tapi aku nggak akan pernah berhenti memberi perhatian apalagi saat kamu sakit seperti ini. Aku masih hafal kebiasaan kamu saat sedang sakit, selalu minta ditemani. Dan aku masih ingat sampai sekarang, Re,” ucap Joshua pantang menyerah. Andrea berdecis. “Cepat pergi dari sini sebelum aku panggil perawat untuk mengusir kamu, Josh!” “Aku nggak takut, Re. Aku ingin menjaga kamu, bukan mengganggu.” “Mau kamu apa, hah?” tanya Andrea yang mulai habis kesabaran. “Aku terganggu dengan keberadaan kamu. Apa kamu nggak paham soal itu?” Akhirnya, dengan berat hati Joshua beranjak dari duduknya. Namun ia masih berdiri di dekat tempat Andrea berbaring. “Maaf Andrea. Aku lepas kendali sampai membuat kamu emosi padahal kamu lagi sakit. Baiklah, aku akan pergi tapi aku pasti akan ke sini lagi. Aku pergi agar kamu bisa istirahat bukan karena aku menyerah atas kalimat pedas kamu.” “Terserah. Cepat keluar dari sini!” Setelah Joshua pergi, Andrea menangis. Ia seperti itu bukan karena menyesal sudah berkata kasar kepada mantan suaminya. Tetapi ia menyesal karena membiarkan laki-laki itu masuk dan menemuinya. Entah kenapa Joshua seakan kembali mencoba mengusik hidupnya yang tenang. Ditambah dengan masalah pekerjaan yang mengganggu pikirannya dan sakit berujung harus dirawat di rumah sakit. Semua beban itu menghimpit hingga membuatnya tidak bisa menahan tangan. Ia yang sudah mulai tegar, kini mendadak menjadi rapuh. “Kenapa akhir-akhir ini semua jadi serba berantakan? Kenapa yang harusnya pergi, malah muncul lagi?” gumam Andrea sambil menyeka air matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN