13. KESALAHAN DAN AMARAH

1732 Kata
Naka baru saja keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan diri. Ia menatap wajahnya di cermin dan melihat bagaimana kondisi dahinya yang sedikit membiru. Sudah tidak terlalu sakit tetapi sedikit mengganggu penampilannya. Mengingat insiden tadi sore, membuatnya menghela napas. “Ada-ada saja,” ucapnya. Disaat bersamaan, bayangan Andrea juga muncul diingatannya. Bagaimana sekretarisnya tiba-tiba datang dan membantu membersihkan luka lecet pada lututnya. Benar-benar sebuah kebetulan. Di luar jam kerja pun, wanita itu masih memiliki kepedulian kepadanya. “Kebetulan. Apa memang benar begitu? Atau jangan-jangan dia ngikutin aku?” gumam Naka. Saat pikiran negatif tertuju pada Andrea, tiba-tiba terdengar suara bel pintu yang cukup keras. Perhatian Naka langsung teralihkan. Ia melihat jam bulat yang ada pada meja nakas. Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Tentu saja ia penasaran, siapa yang bertamu semalam ini. “Siapa yang mau mengganggu waktu istirahatku?” gerutunya. Naka segera pergi untuk mencari tahu siapa yang datang. Saat pintu gerbang dibuka, sudah berdiri sosok Lizzy yang tadi sempat menghilang. Raut wajah wanita itu nampak tegang dan bingung. “Lizzy?” Tiba-tiba wanita itu langsung memeluk Naka. “Kamu nggak apa-apa, kan?” “Maksud kamu?” “Aku minta maaf karena tadi pergi tanpa bilang. Tiba-tiba ada urusan, jadi aku buru-buru dan saat itu kamu juga lagi fokus main. Setelah urusanku selesai, aku datang lagi ke lapangan tapi kamu sudah pergi. Dan aku dengar dari teman-teman kamu, katanya kamu sempat terbentur dan jauh. Kenapa aku nggak bisa hubungi kamu? Kamu enggak apa-apa, kan? Aku cemas sekali, Naka.” Naka langsung pusing mendengar perkataan wanita yang masih erat memeluknya. Namun hal ini tidak dibiarkan begitu saja dan ia segera melepas tangan Lizzy dari pinggangnya. “Aku nggak apa-apa, kamu nggak perlu cemas. Soal kamu pergi tanpa bilang, aku nggak masalah sama sekali.” Lizzy berdecak dengan wajah masih cemas. “Terus hape kamu kenapa nggak bisa aku hubungi?” “Batrenya habis. Belum sempat aku isi,” jawab Naka seadanya. “Kamu ngapain ke sini malam-malam? Aku mau istirahat, Zy.” “Ya karena aku khawatir, masa kamu masih tanya.” “Jangan berlebihan. Aku Cuma luka karena main basket, bukan habis perang.” “Ya aku tahu, tapi pemikiran kamu dan aku beda,” sahut Lizzy ngotot. “Oh iya, katanya ada perempuan yang bantu bersihin luka kamu. Siapa dia?” Naka menghela napas pelan karena malas menjawab pertanyaan tidak penting wanita di hadapannya. “Andrea. Dia kebetulan juga ada di sana.” “Andrea?” Wajah Lizzy nampak kaget. “Kok bisa? Kalian janjian?” “Aku nggak tahu. Itu tempat umum, jadi siapa saja bisa datang,” jawab Naka gemas. “Kamu pulang saja ya, aku capek. Besok juga harus kerja.” “Tapi Naka …” Naka segera mendorong pelan tubuh Lizzy agar keluar dari halaman rumahnya. “Jangan ada tapi tapi. Sebaiknya kamu pulang dan istirahat.” “Kamu kok jahat sama aku? Ngajak masuk saja enggak, ini langsung ngusir,” sindir Lizzy dengan wajah yang nampak sebal. “Lain kali kalau datang jangan malam. Oke?” Begitu berhasil membuat Lizzy meninggalkan rumahnya, akhirnya Naka bisa bernapas lega. Di matanya, Lizzy bukan wanita jahat bahkan sangat perhatian kepadanya. Apalagi sikapnya sangat baik ketika bertemu dengan teman atau keluarganya. Tetapi untuk ukuran sebagai teman biasa, kadang sikapnya berlebihan dan membuat Naka tidak nyaman. “Akhir-akhir ini sikap Lizzy sering di luar batas. Apa dia berpikir terlalu jauh tentang hubungan pertemanan ini?” *** Andrea nampak gelisah dalam tidurnya. Dalam keadaan mata tertutup, raut wajahnya seperti sedang tidak tenang. Bahkan keringat nampak begitu banyak membasahi wajah. Padahal AC menyala seperti biasa, tetapi wanita itu seperti sangat kepanasan. Sedangkan selimut tetap menutup sekujur tubuhnya, seakan suhunya begitu dingin. Pada akhirnya Andrea terbangun dari tidurnya. Bagian dadanya naik turun, seperti napasnya terasa berat. Selain kepala, tenggorokannya juga sakit dan tubuhnya lemas. Kondisi yang tiba-tiba seperti ini, membuat Andrea bingung. “Kenapa tiba-tiba jadi demam begini?” gumam Andrea lemas. Hati-hati Andrea beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju dapur, untuk mengambil air hangat. Tidak lupa mengenakan baju tebal agar terasa hangat. Tidak peduli jika keringat terus mengucur, membasahi baju yang digunakan. Andrea duduk di kursi meja makan, dengan segelas air hangat dan obat pereda demam di atas meja. Pelan-pelan ia meminumnya, berharap sakit segera hilang. Ia masih tidak habis pikir, kenapa mendadak sakit. Memang saat sebelum tidur, ia sudah merasa tidak nyaman pada tubuhnya. Tetapi Andrea cuek dan tidak menduga kalau ternyata ia akan sakit. “Sepertinya aku kelelahan. Sejak jadi sekretaris Pak Naka, aku selalu sibuk dan nggak jarang harus lembur. Seharusnya aku nggak perlu pergi sama Tata dan lebih baik istirahat. Sekarang malah jadi sakit.” Tidak ada yang bisa Andrea lakukan selain minum obat dan kembali tidur. Berharap besok kondisinya sudah membaik. Ia tidak ingin sakitnya mengganggu pekerjaannya. “Semoga demamnya hanya malam ini saja,” gumam Andrea penuh harap. *** Keesokan harinya kondisi Andrea belum mengalami perubahan. Semalam ia sempat mimpi buruk mengenai kesalahan yang pernah Joshua lakukan kepadanya. Bahkan tadi pagi mengalami muntah dan mimisan. Obat pun sudah diminum dan berharap kalau hari ini ia masih bisa bekerja dengan baik. Meski sedikit ngantuk karena efek samping obat, tetap berusaha ditahan olehnya. Hanya saja ia harus mengenakan masker agar orang lain tidak tertular, terutama Naka. “Selamat pagi Pak Naka,” sapa Andrea dengan suara lemah dan sedikit serak. Naka menatap Andrea yang tidak semangat, sebelum ia masuk ke ruangan. “Kamu sakit?” “Cuma kurang enak badan Pak. Tidak apa-apa.” “Kemarin masih bisa jalan-jalan, sekarang malah sakit. Kamu serius sakit atau Cuma mau menghindari pekerjaan?” “Pak Naka, saya tidak pernah main-main soal kondisi kesehatan. Paling anti berbohong perihal keadaan tubuh. Dan saya tidak suka menghindar dari tanggung jawab,” jelas Andrea. “Baguslah kalau kamu tahu soal itu. Satu lagi, jangan sampai menyebar virus. Saya tidak mau tertular sakit karena kamu.” Andrea mencoba tetap sabar atas sikap atasannya. “Baik Pak Naka. Saya tidak akan lupa soal itu. Naka pergi dari hadapan Andrea. Wanita itu lalu duduk, kemudian minum air putih. Kepalanya semakin berdenyut nyeri karena omongan bosnya yang sepertinya tidak punya rasa simpati. Hati Naka seakan mati, sehingga menjadi sosok yang tidak berperasaan. “Padahal sikapnya kemarin baik-baik saja. Masih bisa berterima kasih. Tapi, kenapa pagi ini ketus sekali?” Setelah menenangkan diri, Andrea beranjak dari duduknya, untuk pergi ke ruangan Naka. Selain memberitahu soal jadwal hari ini, ia juga membawa dokumen yang membutuhkan validasi bosnya. “Pak Naka, bagaimana keadaan dahi dan lututnya?” Andrea merasa menyesal sudah bertanya demikian. “Maaf Pak, kalau saya lancang.” “Baik. Cuma luka lecet kecil, jadi tidak perlu berlebihan.” Andrea menghela napas karena dugaannya benar. “Syukurlah kalau begitu.” Karena harus berdiri menunggu Naka memeriksa dan memberi tanda tangan, membuat Andrea merasa pusing. Bahkan matanya berkunang-kunang. Ingin rasanya meminta izin agar bisa duduk sambil menunggu laki-laki selesai dengan dokumennya, tetapi entah kenapa nyali Andrea mendadak ciut. “Tolong buatkan saya teh hangat,” perintah laki-laki itu. “Baik Pak Naka.” “Jangan panas, tapi harus hangat.” Andrea mengangguk paham sebelum meninggalkan ruangan. “Baik Pak.” Tidak lama, Andrea membawa nampan kecil berisi teh yang diminta oleh Naka. Sambil menahan sakit kepala dan pusing, ia berjalan sangat hati-hati sekali. Ia berdiri di sebelah Naka, lalu perlahan tangannya memegang kuping cangkir. Diletakkannya benda tersebut di sebelah laptop milik Naka karena kondisi meja memang penuh. Namun hari sial tidak pernah Andrea tahu kapan datangnya. Dalam keadaan mata berkunang-kunang, tanpa sengaja cangkir yang akan diletakkan menyenggol layar laptop hingga menyebabkan isinya tumpah. Sontak Andrea berteriak karena kaget. Begitu juga dengan Naka yang tidak kalah terkejut. “ANDREA!” Naka langsung beranjak dari kursi karena terkena cipratan teh. Yang lebih parah, laptop miliknya basah. Naka segera mengambil benda itu, lalu segera mengusap dengan tisu lalu membalik posisinya agar air tidak menggenang. Entah usahanya berhasil atau tidak, setidaknya ia sudah berusaha. “Pak Naka, saya minta maaf. Saya tidak sengaja, Pak.” Andrea sangat panik. Ia sampai bingung harus melakukan apa. Padahal tangannya juga terkena air teh. Untungnya tidak panas, sehingga sampai tidak melepuh. “Kamu ini bisa kerja tidak? Cuma taruh cangkir di atas meja sampai seperti ini. Kamu tidak punya mata untuk melihat, hah?” Suara Naka benar-benar meninggi dan wajahnya merah karena marah. “Sekarang kalau laptop ini rusak, kamu mau tanggung jawab!” “Saya pasti tanggung jawab Pak. Saya akan pastikan kalau laptop Pak Naka baik-baik saja. Berapa pun biayanya, pasti akan saya ganti, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja,” jelas Andrea dengan raut wajah bersalah serta merasa takut. “Ini bukan hanya soal uang tapi kamu bekerja tidak becus!” bentak Naka. “Tadi mata saya berkunang-kunang jadi penglihatan saya jadi kurang fokus.” “Kalau sakit, sebaiknya kamu jangan kerja. Kalau memaksakan diri, inilah akibatnya. Jangan merasa paling sempurna sebagai sekretaris. Merasa sok kuat dan bisa melakukan semuanya dalam keadaan sakit sekali pun.” Andrea langsung tertunduk lemah. “Saya minta maaf, Pak.” “Sekarang keluar dari ruangan ini!” Dikatai demikian, seketika membuat tubuhnya melemas. Sambil menahan air mata, Andrea keluar dari ruangan Naka. Ia mengakui kalau sudah bersikap ceroboh. Harusnya ia sadar, kalau kondisi sedang tidak sehat, setidaknya bisa melakukan pekerjaan dengan lebih hati-hati lagi dan tahu batasan soal kemampuan diri. “Padahal aku sudah berusaha, tapi nyatanya tetap melakukan kesalahan,” gumam Andrea sambil menyeka air mata yang hampir menetes. Andrea terduduk lemas di kursi kerjanya. Wajahnya menunduk, dan samar-samar terdengar suara tangis. Pikirannya sangat kacau ditambah kondisi kesehatannya yang belum mengalami perubahan. Ia benar-benar frustrasi. “Ya Tuhan, sekarang aku harus gimana? Pak Naka pasti akan terus marah dan pekerjaan hari jadi terganggu,” ucapnya pelan. “Bodoh sekali kamu, Andrea. Ini semua salahmu, jadi pantas Pak Naka berkata kasar seperti tadi.” Tidak lama, terdengar pintu dibuka dengan kasar. Kemudian muncul sosok Naka dengan raut wajah masih menyisakan amarah dan rasa kesal. Seakan ingin menelan Andrea bulat-bulat. Bahkan wanita itu sampai tidak berani menatap mata Naka karena merasa terintimidasi. “Andrea, cepat panggil cleaning service untuk membersihkan ruangan saya.” “Ba-baik Pak Naka,” jawab Andrea gugup. “Pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya akan perbaiki laptop Naka. Saya pasti tanggung jawab.” Naka tersenyum sinis. Perlahan laki-laki itu mendekati Andrea yang berdiri di balik meja kerja. “Tanggung jawab itu harus. Tapi tunggu saja, hukuman apa yang akan saya berikan kepada kamu, Andrea.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN